Tue. Nov 18th, 2025

Pastor Roberto Pasolini OFM Cap, Pengkhotbah Rumah Tangga Kepausan dan Misteri Kereta Bawah Tanah

Pastor Roberto Pasolini, OFM Cap, pengkhotbah Rumah Tangga Kepauasan.

Di jantung Vatikan, dua kali setahun, ketika dunia Katolik menapaki kembali ritme Adven dan Prapaskahnya, suara seorang pria Itali yang lembut namun tegas menggema di hadapan Paus dan para anggota Kuria Roma.

 

Ia bukan sembarang pengkhotbah. Ia adalah Pastor Roberto Pasolini, seorang Fransiskan yang perjalanannya tidak dimulai dari altar atau seminari, melainkan dari dunia algoritma, matematika, dan kecerdasan buatan.

Ia bukan pula seorang pencari iman sejak kecil yang berjalan lurus menuju panggilan religius. Pasolini adalah seorang anak Italia yang tumbuh dalam tradisi Katolik yang kultural, bukan spiritual.

Seperti banyak remaja di negerinya, ia menjalani inisiasi iman, tetapi tanpa ikatan batin yang kuat. Pada usia 15–16 tahun, ia merasa gereja parokinya tak lagi menawarkan ruang yang memadai bagi gejolak pencarian yang bergemuruh dalam dirinya.

“Saya tidak menjadi ateis,” ujarnya kemudian, “karena menjadi ateis justru membutuhkan iman yang lebih besar: sebuah posisi yang amat intelektual dan abstrak.”

Pendekatannya memang ilmiah. Dunia yang memikatnya saat itu adalah dunia kesinambungan logika, kode, dan kecerdasan buatan, dunia yang menjanjikan jawaban-jawaban elegan atas teka-teki kehidupan.

Namun, Pasolini muda tidak sepenuhnya mampu menambatkan hatinya di sana. Ia membaca novel, memainkan musik, mencari kedalaman dalam ruang yang tak tertangkap oleh persamaan matematika.

Seolah-olah separuh dirinya bergerak di wilayah rasional, sementara separuh lainnya merindukan bahasa yang lebih lembut dan lebih manusiawi.

Misteri Kereta Bawah Tanah

Pagi itu di kereta bawah tanah Milan, saat ia baru memasuki usia 20-an, semuanya berubah. Surat kabar harian yang ia beli menyertakan suplemen: Injil Matius. “Saya mulai membacanya—entah kebetulan atau takdir.”

Dan seperti banyak kisah spiritual besar, benih itu jatuh pada tanah yang sedang retak. Ia sedang mengalami masa sulit, masa di mana anak muda merasakan dunia terlalu besar, terlalu sunyi, dan terlalu berat.

Teks Injil itu menyentuhnya bukan sebagai doktrin, tetapi sebagai kehangatan yang tiba-tiba menyala di tengah gelap.

Pertobatannya tidak terjadi seketika. Tetapi setelah membaca Injil Matius, ia menelusuri semua Injil, lalu seluruh Kitab Suci. Ia kembali ke komunitas Kristiani, yang dulu ia tinggalkan karena terasa miskin.

Kini kemiskinan itu tampak sebagai wajah Kristus yang tersembunyi: rapuh tetapi penuh cahaya. Melalui pelayanan sukarela dan karya sosial, ia menemukan kembali rasa manis kehidupan Kristiani.

Tiga tahun ia berjalan dalam sukacita yang jernih, hingga ia bertanya pada dirinya sendiri: Apakah ini panggilan yang hanya dijalani separuh, atau harus dijalani sepenuh hati?

Saat itu ia memiliki seorang tunangan. Masa depan yang mapan terhampar di hadapannya. Namun kata hati berubah arah.

“Saya sadar, itu bukan lagi yang saya inginkan,” katanya. Panggilan itu bukan sekadar ilham, melainkan sebuah tarikan mendalam.

Suatu malam ia membaca tulisan-tulisan Santo Fransiskus dari Assisi. “Saya pulang sambil menangis,” kenangnya, “penuh haru.” Seolah ia menemukan dalam santo kecil itu bahasa yang tidak pernah ia temukan dalam ilmu komputer atau bahkan dalam teks-teks religius sebelumnya: bahasa kerendahan hati, kegembiraan, dan kebebasan.

Ia menyelesaikan tesis kecerdasan buatannya, mengumumkan niatnya kepada para profesor—keputusan yang membuat mereka terkejut—dan melangkah masuk ke kehidupan religius. “Saya menemukan kata yang lebih penting dari semua yang saya cari: kata keselamatan. Dan saya ingin merayakannya dengan seluruh hidup saya.”

Menuju Mimbar Rumah Tangga Vatikan

Perjalanan itu, lebih dari dua dekade kemudian, membawanya ke mimbar Vatikan. Sebagai pengkhotbah Rumah Tangga Kepausan, ia kini berbicara bukan hanya kepada umat, tetapi kepada Paus dan para kardinal.

Namun jabatan itu tidak mengubah dirinya. “Saya berusaha tetap menjadi diri saya sendiri,” katanya, mengingat pesan Paus Fransiskus: jangan pernah membiarkan posisimu mengubah spontanitas hatimu.

Tugas mengkhotbah, baginya, bukan soal menyusun kata-kata indah. “AI dapat melakukan itu. ChatGPT pun mampu membuat homili yang bagus,” ia berkata sembari tersenyum.

Tantangannya justru adalah memastikan kata-kata itu terlebih dahulu lewat di hati, bukan sekadar keluar dari pikiran.

“Yang terpenting adalah mengucapkan sabda itu seolah-olah Anda menyampaikannya pertama kali kepada diri Anda sendiri.”

Justru di sinilah refleksinya tentang kecerdasan buatan menjadi sangat manusiawi.

AI Bukan Ancaman

Bagi Pasolini, AI bukan ancaman, tetapi cermin. “AI akan membuat kita bertanya apa artinya menjadi manusia,” tuturnya.

Kita sering hidup seperti komputer: bergerak dari satu tugas ke tugas lain, tanpa kehadiran batin, tanpa kehangatan. Kita bekerja secara otomatis, tetapi tidak secara pribadi. Ketika AI mulai mengambil alih hal-hal rutin, kita akan dipaksa bertanya: Di mana aku menaruh hatiku hari ini?

“Kita selalu tetap bebas,” katanya. “Bebas memilih untuk tetap menjadi manusia atau menjadi seperti mesin.”

Kebebasan itulah yang ingin ia gumuli dalam kotbah-khotbah Adven nanti: penantian sebagai masa kerja rohani, bukan masa pasif.

Menanti bukan berarti menunggu dalam kelumpuhan, tetapi membuka ruang bagi harapan yang matang.

Ia berencana mengangkat tema “Para Penjaga Harapan”—sebuah undangan untuk menyambut masa transformasi Gereja yang masih memerlukan waktu untuk membentuk wajah barunya.

Ia baru-baru ini bertemu Paus Leo XIV, dan kesan yang ia bawa pulang adalah kesan sederhana namun penting: Paus adalah seorang pendengar sejati. “Beliau ingin mengenal saya, mendengarkan saya. Beliau tidak membuat keputusan tergesa-gesa.”

Paus Leo dan Jeda Rohani

Di masa setelah Paus Fransiskus—yang mengguncang Gereja dengan karisma besarnya—kehadiran seorang paus yang berhati tenang menjadi semacam jeda rohani agar Gereja dapat bernapas dan menentukan langkah baru tanpa polarisasi yang mengoyak.

Masalah terbesar Gereja saat ini, menurut Pasolini, bukanlah serangan dari luar, melainkan luka di dalam: perpecahan, polarisasi, kecenderungan untuk saling menuduh. “Paus Leo ingin menghindari itu. Ia ingin mempersatukan Gereja.”

Namun ia juga menekankan tugas Gereja terhadap dunia, sebagaimana ditekankan Paus Fransiskus dalam Fratelli Tutti: Gereja tidak boleh sibuk mempertahankan posisi atau hak istimewanya.

Gereja ada bukan untuk dirinya, melainkan bagi pelayanan kepada sesama – terutama yang rapuh, tersisih, dan terluka.

Kepada Anak Muda Ateis

Ketika ditanya, ”Apa yang Anda akan katakan jika suatu hari diminta berbicara bukan kepada Paus, melainkan kepada sekelompok ateis muda”, ia berkata akan memulai bukan dengan doktrin, melainkan dengan ucapan damai.

Ia akan berdiri di hadapan mereka bukan untuk memberikan jawaban, tetapi untuk mendengar pertanyaan yang paling dalam yang mereka pendam.

“Hal terpenting adalah memahami pertanyaan sejati mereka,” katanya, “bukan menjawab pertanyaan yang kita kira mereka tanyakan.”

Inilah benang merah seluruh perjalanan Pasolini: sebuah pencarian yang dimulai dari algoritma dan logika, berbelok ke arah kesepian batin, lalu menemukan kembali cahaya dalam kitab tua yang dibaca di kereta bawah tanah.

Ia telah belajar bahwa iman tidak datang dari pengetahuan, melainkan dari perjumpaan—perjumpaan yang membuat seseorang memilih untuk tetap menjadi manusia sepenuhnya, bukan sekadar mesin yang berjalan tanpa hati.

Dan di tengah dunia yang semakin terotomatisasi, itulah pilihan terbesar kita semua. (Aleteia/tD/*)

Related Post