Wed. Nov 12th, 2025

Menunggu Buah SAGKI 2025: Pergulatan dari Teks Indah ke Pasar

Gedung KWI di Jalan Cut Mutiah, Jakarta.

Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025 telah usai, semoga gema pesannya terus bergaung di hati para peserta dan diteruskan ke tengah-tengah pergulatan konkret umat.

Ada harapan yang sangat kuat dalam SAGKI tersebut agar Gereja Indonesia agar Gereja bergerak penuh keyakinan menampilkan wajah pengharapan.

Tentu saja, pengharapan yang dimaksud bukan pengharapan yang abstrak, melainkan pengharapan yang berakar pada kasih Kristus dan menjelma nyata dalam kehidupan umat setiap hari. Ya, pengharapan dengan dasar berpijak yang kokoh, yang bertunas, berbuah dan bermakna.

Seruan untuk menjalani pertobatan pastoral menandai kesadaran bahwa Gereja bukanlah menara gading yang jauh dari kehidupan, melainkan persekutuan yang harus senantiasa memperbarui diri. Namun, ”sadar di dalam pikiran” dan ”mendaratkan dalam praktik konkret” adalah dua hal yang berbeda.

Semoga yang bersifat konseptual itu segera konkret dalam sikap, cara hidup, karya dan muncul dalam buah-buah bernutrisi dan bergizi tinggi bagi kehidupan bersama sebagai bangsa dan gereja.

Pertobatan pastoral berarti berani mengubah cara pandang: dari sekadar menyelenggarakan kegiatan ke membangun relasi, dari mengatur umat ke menemani mereka, dari rutinitas liturgis ke kehadiran yang menghidupkan.

Seperti yang diingatkan dalam Evangelii Gaudium artkel 27, Gereja harus keluar dari zona nyaman menuju medan misi yang sesungguhnya—di jalanan, di pasar, di ruang digital, di hati manusia yang sedang mencari arah dan makna. Dalam istilah Paus Fransiskus: Menjadi gembala murah hati berbau domba.

Iman yang berakar dalam budaya juga menjadi panggilan yang mendalam. Gereja Indonesia perlu terus belajar semakin menghargai nilai-nilai lokal, simbol, dan cara hidup masyarakat, agar Injil benar-benar terasa inkarnatif—menyatu dengan kehidupan umat.

Iman yang hidup itu bukan yang hanya diucapkan dari mimbar atau dirayakan di altar, tetapi yang dirasakan dalam kebersamaan, gotong royong, solidaritas dan soliditas sosial.

Semoga bertunas, berbuah dan memberi makna. 

SAGKI 2025 juga menegaskan pentingnya kemandirian dan keterbukaan. Kemandirian bukan berarti menutup diri dari dunia, melainkan bertumbuh dari kekuatan iman dan karya umat sendiri, sehingga Gereja tidak bergantung semata pada struktur, tetapi berakar pada semangat pelayanan.

Sementara keterbukaan berarti berani berdialog dengan siapa pun—agama lain, masyarakat sekuler, generasi muda—tanpa kehilangan jati diri. Dan jangan lupa, harus berani juga secara jujur berdialog dengan diri sendiri di ruang nurani agar pelayanan yang keluar sungguh menjadi wujud cinta pada Kristus dan gereja-Nya, bukan sebagai panggung mempertontonkan kehebatan diri.

Gereja juga diajak hadir dalam dunia digital, bukan sekadar dengan konten rohani, tetapi dengan sikap misioner: mendengarkan, meneguhkan, menyapa yang tersesat di ruang maya.

Akhirnya, wajah pengharapan bukanlah hasil dari program besar atau slogan indah, melainkan buah dari kerja sama nyata—antara para gembala dan umat, antara lembaga dan komunitas, antara Gereja dan dunia.

Ketika setiap orang Katolik hidup dengan kasih, keterbukaan, dan semangat misi di tempatnya masing-masing, di sanalah Kristus sungguh hadir—dan wajah pengharapan Gereja menjadi nyata di bumi Indonesia. (TEMPUSDEI.ID)

Related Post