Tue. Oct 15th, 2024

Iblis Bingung, Covid Menghambat, Aktivitas Religius Merambat

Vinsens Al Hayon

(Catatan reflektif atas Matius 18:20; 22:7)

Vinsens Al Hayon, Penyuluh Katolik Kabupaten Kupang-NTT

TEMPUSDEI.ID (7 SEPTEMBER 2021)

Sampai hari ini Covid-19 masih membatasi kegiatan sosial warga. Ada PPKM sampai beberapa level. Akibatnya aktivitas religius secara regular di rumah ibadah pun rehat sejenak. Aktivitas ini lagi-lagi beralih locus ke keluarga, back to home.

Bagi kelompok ateis, situasi ini merupakan tantangan bagi rasionalitas. Manusia dipandang tidak mampu mengantisipasi dan mengendalikan semua kejadian ini. Mereka menyimpulkan: “Covid-19 bukan akibat kemarahan Tuhan, tetapi karena manusia tidak kompeten.” Sementara para penganut agama modern dan ahli heremneutiknya, meyakininya sebagai tanda-tanda akhir zaman. Atau berpandangan, ini cobaan, ujian dan hukuman dari Tuhan.

Lebih positif pendapat dari Yuval Noah Harari, sejarawan Israel, yang dikutip dari Ahmad Tharig (FacebookTweetLinkedInShares 4.7k), bahwa “Umat manusia akan bertahan, banyak dari kita akan tetap hidup. Akan tetapi, kita akan tinggal di sebuah dunia yang berbeda.” Lanjutnya, dalam bentuk tanya, “Dunia apa yang ingin kita diami selepas ‘badai’ itu berlalu?”. Pertanyaanya, benarkah itu dan bagaimana dengan kehidupan keagamaan kita, religiositas kita?

Religius, Religositas dan Ajaran Mat 18:20; 22:7

 “Religius” diterjemahkan menjadi agama dan kemudian diartikan sebagai “pelembagaan atau institusionalisasi”.  Sedangkan “religiositas” secara leksikal dari kata Latin: re-eligare. Artinya “ikat kembali.” Jadi religiositas dipahami sebagai  “mengikat kembali relasi dengan Allah.”

Jadi agama adalah pelembagaan religiositas oleh masyarakat penganut agama. Sedangkan masyarakat yang sadar akan relasi dan ikatan kembali dengan Tuhan itu, disatukan, itulah religiositas.”  Lalu bagaimana religiositas itu dihidupi agar tidak mati di masa pandemik ini?

Religiositas sebagai ikatan relasi dengan Tuhan tetap terjadi dan terlaksana. Hal ini ditunjukkan oleh aktivitas religius: berdoa bersama dalam keluarga; doa angelus, doa malam, doa rosario. Locusnya sekarang di home, dalam keluarga.

Di rumah, di home itulah, selain merasa at home, juga terjadi revitalisasi aktivitas religius. Karena sangat boleh jadi ia sempat pudar, bahkan “hilang” karena kesibukan dan lain-lain kegiatan di luar rumah, sebelum masa Pandemi Covid-19.

Realita terakhir ini yang membuat iblis bingung. Iblis yang pernah menggoda Tuhan, seperti kisah dalam Kitab Suci, datang lagi pada Tuhan di masa pandemi ini dan mengatakan: (Saya kutip dari tulisan asli pada lukisan yang dikirim ke Wa saya) “With Covid-19, I have closed your churches.” Tuhan menjawab:  “Wrong!  I have  opened one in every home”. Bayangkan betapa terpukulnya Iblis. Waktu lalu ia kalah, dan sekarang kalah lagi ketika mendengar pernyataan Tuhan ini.

Nilai religious (iman) yang dapat dipetik dari dialog itu adalah Tuhan tidak membiarkan situasi pandemik memutuskan relasi kita dengan-Nya. Ia hadir dalam segala situasi hidup manusia. Ia mengasihi umatNya yang percaya pada-Nya. Ia tidak memberi ujian di luar kemampuan umat-Nya. Justru dalam situasi Pandemi Covid-19 ini, Tuhan datang, mengetuk pintu rumah keluarga-keluarga dan mau masuk dan berdiam bersama keluarga.

Di rumah, di home inilah, Ia menegaskan kembali ajaran-Nya: “Di mana dua atau tiga orang berkumpul atas nama-Ku, Aku hadir di tengah-tengah mereka,” (Mat. 18: 20). Ia juga membacakan lagi hokum-Nya: “Kasihilah Tuhan Allahmu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri,” (Mat 22:7).

Tentang “sesama,” arti simplenya, “Jika yang bukan dirimu sendiri adalah sesama” maka orang tua, suami, istri, anak-anak dan siapa saja yang ada dalam rumahmu adalah sesama.” Karena itu tugas kita, tugas seisi rumah selanjutnya adalah mengasihi sesama lain di luar rumah, di luar keluarga kita, teristimewa di masa Pandemi Covid-19 ini.

Prinsip yang dianut sekarang adalah “Covid-19 menghambat, aktivitas religius merambat”. Ia merambat atas dasar kesadaran diri dan “seisi rumah,” akan kasih Allah. Kasih yang mendasari hidup dan membuat kita merasa bahwa hidup yang sesungguhnya adalah hidup yang diabdikan bagi orang lain.” *

Related Post

Leave a Reply