Tue. Sep 2nd, 2025
Gambar hanya ilustrasi

Oleh Emanuel Dapa Loka

Pepatah ”Mulutmu harimaumu” berikut maknanya, pasti tidak asing bagi  pejabat publik seperti Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach, Sudewo dan sebagainya. Tapi mengapa mulut mereka tetap tidak tertib alias ngember?

Terasa sekali mereka menggunakan mulut, tapi tidak pakai otak. Bukankah mulut beraksi mengikuti perintah otak? Cermati saja. Bicara mereka seperti ocehan orang yang tidak berpengetahuan dan nir empati. Mereka bahkan ngenyek, memaki-maki atau malah menantang rakyat secara terbuka. Duh!!

Mereka lupa ingatan, bahwa rakyatlah yang membawa mereka duduk di ”singgasana”, yang kemudian membuat hidup mereka berkilau-kilau, yang membuat garasi rumah mewah mereka bak show room aneka kendaraan lux, atau menyebabkan brankas mereka sesak dengan uang tak berseri dan sebagainya.

Yang kita lihat hari ini, kata-kata dan bahasa tubuh mereka menunjukkan bahwa jangankan ”menyenasib” dengan rakyat, menaruh empati sedikit saja tidak. Di antara rakyat dan para wakil itu terbentang jarak yang sangat jauh, bahkan sulit terhubung. Padahal, sesungguhnya mereka hanyalah wakil rakyat, dan rakyat adalah majikan mereka, tapi lihatlah kelakuan mereka itu.

Bupati Sudewo misalnya, ketika diprotes oleh masyarakatnya atas berbagai tindakannya yang dinilai tidak mau tahu, atau membelakangi nasib rakyat, dia malah katakan: jangankan lima ribu orang demo, lima puluh ribu orang saja saya tidak takut. What?

Sesumbarnya yang tak pakai otak itu membuat rakyat Pati marah besar. Mereka ramai-ramai menyerbunya dengan beringas. Sontak, Pati membara. Sudewo nyaris cidera akibat dilempari batu, botol minum dan berbagai benda keras lainnya.

Kemudian dia buru-buru minta maaf dan ”mengklarifikasi”, bahwa ucapannya bukan untuk menantang  rakyat. Jelas ngeles!

Misal yang lain adalah Muhammad Sahroni, Uya Kuya, Eko Patrio dan Nafa Urbach.

Sahroni anggota DPR RI dari Partai Nasdem itu menyebut pihak-pihak yang meminta DPR dibubarkan sebagai orang tolol sedunia.  Gila! Saat pemilu mengemis-ngemis suara rakyat, kemudian menolol-nololkan rakyat.  

Sebelumnya, ada lagi pejabat publik yang bicara tak pakai otak. Mereka menyebut para siswa yang sakit atau keracunan setelah menyantap ”makanan bergizi gratis” karena belum terbiasa makan enak.

Atau ada juga yang membandingkan harga beras di Indonesia dan Jepang secara serampangan. “Sekarang ini baru naik sedikit saja ribut. Jepang sudah Rp 100 ribu per kg harga beras hari ini,” kata Menteri Pertanian  Andi Amran Sulaiman.

Duh! Semua ujaran di atas jelas-jelas asal bunyi, alias tidak pakai otak.

Ilmu komunikasi mengatakan: pesan tidak dapat ditarik kembali. Ini dikenal dengan istilah irreversible. Apa yang tertulis tetap tertulis – kata Pilatus.

Karena itu, penjelasan atau klarifikasi apa pun yang datang kemudian, itu hanya akan membawa serta kesan atau malah pendapat bahwa yang bersangkutan, seperti babi yang asal berteriak, atau anjing di pinggir jalan yang penting menggonggong. Orang seperti itu jelas tidak melibatkan keunggulan dirinya dibandingkan makhluk yang tak memiliki rasio dan perasaan.

Tumpukan ungkapan-ungkapan dan bahasa tubuh serta tindakan yang membelakangi dan menyakitkan itu tinggal menunggu ”pemantik” untuk meledak-ledak dan membakar. Dan ini sudah terbukti. Masyarakat tersinggung dan marah besar.

Uniknya, mereka tidak lagi hanya unjuk perasaan seperti biasanya dengan hanya berteriak-teriak di depan gedung-gedung yang tak bernyawa seperti gedung DPR—apalagi ditinggal pergi oleh penghuninya. Rakyat datang langsung ke pemilik mulut comberan itu dan menuntaskan amarah mereka.

 Semesta Mendukung

Kalau rakyat sudah bergerak dengan dukungan semesta, siapa pun dan kekuatan apa pun, tak bisa membendung. Di sinikah ungkapan legendaris vox populi vox Dei – suara rakyat suara Tuhan—menemui kebenarannya?

Aksi murni rakyat yang bergerak atas daya semesta hanya akan fokus pada tujuannya. Murni? Ya, karena ada juga yang tidak murni, alias menyusupkan kepentingan politik.

Rakyat dengan visi murni tidak akan peduli dengan gas air mata, peluru karet, bahkan peluru tajam yang akan dimuntahkan oleh aparat. Itu sama sekali bukan lagi hantu bagi mereka. Bahkan ancaman kematian akibat tembakan senjata yang mereka belikan untuk negara mereka definisikan sebagai kematian yang berharga.

Seneca, seorang filsuf Stoa dalam surat ke-30-nya kepada Lucius,  menulis  “Kematian bukanlah hal yang perlu ditakuti, karena ia adalah bagian dari alam seperti kelahiran.”

Dalam formulasi yang lain, rakyat (yang berjuang sungguh-sungguh) meyakini bahwa kematian adalah proses alami dan merupakan keniscayaan, sama seperti matahari yang pada saatnya terbit, dan tenggelam pada waktunya. Atau ungkapan awamnya: mati sekarang dan esok sama saja—sekali lagi karena visi dan misi kuat.

Namun, yakinlah bahwa Indonesia masih bisa diselamatkan dengan syarat berubah! Sesungguhnya, yang bergejolak di hati mereka yang seakan tidak takut mati itu adalah kobaran cinta. Cinta terhadap siapa?  Cinta terhadap negeri dengan sejarah panjang nan berdarah-darah, yang ditebus dengan nyawa para pahlawan, telah dicampakkan oleh para pengkhianat berotak culas dan berhati jahat.

Sekarang, Pemerintah dan para wakil rakyat perlu memenangkan kembali hati rakyat dengan tindakan-tindakan konkret. Masa kampanye sudah lewat. Pensiunkan kata ”akan”. Ini masanya bekerja spartan sebagai perwujudan kata-kata.

Saatnya belajar dari kata-kata dalam dunia kepenulisan cetusan Mark Swan, seorang penulis naskah Amerika: Don’t tell but show, alias “jangan hanya ngemeng”. Ayo berubah!

Related Post