Wed. Oct 16th, 2024

Pater Hermann Yosef May, CSsR, Anak Tukang Kayu dari Jerman Jadi Pastor Bersama Kembaran dan Adiknya (4)

Pater Hermann Yosef May, CSsR (alm)
Pater Hermann Yosef May, CSsR (alm) dan kembarannya Pater Karl-Heinz May, CSsR. Foto: dokumen Redemptoris Indonesia.

Cinta Pater Hermann Yosef May, CSsR (alm) kepada panggilannya sebagai imam purna sudah dengan tarikan nafas terakhir pada 7 Juni 2020 lalu di Biara Redemptoris di Koln, Jerman.  Jika dihitung sejak pertama kali menginjakkan kaki di Sumba pada 11 Oktober 1976, maka 44 tahun ia curahkan cintanya kepada Tuhan melalui pengabdiannya yang tulus kepada umat di pulau Sumba, pulau yang disebut juga pulau sandalwood dan belakangan dilekati predikat sebagai pulau terindah di dunia.

Dia selalu berusaha hadir di antara umat, terutama yang miskin dan tidak berpendidikan untuk menemani mereka menghadapi kehidupan yang kerap kali tidak bersahabat. Dia tidak hadir sebagai sinterclass dengan hadiah berkilau-kilau, tetapi menjadi teman yang menguatkan hati. Umatpun tidak segan mendekatinya sebagai imam, juga sebagai bapak. Ada pula yang sangat menyukai khotbah-khotbahnya.

BACA JUGA: https://www.tempusdei.id/2020/06/1177/pater-prof-dr-herman-yosef-may-cssr-profesor-untuk-orang-orang-miskin-itu-telah-tiada-1.php

Dalam karya pelayanannya, Pater Herman juga mendirikan Yayasan Karya Kolping 1994 di Sumba. Seperti dijelaskan oleh Paulce Parera yang sempat bekerjasama dengannya di Kolping selama 15 tahun, dari Sumba Kolping kemudian merambah Ruteng, Ende, Maumere, Larantuka, Kupang, Atambua. Pada 1999, Pater Herman juga mendirikan Karya Kolping di Keuskupan Dilli dan Baucau, Timor Leste.

Tiga Orang jadi Pastor

Pater Hermann lahir dari sebuah keluarga sederhana. Ayahnya seorang tukang kayu, ibunya seorang ibu rumah tangga. Dia lahir sebagai anak kembar bersama saudara kembarnya adalah Pater Karl-Heinz May, CSsR, pernah menjadi Prokurator CSsR untuk Misi Sumba (1991-2003).

Mereka 4 bersaudara. Salah satu saudaranya yang lain adalah Pater Gerhard May, CSsR (anak ke-3), meninggal di Sumba pada tahun 1989. Adik bungsunya  bernama Wilfried, pernah merintis jalur pendidikan calon imam sampai di Novisiat Redemptors, namun  oleh karena alasan tertentu, tidak melanjutkan.

Pertanyaannya, bagaimana ceritanya tiga dari empat bersaudara menjadi imam, pastor, romo atau pater? Tidak ada kisah panjang yang bisa digali. Pater Jack Umbu Warata, CSsR, seorang imam muda dari Sumba yang tinggal sebiara di Koln berusaha membantu tempusdei.id untuk mendapatkan informasi, belum berhasil. “Belum bisa. Saat ditanyai beberapa informasi seputar keluarga dan adiknya itu, ia hanya menangis,” kata Pater Jack melalui washap.

Tetapi yang pasti jelas Pater Jack, kesempatan tinggal bersama selama hampir dua tahun terakhir sangat menyenangkan bagi mereka. “Yang pasti, mereka punya kesempatan bisa berkumpul. Saudara kembarnya amat menyayangi dia. Ia sangat sedih ditinggal adiknya,” jelas Pater Jack lagi.

Seutas cerita lain yang bisa digali adalah bahwa ayah mereka adalah masinis yang ikut dalam perang dunia kedua. Selama perang itu, Pater Herman dan ketiga saudaranya bersama Ibu mereka terus berdoa untuk keselamatan sang ayah. Siang malam berdoa. Tapi setelah perang usai (1945), datang kabar bahwa ayah mereka ternyata gugur di medan tempur.

Waktu itu usia  Hermann dan Karl kecil baru 7 tahun.  Praktis Herman kecil dan saudara-saudaranya dibesarkan seorang diri oleh ibu mereka dengan situasi yang sangat terbatas dan kemiskinan karena perang.

Yang bisa dikatakan pilihan ketiga bersaudara untuk menjadi imam, selain karena panggilan Tuhan, juga karena mencontoh Om mereka Pater Aloys Eibel, CSsR yang juga adalah pastor Redemptoris dan pernah tugas di Sumba dari tahun 1962-1972).

Pada masa itu (masa kecil mereka), di Jerman dan Eropa pada umumnya, panggilan menjadi imam adalah sesuatu yang difavoritkan. Dan atas pilihan mereka itu, Ibu  mereka sangat bahagia. (tD/EMANUEL DAPA LOKA)

 

Related Post

Leave a Reply