Sat. Jul 27th, 2024

Prof. Dr. Cornelis Lay, Menabur Cinta Kasih, Menuai Hormat

Prof. Dr. Cornelis Lay, MA, selalu rela berbagi dalam aneka bentuk. Foto: ist
Karangan bunga dari berbagai kalangan untuk Prof. Dr. Cornelis Lay.

Pada 05 Agustus 2020 malam, saya bersama Bapak Hilarius (Pengacara, sahabat almarhum, sekaligus Ketua Paguyuban Flobamora/Pamor Yogyakarta) dan Bapak Hironimus (salah satu sesepuh Pamor) pergi melayat ke rumah alm. Prof. Dr. Cornelis Lay, MA di perumahan Cemara, Maguwoharjo, Yogyakarta.

Sebagai sesama warga NTT diaspora, saya ikut berbangga melihat ratusan karangan bunga yang memenuhi hampir semua lorong di perumahan itu. Dari deretan nama-nama yang tertera di papan bunga saja, orang langsung tahu siapa sesungguhnya Cornelis di mata mereka semua. Luar biasa hormat orang padanya. Tentu saja itu semua berkat cinta dan dedikasi kemanusiaan dan keilmuan yang ia berikan semasa hidupnya.

Urutan karangan bunga pertama dari Presiden Jokowi, Ibu Megawati Ketum PDIP, Pak Hasto Sekjen PDIP lalu para menteri lainnya. Ini menunjukkan Pak Conny sangat istimewa di hadapan Pak Jokowi, Ibu Megawati dan PDIP umumnya. Publik tentu tidak melihat kiprah Cornelis sebagai kader PDIP yang saban waktu bersama Ibu ketua umum atau bersama Sekjen partai. Tetapi sesungguhnya di balik ketersembunyiannya, ia begitu dekat secara ideologis dengan PDIP karena ia termasuk salah satu Sukarnois yang sangat mengagumi dan membumikan pemikiran-pemikiran Bung Karno bagi perjuangan partai dan tentu saja bagi bangsa.

Kehilangan Tokoh Terbaik

Dalam tiga minggu terakhir, bangsa ini dengan terpaksa harus rela kehilangan dua tokoh terbaik di bidangnya masing-masing. Pada pertengahan Juli, kita baru saja kehilangan pujangga terkemuka dan guru besar Sapardi Djoko Darmono. Kemudian disusul oleh Ajib Rosidi, sastrawan, penulis, budayawan, dosen, pendiri dan redaktur beberapa penerbit. Mereka berdua telah sangat berjasa dalam dunia kepenyairan bangsa, mereka telah menorehkan banyak kata yang terlahir dalam banyak buku. Keduanya dikenang dengan lewat aneka judul buku yang mereka tinggalkan.

Jika Sapardi yang akrab disapa SDD terkenal dengan Sang Hujan Bulan Juni (sebagai rasa duka saya buatkan puisi Hujan Tengah Juli), maka Cornelis banyak dikenal sebagai akademisi dan ilmuwan politik yang menjadi sahabat para wartawan. Karena hasil wawancara dengannya bisa menjadi sebuah artikel yang menarik.

Cornelis, menurut banyak sahabat dan mantan mahasiswa yang pernah dekat dengannya terkenal sebagai seorang sahabat yang sangat perhatian, penuh dedikasi dan tanpa pamrih. Ia seorang intelektual muda yang cerdas. “Intelektual yang mencoba ikut memengaruhi praktik kekuasaan politik untuk kemaslahatan bersama, tanpa tergoda mengejar kekuasaan, ilmuwan yang memberi teladan untuk mencintai pengetahuan sebagai panggilan hidup, dosen yang selalu membimbing mahasiswa dengan hati,” demikian tutur Nicolaus Loy, salah seorang mahasiswa yang sedang menyelesaikan studi S3 di Fisipol UGM.

Bung Conny, demikian biasa disapa para jurnalis asal NTT, sangat peduli dengan mahasiswa bimbingannya secara personal. Ia tidak saja membiarkan dirinya berjarak sebagai seorang dosen, tetapi sebagai seorang sahabat, kakak bahhan ayah bagi mahasiswa dampingannya. “Cornelis tidak mulai dengan isi disertasi, tetapi soal-soal human interest yang mungkin mengganggu disertasi,” kata Nico seperti dituturkan oleh seorang mahasiswa S3 yang pernah dibimbing almarhum kepadanya. Cornelis mendampingi mahasiswa bukan pertama-tama pada apa yang ditulis (disertasi) tetapi bagaimana menulis (proses yang menyertai mahasiswanya dalam menulis termasuk mungkin kendala psikologis dan finansial yang membebani).

Cornelis juga seorang intelektual yang bertumbuh dalam pergerakan. Sejak mahasiswa dia aktif dalam Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Dan itu sangat memengaruhi dia untuk menjadi seorang intelektual organik, seorang intelektual yang memiliki watak nasionalis sekaligus memberikan watak moral pada setiap pekerjaannya.

Meski dia sangat dekat dengan kekuasaan, dia tidak menerima kursi kekuasaan. Dia sungguh menempatkan dirinya sebagai seorang intelektual yang memberi wajah perubahan pada setiap kebijakan tanpa harus menjadi pengambil kebijakan itu sendiri. Ibarat kata, dia membiarkan diri menjadi garam sehingga sebuah masakan menjadi enak tanpa harus keasinan atau kekurangan garam.

Kembali ke soal karangan bunga. Bunga lambang keindahan dan keharuman. Di saat dia menuntaskan tugasnya di dunia, banyak orang mengantarnya terakhir kali dalam aneka karangan bunga nan indah dan harum. Keindahan dan keharuman bunga menjadi metafora keharuman dan keindahan nama Cornelis semasa hidupnya. Dia yang semasa hidupnya menabur cinta kasih kepada banyak orang dengan keilmuan dan dedikasi kemanusiaannya, akhirnya menuai hormat nan takzim dalam bentuk harum dan indahnya bunga. Selamat, jalan senior. Tunggulah kami di rumah keabadian. Di sana kita akan berdiskusi tentang banyak hal tentang bangsa ini.

Sungguh, terlepas dari segala kelemahan manusiawinya, Cornelis tetaplah salah satu putra NTT yang sangat kaliber dan terkenal. Adakah tokoh NTT lainnya yang sekaliber dia yang juga menabur cinta dan menuai hormat sepertinya?

Alfred B. Jogo Ena, kelahiran 7 Maret dan penyuka puisi ini, sehari-hari bekerja sebagai editor di penerbit Bajawa Press. Ia juga menulis dua buku Pentrigraf tentang Bung Karno. Sekarang tinggal di Yogyakarta. Bisa dikontak di 082136518774 dan [email protected]

Related Post

Leave a Reply