Sat. Jul 27th, 2024

Sejenak Meninjau Sila Pertama Pancasila  

Bernardus T. Beding

Oleh Bernardus T. BedingDosen Prodi PBSI Universitas Katolik Indonesia Santu Paulus Ruteng

 

Tanggal 1 Juni merupakan hari lahir Pancasila. Pancasila dilahirkan berdasarkan keanekaragaman karakter bangsa, yakni suku, agama, ras dan budaya, serta bahasa.

Mari sejenak meninjau sila pertama Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa.

Kata-kata dalam sila tersebut menggunakan istilah bahasa Sanskerta atau bahasa Pali. Tidak sedikit orang yang salah paham, bahkan salah mengartikan makna sila pertama. Ada guru yang mengajarkan bahwa Ketuhanan Yang Maha Esa sama dengan “Tuhan yang satu”, atau “Tuhan yang jumlahnya satu”. Jika dicermati dari sudut pandang bahasa asalnya, Ketuhanan Yang Maha Esa tidak bermakna Tuhan yang satu.

Bagaimana pertanggungjawabannya? Ketuhanan berasal dari kata Tuhan yang diberi konfiks ke dan an. Fungsi konfiks adalah membentuk kata sifat, kata keadaan, kata kerja, dan kata benda. Sedangkan salah satu makna konfiks ke an adalah menyatakan sifat, hal yang disebut dalam kata dasar atau peristiwa yang terjadi, dan perbuatan yang dilakukan tidak dengan sengaja (Keraf, 1996).

Artinya, penggunaan awalan ke dan akhiran an pada suatu kata dapat mengubah makna dari kata itu. Demikian juga dengan kata “ketuhanan” yang berasal dari kata Tuhan yang diberi imbuhan ke dan an yang bermakna sifat-sifat Tuhan. Ketuhanan berarti sifat keadaan Tuhan; segala sesuatu yang berhubungan dengan Tuhan; kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa (KBBI Online).

Dengan perkataan lain, Ketuhanan berarti sifat-sifat Tuhan atau sifat-sifat yang berhubungan dengan Tuhan (bdk. Yoh.3:6).

Kata “maha” juga berasal dari bahasa Sanskerta atau Pali yang bisa berarti mulia atau besar (bukan dalam pengertian bentuk). Kata maha berarti sangat, amat, teramat. Bisa disandingkan dengan kata sifat seperti “besar” sehingga menjadi “maha besar” yang berarti sangat besar atau amat besar, atau bisa digandeng dengan kata “mulia” sehingga menjadi “maha mulia”  yang berarti amat mulia (KBBI Online).

Bagaimana dengan kata “esa”? Kata ini pun berasal dari bahasa Sanskerta atau Pali. Kata “esa” tidak berarti satu atau tunggal dalam jumlah. Kata esa berasal dari kata etad yang lebih mengacu pada pengertian keberadaan mutlak atau “ini” (this: Inggris). Sedangkan kata “satu”—masih dari Bahasa Sansekerta atau Pali—dalam pengertian jumlah sepadan dengan “eka. Maka, jika maksud sila pertama adalah jumlah Tuhan yang satu, maka kata tepat menggunakan kata eka, bukan esa.

Dalam Perjanjian Lama terjemahan bahasa Indonesia, sering dijumpai kata “TUHAN” (ditulis dengan huruf kapital semua) dalam penyebutan nama “Allah”. Sebenarnya, kata “TUHAN” tersebut menggantikan Tetragrammaton (empat huruf) yang dianggap suci oleh orang Yahudi yang merupakan nama Allah, yakni “Yod He Waw He” (YHWH) yang sering dibaca “Yehuwah”. Nama ini adalah nama perjanjian yang mengikatkan Allah dengan umat-Nya dan sebaliknya umat-Nya dengan Allah.

Dalam sepuluh Hukum Taurat (Kel. 20:7, Ul. 5:11) ada larangan menyebut nama Allah dengan sembarangan. Jangan menyebut nama Alahmu tidak dengan hormat. Karena itu, sejak Musa menerima Hukum Taurat, jika orang Yahudi membaca Alkitab dan menemukan YHWH, mereka tidak membacakan bunyinya. Mereka mengganti YHWH  dengan ucapan Adonay (Tuhanku).

Terjemahan bahasa Indonesia mengikuti terjemahan Septuaginta yang tidak memunculkan “YHWH” untuk nama Allah. Namun, terjemahan diganti dengan nama “TUHAN” (dengan huruf kapital semua) untuk terjemahan nama Allah; Yehuwah, untuk membedakan dengan gelar kepenguasaan Allah sebagai Tuhan.

Selain itu, nama-nama Allah ialah Ehyer-Asher-Ehyeh, El: El Shaddai, El-Olam, El-Hai, El-El-Ro’I, El Elohe Israel, El-Gibbor, Elohim, Elyon, Yehovah Yireh, Rapha, Nissi, dll. Yesus juga diberi gelar Tuhan dengan maksud penekanan makna gelar TUHAN dalam jabatan dan bidang kewibawaan sebagai sang penguasa yang diangkat oleh YHWH (Rm. 10:19-13; bnd. Yl. 2:32, Filp. 2:10-11, Yes. 45:23) karena ikatan perjanjian Allah dengan Umat-Nya.

Sesungguhnya, keberadaan Tuhan hanya mampu dikenal melalui hasil karya-Nya melalui hubungan peristiwa tertentu, bukan sekadar nama atau kata. Dengan demikian, penandasan kritis terhadap konsep Teologi Ketuhanan Yang Maha Esa berdasar pada wacana klasik, yaitu antropomorfis.

Secara khusus, “Tuhan” yang diapit oleh konfiks ke dan an bermakna sifat-sifat luhur mulia Tuhan yang mutlak harus ada. Jadi yang ditekankan pada sila pertama dari Pancasila ini adalah sifat-sifat Tuhan (luhur mulia), bukan Tuhan (sekadar kata).

Uraian ini tidak bermaksud membuat suatu pernyataan tentang hakikat keAllahan atau paham ke-Tuhan-an dalam agama tertentu. Ketuhanan menjadi salah satu prinsip dasar pembentuk dan penyatu bangsa Indonesia. Ketuhanan dalam Pancasila menjadi faktor transcendental, unsur pembentuk ilahi dari prinsip kemanusiaan, persatuan, demokrasi dan keadilan sosial.

Dengan demikian, ketuhanan dalam Pancasila sudah berimplikasikan pluralisme dan pluralitas. Ketuhanan dalam Pancasila bukanlah teori ketuhanan, melainkan merupakan bagian hakiki perjuangan Soekarno untuk membentuk Indonesia sebagai bangsa.*

Related Post

Leave a Reply