Sat. Jul 27th, 2024
Romo Markus Marlon, MSC (alm). Foto: dokumen keluarga.

Oleh Emanuel Dapa Loka

Barangkali saya termasuk dalam golongan bonek (bondo nekad). Ketika masih kuliah di Jogja, oleh karena dorongan perut dan hasrat untuk diakui, saya berjuang untuk menulis. Sebab dengan menulis di majalah atau koran, nama saya akan terpampang sebagai penulis, lalu ada yang berdecak kagum, minimal Mama dan Bapak saya di kampung. Itu dulu, lain lagi sekarang. Tapi ketika itu, bagi saya, bisa muncul media adalah sebuah kemewahan yang teramat sangat.

Oleh karena dua alasan tersebut, dengan segala keterbatasan, termasuk kemampuan menulis yang masih sangat minim dan tidak memiliki mesin ketik sehingga selalu harus pinjam mesin ketik teman—sampai menghafal merk Brother—saya berusaha menulis. Ada yang dimuat, namun lebih banyak yang tidak dimuat. Kalau ada tulisan yang dimuat berarti nafas bisa lebih panjang karena bisa masuk warung dan bisasejenak berganti lauk paha ayam.

Dalam kenekadan itu, saya datang ke Majalah PRABA, sebuah majalah dengan dua bahasa (Bahasa Jawa dan Bahasa Indonesia), sebelumnya majalah ini total berbahasa Jawa. Kedatangan saya untuk minta bergabung karena saya tahu majalah ini membutuhkan reporter. Dengan bergabung pikir saya, ada jaminan tulisan-tulisan saya dimuat dan bisa mengantongi “Kartu Pers” walau dari kertas, dan nama pemilik pun ditulis pakai mesin ketik.

Penuh Inspirasi

Romo Markus Marlon, MSC (alm) ketiga dari kiri bersama teman-temannya. Foto: dokpri

Berawal dari PRABA saya sering membaca tulisan-tulisan Romo Markus. Ia sering kirim tulisan dalam bahasa Indonesia. Jujur, ketika itu, saya membaca sekilas-sekilas saja, namun selalu baca.

Ketika saya masuk Jakarta dan beberapa tulisan saya dimuat di Media Indonesia (dalam rubrik BIDASAN seperti rubrik BAHASA di Kompas), saya mengabari Romo Markus tentang rubrik yang sangat cocok dengan kegemaran dan kepiawaiannya dalam dalam mengolah kata-kata (menyangkut etimologis, derivasi kata, dan lain-lain). Dia langsung kirim tulisan dan beberapa kali dimuat. Sayangnya rubrik itu (mungkin menyangkut honor) hanya boleh diisi oleh orang Media Indonesia sendiri. Informasi bahwa BIDASAN hanya akan diisi oleh orang MI ini, dikabarkan redaksi, tentu semua yang pernah nulis dikabari. Inilah salah satu cara media menghargai para penulisnya.

Saya banyak kali mendapat inspirasi dari tulisan-tulisan Romo Markus, bahkan sering dari satu ungkapan saja yang dia kutip dari filsuf atau sastrawan klasik dunia yang ia selalu hubungkan dengan kondisi Indonesia, khususnya Jawa, memicu dan memacu  ide untuk menulis sesuatu yang lain.

Kualitas tulisan Romo Markus dengan cepat bisa terbaca (karena memang singkat-aingkat), dari diksinya yang tidak pasaran dan kata asing yang ia pakai selalu dia terjemahkan dan meletakkan dalam konteks. Sangat kelihatan bahwa bacaannya sangat luas dan beragam.

Kadang Getas

Saya pun belum pernah bertemu Romo Markus. Yang kemudian saya ketahui dari seorang teman, mantan wartawan Sinar Harapan bahwa Romo mengidap diabetes yang tergolong parah dan membuatnya kadang-kadang “getas”. Tentang ini Romo agak tertutup, sehingga kawan itu berpesan agar saya  tidak bertanya tentang kesehatan Romo.

Karena melihat ketekunannya menulis dan pasti sangat berguna untuk teman-teman di Komunitas Deo Gracias, saya mengajaknya bergabung. Kawan-kawan kemudian bisa mengenalnya bahkan sangat dekat dengannya melalui tulisan-tulisan pendeknya yang hampir setiap hari menemani.

Saya yakin, seperti saya, banyak dari kita yang belum pernah bertemu secara langsung, tapi rasanya sudah bertemu dengannya setiap hari melalui tulisan-tulisannya. Sekarang pun kita tetap bertemu dengannya dalam spirit kesukaannya, yakni menulis.

Kalau Descartes terkenal dengan Cogito ergo sum (saya berpikir maka saya ada) mungkin saja Romo Markus meletakkan dirinya dalam spirit scribo ergo sum (saya menulis maka saya ada).

Kini Romo Markus telah tiada, namun saya tidak mau larut dalam duka, dan rasa kehilangan, bahkan tidak ingin duka saya dan kita abadi baginya (seperti kata-kata dalam puisi Sapardi Djoko Damono).

Bagi saya, kehadiran Romo Markus “telah terwakili” dalam sangat banyak tulisannya. Saya berharap ada yang berkenan menerbitkan naskah-naskah tersebut untuk memperkaya wawasan dan batin banyak orang.

Kita tetap bisa belajar dari itu, walau pasti belum semua hal telah Romo Markus tuliskan. Yang sudah ia tuliskan, itu adalah dirinya yang bisa menginspirasi kita dalam hidup dan karya kita.

Sekali lagi, selamat jalan Romo Markus. Maaf, saya tidak mau menyematkan  duka abadi untukmu, sebab engkau pasti selalu hadir menemani kami. Requiescat in Pace.

Related Post

Leave a Reply