Sat. Jul 27th, 2024

Selamat Jalan, Romo Lambertus Sugiri, SJ, Mencintai Jawa dan Kebudayaannya, Menangis Saat Meninggalkan Solo

Romo Sugiri di antara lukisan-lukisannya. Foto: EDL

Umat Katolik Indonesia kembali berduka atas wafatnya Romo Lambertus Sugiri SJ atau yang akrab disapa Romo Sugiri. Imam yang sudah lama menjadi WNI ini meninggal pada usia 90 tahun, pukul Kamis, 11 Juni 2020, pukul 06.45 WIB di Rumah sakit Abdi Waluyo, Menteng, Jakarta Pusat karena sakit dan usia lanjut.

Imam bernama lengkap Lambertus  Martinus Sugiri Van den Heuvel ini lahir sebagai anak sulung di Bernheze, sebuah kotamadya di Belanda Selatan pada 23 Desember 1930.

Ia masuk masuk Novisiat Yesuit di Belanda pada  1951, setahun kemudian dikirim ke Indonesia dan meneruskan masa Novisiatnya di Girisonta, Ungaran, Jawa Tengah bersama rekan-rekannya lulusan Seminari Menengah Mertoyudan, Magelang. Setelah menjalani pendidikan lanjutan selama 12 tahun, ia ditahbiskan menjadi imam pada 31 Juli 1964 di Yogyakarta.

Ia berpindah-pindah menjalani tugas penggembalaannya. Ia pernah menjadi Pastor Paroki Purbayan, Solo. Di sana ia intensif belajar Bahasa Jawa sampai sangat mahir menggunakan kromo inggil. Begitu fasihnya, ia seringkali diminta memberi petuah atau Sabdo Utomo dalam acara-acara pernikahan baik di kalangan Katolik maupun Muslim.

Romo Sugiri mengaku sangat mencintai  Jawa dan Kebudayaannya. “Saya cinta Jawa. Hati saya kayak orang Jawa. Saya merasa sama seperti mereka, hanya mereka yang melihat kulit saya putih, tapi saya tidak melihatnya, jadi merasa sama,” ungkapnya dalam buku For The Glory of God (Emanuel Dapa Loka, 2016).

Begitu kerasan dan menyatu dengan umatnya dan masyarakat Solo, di mengaku sangat sedih dan menangis saat meninggalkan Solo untuk sebuah tugas baru di Paroki Santo Petrus dan Paulus, Mangga Besar, Jakarta. “Waktu perpisahan, saya berdiri di pintu depan, tapi saya tidak berani menghadap umat karena saya menangis. Jadi saya membelakangi umat,” kenangnya sambil tersenyum ketika dijumpai di ruang lukisnya di Pastoran Gereja Santa Theresia, Jakarta Pusat suatu waktu.

Saat bertugas di Mangga Besar, Romo Sugiri mengenal Karismatik, kemudian masuk di dalamnya dan mendirikan Katolik Karismatik di Jakarta. Dia memberikan kepercayaan besar kepada awam untuk belajar dan menjalankan tugas-tugas penting dalam Gereja. “Dia sangat berani memberi kepercayaan kepada awam. Dan hasilnya sekarang, banyak awam yang sangat mumpuni dalam urusan liturgi dan ajaran gereja,” kata Yosef Tedjaindra.

Selamat jalan, Romo Sugiri. Beristirahatlah dalam Damai dalam pelukan Allahmu, Allah kita bersama. (tD/EDL)

Related Post

Leave a Reply