


Salah satu nama yang langsung teringat ketika menyebut Lebanon adalah penyair Kahlil Gibran. Dan ketika menyebut Gereja Katolik Maronite, masih nama yang sama yang muncul.
Bukan tanpa alasan. Kahlil Gibran adalah sebuah nama yang bergetar lembut di hati banyak pencinta sastra dunia.
Dari pegunungan Lebanon yang terjal hingga kota-kota modern yang benderang, suaranya merambat melintasi bahasa dan budaya, membawa pesan cinta, kebijaksanaan, dan spiritualitas yang abadi.
Dalam diri Kahlil Gibran, darah seorang penyair Timur bertemu dengan cakrawala Barat yang luas, melahirkan karya-karya yang menjangkau jiwa manusia terdalam.
Sebagai umat Gereja Katolik Maronite, Gibran hidup dalam napas iman yang mengakar kuat.
Ia menghayati Kristus bukan hanya sebagai figur sejarah, melainkan sebagai cahaya yang membimbing perjalanan batinnya.
Setiap larik puisinya, setiap paragraf prosa puitisnya, menyiratkan kerinduan seorang murid yang mencari Sang Guru dalam keheningan dan keindahan dunia.
Spiritualitas Kristiani inilah yang memberi warna khas pada karyanya—bening, lembut, namun penuh daya menggugah.
Di antara begitu banyak karya yang ia hadiahkan kepada dunia, Anak Manusia—judul Indonesia dari Jesus, the Son of Man—menjadi salah satu yang paling istimewa.
Melalui buku ini, Gibran menghadirkan Yesus dari sudut pandang puluhan tokoh yang membayangkan kembali kehadiran Sang Mesias.
Bukan sebagai sosok jauh yang tak tersentuh, melainkan sebagai manusia yang mengasihi, menyembuhkan, dan menyentuh hati setiap orang yang Ia temui.
Karya ini adalah semacam doa panjang, sebuah pujian penuh rasa, yang tak lekang oleh waktu.
Namun, Gibran bukan hanya penulis satu mahakarya. Dunia mengenalnya melalui The Prophet (Sang Nabi).
Buku ini telah diterjemahkan ke lebih dari 100 bahasa dan menjadi rujukan spiritual bagi jutaan orang.
Melalui kisah Almustafa, Gibran membentangkan hikmat mengenai cinta, kebebasan, pekerjaan, kesedihan, hingga kematian—tema-tema abadi yang membangun jembatan dari hati ke hati.
Selain itu, Gibran juga meninggalkan karya-karya lain yang tak kalah memikat, seperti The Madman, The Forerunner, Sand and Foam, The Broken Wings, The Earth Gods, dan The Wanderer. Masing–masing mengandung renungan filosofis dan keindahan bahasa yang menjadi ciri khasnya.
Dalam seluruh perjalanan kreatifnya, Kahlil Gibran mengajak kita melihat bahwa kata-kata bukan sekadar rangkaian huruf, melainkan jendela menuju kedalaman jiwa.
Melalui karya-karyanya, dunia menemukan bahwa puisi dapat menjadi doa, dan sastra dapat menjadi jalan pulang menuju Sang Cahaya. Suara Gibran terus hidup—abadi, lembut, dan selalu memikat. (*)


