Sat. Jul 27th, 2024

Moderasi Beragama dalam Edukasi Katolik

Sejumlah ibu-ibu bersalaman dengan biarawati Katolik dalam misa peringatan 100 Tahun Sultan Hamengku Buwono IX di Tritis, Pakem, Sleman. (kompas.com)

Vinsens Al Hayon, Penyuluh Agama Kemenag Kabupaten Kupang

TEMPUSDEI.ID (14 SEPTEMBER 2021)

Kata edukasi pada judul tulisan di atas datang dari kata Latin “educare” (eks=keluar; ducere= mengantar). Pribadi yang melakukan edukasi disebut educator. Dalam realita educator itu seperti pembina, pendidik, dan pengajar. Tugas educator adalah membantu, menuntun seseorang keluar dari suatu prakondisi ke kondisi tertentu –“yang lebih baik”. Misalnya, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak bisa menjadi bisa, dari enggan melakukan menjadi bersedia melakukan dengan ikhlas, dan seterusnya.

Tiga hal umum yang dilakukan secara sadar dan terencana oleh educator adalah mendidik, mengajar, dan melatih. Tujuannya agar manusia yang dibina-didik, diajar dan dilatih dapat menghadapi masa depannya dengan lebih siap, lebih baik dan penuh tanggungjawab. Driyarkara (1980) menyebutnya dengan arti “membantu proses homonisasi dan humanisasi.”

Penjelasan singkat; homonisasi berarti “menjadikan” manusia (homo) menjadi diri sendiri secara holistik, mengenal dan mengembangkan potensinya sehingga tumbuh menjadi manusia yang bertangggungjawab. Sedangkan humanisasi berarti proses membantu seseorang menjadi semakin manusia (human), berbudaya tinggi dan bernilai tinggi; manusia yang peka terhadap sesama dan lingkungannya. Pertanyaannya, apa rujukan paham atau ajaran yang dapat dijadikan dasar untuk edukasi moderasi agama?

Poin bahasan pertama, moderasi. Kata “moderasi” berasal dari  kata Latin “moderatio” yang berarti “ke-sedang-an” (tidak kelebihan dan tidak kekurangan). Jika kata itu disandingkan dengan “beragama”, maka jadilah “moderasi beragama.” Dua kata jadian itu secara otomatis merujuk pada aspek afektif (sikap). Sikap mengurangi kekerasan, atau menghindari sikap ekstrim dalam praksis beragama. Kata lainnya moderasi beragama merupakan esensi dari agama, yakni nir-kekacauan (nir kekerasan).

Beberapa pengalaman empirik mencatat bahwa ekstremisme dan radikalisme atas nama agama tidak cukup diatasi dengan gerakan deradikalisasi, melainkan bersinergi dengan gerakan moderasi agama. Pada tataran ini ada persyaratan mutlak, bahwa pembetukan aspek kognitif (ratio) seseorang yang hidup, bertumbuh, dan  berkembang di lingkungan plural  (pluralitas agama) harus sudah capai titik “memadai” berkaitan dengan moderasi beragama.  Lalu terimplementasi dengan benar pada aspek psikomotor dengan didorong oleh aspek konatif (kehendak). Ada goodwill dan bukan negative willing dalam bersikap moderat.

 Homo Homini Socius bukan Homo Homini Lupus

Poin bahasan kedua, dasar paham atau ajaran untuk edukasi moderasi agama. Dasarnya ada beberapa;  pertama, keadaan pluralitas (keberagaman). Realita ini harus diterima dan diakui sebagai gift. Indonesia terbangun dan terbentuk dari dan dalam keadaanya yang plural. Jika tidak, apalah arti perjuangan untuk sebuah kehidupan bermoderat.

Dalam praksis hidup, masyarakat tidak mudah atau belum sesungguhnya memahami tentang keadaan plural atau kebhinekaan ini sebagai gift dan satu keniscayaan sejarah. Karena kesadaran kebhinekaan kerap berimpitan dengan pelbagai kepentingan sosial, ekonomi, dan politik dan timbul soal besar khususnya berkaitan dengan pluralitas agama.

Contoh, sikap eksklusif yang hanya mengakui kebenaran agama dan keselamatan sepihak. Ini sikap tidak moderat yang dapat menimbulkan gesekan antar kelompok (agama) atau konflik keagamaan. Sikap keberagamaan yang eksklusif seperti contoh di atas itu dapat melahirkan sikap intoleran, radikal dan ektremistis. Karena itu, edukasi moderasi beragama harus disuluhkan dan dididik-ajarkan  dengan menekankan “kebersamaan dalam keragaman.”

Kedua. Koinonia. Dalam edukasi Katolik poin koinoia (kata Yunani koinos=kebersamaan) mendapat ruangnya dengan dasar dan tujuannya adalah Yesus Kristus, dengan merujuk pada kehidupan komunitas jemaat perdana  (Kis. 4:32-37) sebagai model koinonia. Bentuknya: praksis hidup saling memerhatikan, solider dan saling berbagi yang dilandasi kasih Tuhan. Paham ini kemudian meluas, dengan tidak tertuju hanya kelompok internal melainkan menjadi panggilan untuk kelompok eksternal dalam wujud mengasihi sesama. Penekanan ini jelas dari ajaran konsili Vatikan II dalam Dokumen Nostra Astatae (No.1 & 2) tentang “Persaudaraan atau Persekutuan.”

Ketiga, Filosofi edukasi Katolik. Terletak pada iman akan Yesus Kristus dan ajaran-Nya. Misi Yesus adalah untuk menyelamatkan umat manusia. Karena itu umat Katolik dipanggil dengan tugas perutusan menjadi saksi atau tanda keselamatan. Misi keselamatan ini diemban setiap orang Katolik yang menerima baptisan Kristus.

Internalisasi nilai iman ini dan ajaran utama Yesus Kristus yang siap dihidupi dan diwarta-ajar-didikkan adalah, “Kasihilah Tuhan, Allahmu dengan segenap jiwamu dan dengan segenap hatimu dan dengan segenap akal budimu. Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (bdk. Mat. 22:37-39).  Sesama (kelompok eksternal) dalam konteks ini sesama adalah homo homini socius.

Bagi iman Katolik/kristiani, Yesus Kristus adalah manusia sempurna. Dalam diri-Nya terpadu semua nilai manusiawi dan ilahi. Dalam dia kepenuhan hidup tercapai. Dalam Dia kita mendapat kepenuhan hidup kita “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan, (Yoh. 10:10).

Jadi tujuan edukasi katolik tidak lain adalah pengembangan pribadi manusia seutuhnya dan sepenuhnya dengan mengambil Yesus Kristus sebagai modelnya.

Keempat, Prinsip Fraternitas. Edukasi dengan prinsip fraternitas (persaudaraan atau kesesamaan manusia), berat dilaksanakan jika seseorang educator masih mempertahankan harga diri, merasa harus dihormati, apalagi berkedudukan dan berpangkat tinggi.

Dengan fraternitas, seseorang sebagai educator akan pasti dan sanggup memperlihatkan sikap tanggung jawab yang besar terhadap yang dibina-didik dan diajar. Tanggung jawab dalam konteks bermoderasi agama adalah tidak pilih kasih dalam mengedukaksi. Ini awal untuk mengasihi sesama yang bukan seagama.

Prinsip fraternitas ini dibangun atas dasar kesadaran diri (dari dalam diri) si educator. Sehingga tugas edukasi yang dijalankan adalah amanah (mandatum), rahmat (gratia) dan berkat (benedictio)  dari “Atas” dan harus diwujudnyatakan. “Ia akan meninggalkan yang sembilan puluh sembilan dan pergi mencari satu yang hilang….” (bdk. Yoh. 10:3-5).

Inilah tugas melekat yang dimeteraikan “Educator Agung” yang diyakini sebagaimana dasar filosofi edukasi yang berimplikasi kepada hidup moderat dengan sesamanya.

Prinsip fraternitas melahirkan sikap tanggung jawab yang merangkum sikap peduli atau care,  rela berkorban, belas kasihan atau missery cordia, dan sikap membangun persaudaraan dengan siapa saja, kapan dan di mana saja. Keempat hal tersebut  melahirkan ajaran homo homini socius dan bukan homo homini lupus dalam edukasi moderasi.*

Related Post

Leave a Reply