Fri. Jul 11th, 2025
Yosep Bulu

 Yosep Bulu, Mahasiswa Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik Universitas Katolik Weetebula di Pulau Sumba

Saya lahir dalam kesederhanaan. Kedua orang tua saya adalah petani yang tidak mengenyam pendidikan formal. Jagung, ubi kayu, dan keladi adalah makanan pokok yang menopang kehidupan kami sehari-hari.

Keterbatasan ekonomi menyebabkan saudara-saudara saya tidak mampu melanjutkan pendidikan tinggi dan memilih untuk merantau demi bertahan hidup.

Beban keluarga kian berat ketika saya kehilangan ayah di usia tiga belas tahun. Namun, sebelum mengembuskan napas terakhirnya, ayah berpesan dengan kalimat yang sederhana namun penuh makna “Zekola pandighu” yang berarti sekolah/belajarlah dengan sungguh-sungguh.

Kalimat tersebut menjadi semacam wasiat yang saya hayati sebagai panggilan rohani, benih pengharapan, dan kekuatan moral yang menuntun langkah saya hingga hari ini.

Kehilangan ayah menjadi titik mula perjalanan spiritual saya, sebuah peziarahan mencari terang di tengah lorong kehidupan yang gelap.

Dalam peziarahan ini, saya menyadari kehadiran seorang “malaikat” dalam hidup saya, yakni ibu saya. Ia memang tidak mengenyam pendidikan formal, tetapi kasih dan pengorbanannya melampaui gelar akademik mana pun.

Ia bekerja dalam diam, berdoa tanpa suara, dan mencintai tanpa syarat. Itulah cinta dari sang ibu. Dari peluh dan air matanya, saya belajar bahwa pengharapan tidak selalu tumbuh dari janji-janji besar, tetapi justru dari ketekunan yang sunyi dan kasih yang tulus.

Perjalanan pendidikan saya kala itu bukanlah sesuatu yang mudah. Saya belajar di bawah cahaya pelita, berjalan kaki sejauh enam kilometer setiap hari menuju sekolah, dengan seragam yang lusuh dan sepatu yang nyaris tidak layak pakai.

Semua itu saya kenang sebagai bagian dari panggilan untuk menemukan terang sejati. Saat ini, saya meyakini bahwa pendidikan adalah salah satu bentuk terang yang dinyalakan Allah dalam hidup manusia. Setiap langkah yang saya tapaki dalam proses belajar adalah jawaban atas panggilan itu.

Perubahan besar dalam hidup saya dimulai ketika saya diterima di Program Studi Pendidikan Keagamaan Katolik, Universitas Katolik Weetebula.

Keterlibatan saya dalam berbagai kegiatan pelayanan kampus dan aktivitas gerejawi membuka mata batin saya untuk melihat bahwa Allah hadir dalam setiap pengalaman konkret.

Dalam proses ini, saya memahami bahwa teologi bukan sekadar ilmu kognitif, melainkan seperti yang dikatakan Santo Anselmus, fides quaerens intellectum—iman yang mencari pengertian.

Dalam proses pencarian itu, saya merasakan bahwa saya tidak pernah berjalan sendiri. Allah selalu hadir, bahkan ketika saya merasa lelah dan diliputi keraguan.

Tahun Yubileum 2025 dengan tema “Peziarah-Peziarah Pengharapan” menjadi momen reflektif yang sangat personal dan penuh makna.

Sebagai mahasiswa Pendidikan Keagamaan Katolik, saya mulai memahami bahwa panggilan untuk menjadi terang bukanlah sekadar peran sosial, melainkan panggilan dari Sang Ilahi yang menuntut keberanian dan kesetiaan.

Sebagaimana ditulis dalam Roma 5:5: “Sebab pengharapan tidak mengecewakan, karena kasih Allah telah dicurahkan di dalam hati kita oleh Roh Kudus yang telah dikaruniakan kepada kita,” saya percaya bahwa kasih Allah bekerja bahkan melalui luka, kehilangan, dan penderitaan.

Pengalaman-pengalaman menyakitkan yang saya alami tidak saya pandang sebagai kutukan, tetapi sebagai jalan rahmat. Di dalamnya, saya dibentuk untuk lebih peka terhadap kehadiran Tuhan.

Setiap pagi saya membuka hari dengan doa dan membaca Kitab Suci, meski terkadang gagal melakukannya secara konsisten. Bukan karena saya merasa paling saleh, melainkan karena saya ingin hati saya terus selaras dengan terang-Nya.

Pada malam hari, saya mencoba menulis jurnal rasa syukur, dan sering kali merenungkan frasa memento mori—”ingatlah, engkau akan mati.” Saya renungkan bahwa frasa ini bukan untuk menakut-nakuti, melainkan mengingatkan saya bahwa hidup ini sementara, dan setiap momen harus dijalani dengan kesadaran dan penuh tanggung jawab.

Dalam keseharian, saya belajar mengenali kasih Allah dalam hal-hal kecil dan sederhana: senyum dari seorang ibu, sapaan hangat dari setiap orang yang saya jumpai, udara pagi yang sejuk bahkan sampai pada keheningan dalam kesendirian.

Meskipun saya sering gagal dan jatuh, saya berusaha untuk hidup dengan jujur, tulus, dan peduli. Sebab saya percaya bahwa terang sejati tidak pernah padam oleh kegelapan.

Dalam momen-momen seperti itulah saya merasakan bahwa Allah hadir dan tahun Yubileum ini saya hayati sebagai momentum untuk bersyukur atas rahmat hidup, sekaligus sebagai komitmen untuk terus berjalan dalam terang Kristus. Saya renungkan bahwa pengharapan bukanlah mimpi kosong, tetapi daya Ilahi yang bekerja dalam keheningan iman.

Saya terinspirasi oleh kata-kata Paus Fransiskus: “Harapan adalah seperti jangkar yang menahan kita agar tidak terombang-ambing dalam badai kehidupan. Ia adalah bintang penuntun yang menerangi malam kita.”

Dari kata-kata ini, sampailah saya pada permenungan yang paling dalam: Biarlah hidup saya, dengan segala keterbatasannya, menjadi bintang kecil yang memberi terang bagi sesama.

Akhirnya, refleksi atas perjalanan hidup ini membawa saya pada satu kebenaran yang tak tergoyahkan: Spes Non Confundit “pengharapan tidak mengecewakan”.

Pengharapan dalam Kristus bukan fatamorgana atau khayalan kosong tanpa arah melainkan kekuatan sejati yang menopang saat akal buntu, tubuh lelah, dan dunia tampak gelap.

Pengharapan itu adalah doa ibu di malam sunyi, dan harapan itu pulalah yang membuat saya tetap berdiri saat nyaris roboh oleh kegagalan.

Sebagai peziarah pengharapan, saya berkomitmen untuk terus berjalan dalam terang, meskipun jalan yang saya lalui penuh rintangan, saya percaya bahwa Tuhan adalah sumber pengharapan yang tidak mengecewakan.

Saya percaya bahwa Tuhanlah yang menuntun saya dari lorong kegelapan menuju terang dengan maksud supaya saya pun menjadi terang bagi   setiap peziarah-peziarah lain yang  kehilangan harapan dan berada dalam lorong kegelapan.*

Related Post