Wed. Nov 6th, 2024

Catatan Perjalanan Mahasiswi Jakarta Anggita Theresia dari Sumba, Tanah Marapu, Jatuh Cinta!

Kampung Prai Ijing, Sumba Barat, NTT Adat

Hari yang kami tunggu-tunggu dengan cemas, akhirnya datang. Ya, hari itu adalah tanggal 16 September 2022. Ini adalah hari keberangkatan saya dan empat orang teman, yaitu Ainun, Deo, Putra, dan Sharen ke Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur untuk melaksanakan KKNT di Kampung Adat Prai Ijing.

Kampung Prai Ijing sendiri terletak di Desa Tebara, Kota Waikabubak, ibu kota Kabupaten Sumba Barat, NTT.

Kegiatan KKNT ini berlangsung selama 6 bulan. Ini adalah kurun waktu yang sangat lama untuk berpisah dengan keluarga untuk tinggal di kota yang asing bagi kami, tetapi kami meyakinkan diri sendiri untuk pergi karena percaya segala sesuatu sudah direncanakan oleh Tuhan untuk masa depan kami.

Sumba, kami datang.

Saya pribadi meyakini bahwa KKNT ini akan menjadi salah satu proses pendewasaan yang memang harus saya lewati. Walaupun memang berat untuk pergi sejauh itu dan berpisah dengan keluarga selama 6 bulan.

Ini juga kali pertama saya pergi sejauh ini sendiri tanpa keluarga, ditambah lagi harus bertanggung jawab untuk diri sendiri selama 6 bulan di kampung orang. Tetapi kembali saya meyakinkan diri untuk berpikir bahwa memang saya harus melewati masa ini.

Kami berangkat dari Bandara Soekarno Hatta menuju Bandara Tambolaka, tetapi kami terlebih dahulu harus transit di Bali selama 3 jam sebelum melanjutkan perjalanan ke Bandara Tambolaka di Kabupaten Sumba Barat Daya.

Salam Jumpa, Sumba

Setelah sampai di Bandara Tambolaka, kami dijemput langsung oleh Kepala Desa Tebara, sekaligus penanggung jawab kami berlima selama menjalani KKNT di Kampung Adat Prai Ijing, yaitu Pak Marthen Ragowino Bira.

Selama perjalanan dari Bandara Tambolaka menuju Kampung Prai Ijing, kami terlebih dahulu diajak makan di salah satu tempat makan di Sumba Barat Daya. Setelah makan kami melanjutkan perjalanan dan langsung menuju Kampung Adat Prai Ijing. Perjalanan dari Bandara Tamolaka ke Kampung Prai Ijing kami tempuh dengan waktu satu jam.

Sekitar jam 6 sore, saat matahari hampir tenggelam, kami sampai di rumah Pak Marthen untuk sebelum kami melanjutkan perjalanan ke Kampung Prai Ijing, tempat kami tinggal dan laksanakan KKNT.

Sesampai di kampung kami menuju ke salah satu rumah, yaitu rumah Ama dan Ina Loda. Ina berarti ibu dan ama berarti bapak.

Ternyata rumah yang pertama kali kami datangi adalah rumah tempat tinggal kami selama berada di Kampung Prai Ijing dalam pelaksanaan KKNT.

Kami berlima ditempatkan di satu rumah. Keluarga Ina Loda menerima kami dengan senang hati di rumahnya.

Kampung Prai Ijing.

Keesokan harinya, 17 September adalah hari pertama kali kami “menjadi” orang Kampung Prai Ijing.

Saya, Sharen, dan Ainun bangun jam 6 pagi pada hari pertama. Kami langsung disuguhi kopi khas Sumba oleh Ina Loda. Kami lalu jalan pagi bersama sambil menikmati view yang ada di kampung Prai Ijing.

Keindahan alam yang terlihat di pagi hari sangat memukau dan juga membuat saya dan teman teman sangat menikmati suasana dan juga view yang ada.

Selama tiga hari kami tidak melakukan kegiatan apa pun. Kami diberi waktu untuk istirahat oleh Pak Marten sebelum memulai kegiatan KKNT kami.

Kami berlima diberi nama Sumba oleh Kades Pak Marten. Saya Anggi dikasi nama Rouna Bela, Ainun (Magi Loda), Deo (Jawu Tema), Putra (Mori Sabba), dan Sharen (Seingu Liku).

Terlibat dalam Karya

Sampai pada hari ke empat, kami diajak membantu menjalani kegiatan proker yang disiapkan dari Pak Marten sendiri, yaitu mengecat seluruh kamar mandi umum serta hydrant di Kampung Prai Ijing selama dua minggu.

Kami tidak hanya mengecat. Kami juga sembari mengikuti kegiatan lainnya yang ada di kantor desa.

Setelah beberapa minggu, ada orang meninggal. Kami bersama Pak Marten ikut melihat ritual pada hari penguburan. Pak Marthen membawa hewan kurban saat pergi melayat. Kampung Prai Ijing mendadak ramai.

Ada juga beberapa orang yang membawa hewan seperti kuda, babi , dan sapi. itu semua dibawa oleh beberapa keluarga.

Sumba adalah salah satu pulau yang kaya akan ritual dan adat. Di dalam setiap acara kebudayaan banyak hal menarik yang sangat kental dengan adatnya.

Salah satu “ritual” dalam Wulla Poddu.

Kepercayaan Marapu

Masyarakat Sumba menganut kepercayaan atau ajaran Marapu. Ajaran Marapu percaya bahwa hidup ini fana atau sementara.

Setelah kematian, mereka akan hidup abadi di dunia roh di Prai Marapu, surga abadi leluhur Marapu.

Oleh karena itu, untuk mencapai kesempurnaan jiwa bagi yang meninggal, masyarakat Sumba melakukan tradisi pemakaman adat Sumba yang rumit dan panjang.

Kurang lebih setelah sebulan kami berada di Kampung Adat Prai Ijing. Pada 28 Oktober 2022 adalah hari pertama memasuki  Wulla Poddu atau “Bulan Pahit” atau Bulan Suci.

Disebut pahit karena sepanjang bulan itu ada sejumlah larangan yang harus dipatuhi dan serangkaian ritual yang harus dijalankan. Intinya Wulla Poddu adalah bulan yang suci.

Banyak ritual yang digelar selama Wulla Poddu, yang berlangsung antara bulan Oktober – November setiap tahun.

Ada yang bertujuan memohon berkat, sebagai sarana mengucap syukur, bercerita tentang nenek moyang, dan ada pula yang menggambarkan proses penciptaan manusia. Hampir semua orang di wilayah Sumba Barat merayakan ritual ini.

Hampir semua kampung adat utama di wilayah ini, yakni Tambera, Tarung, Bondo Maroto, dan Gollu selaku kampung-kampung sentra ritual, merayakan Wulla Poddu.

Tanda-tanda

Di sepanjang bulan ini banyak orang berburu babi hutan. Hasil buruan diserahkan kepada Rato sambil melantunkan tanya jawab dalam bentuk pantun adat (kajalla).

Babi hutan yang pertama kali ditangkap biasanya menjadi indikator hasil panen. Jika babi jantan yang didapatkan, ini pertanda hasil panen bakal memuaskan. Jika babi betina bunting, hasil panen kurang baik. Andai babi yang diburu itu menggigit orang, ini berarti bakal ada hama tikus.

Di bulan ini pula para pemuda yang telah akil balik menjalani proses sunatan, dan selama beberapa hari diasingkan ke alam liar untuk hidup mandiri sebagai tanda kedewasaan.

Wulla Poddu diawali dengan semedhi para rato marapu untuk menentukan masa bulan suci. Dan seperti umumnya terjadi pada masyarakat tradisional mana pun, penentuan masa ini tidak berdasarkan kalender masehi, tapi berdasarkan perhitungan yang mengacu pada gejala alam dan benda langit, terutama bulan.

Jenis dan waktu penyelenggaraan ritual pun tidak selalu sama antara kampung yang satu dengan kampung lainnya.

Tahapan Ritual

Berikut ini adalah tahapan ritual Wulla Poddu yang dilaksanakan di Kampung Tambera, sebuah kampung tua di sebelah Utara Waikabubak.

Pada malam puncak Wulla Poddu atau malam terakhir, semua orang akan berkumpul di Kampung Bondo Maroto untuk merayakannya dengan cara menari dan ronggeng bersama-sama.

Keesokan harinya, pada siang hari ada acara lanjutan sebagai perayaan telah berakhirnya Wulla Poddu.

Dan dalam perayaan itu tetap ada ronggeng atau tarian yang dilakukan bersama-sama dan kegiatan ritual adat Wulla Poddu yang disebut juga dengan kalango.

Setelah perayaan Wulla Poddu berakhir, kami mulai kembali fokos pada proker yang telah kami buat dan juga yang telah dibuat oleh Pak Marthen.

Program E-Ticketing

Salah satu nya adalah program ticketing. Kami ingin membuat sebuah website tempat menjualkan tiket masuk ke kampung adat Prai Ijing secara online dalam kolaborasi dengan salah satu situs resmi Atourin.

Pembuatan website ini akan lebih memudahkan pengelolaan tempat wisata kampung adat Prai Ijing. Bukan hanya untuk menjual tiket secara daring, tapi juga memudahkan membuat laporan digital secara langsung mengenai data pengunjung dan lainnya.

Setelah itu kami juga membuat beberapa banner yang akan ditampilkan pada forum atau halaman website Atourin berupa foto memakai pakaian adat. Ini sekaligus untuk mempromosikan penyewaan pakaian adat khas Sumba yang juga bisa disewa saat berkunjung ke kampung adat Prai Ijing.

Pada suatu hari kami mengantar Pak Marten ke bandara karena hendak pergi untuk suatu pertemuan ke Jakarta. Setelah mengantarkan beliau, kami menyempatkan berkunjung ke salah satu pantai di Sumba Barat Daya, yaitu Waikelo Beach.

Salah satu pantai di Sumba.

Pantai-pantai Indah Sumba

Pantai Waikelo ini adalah pantai pertama yang kami kunjungi saat di Sumba. Kesan pertama, pantai ini memiliki pemandangan yang cukup bagus serta tebing kapur yang ada di pinggir pantainya menambah nuansa indah. Saat matahari terbenam terlihat jelas di pantai waikelo ini, and i really love this place when i seeing the sunset.

Kami sempat mengunjungi Pantai Mananga Aba. Pantai dengan hamparan pasir putih ini adalah salah satu pantai terbaik yang pernah kami kunjungi. Langit saat senja memiliki warna yang sangat indah. Tak hanya melihat matahari tenggelam, tetapi juga perubahan warna langit yang berpadu membuat warnanya terlihat seperti euphoria.

Saya dan teman-teman sangat senang memiliki kesempatan berkunjung ke pantai tersebut, karena kami bisa menikmati dan melihat pemandangan secara langsung.

Singkat cerita setelah hampir berjalan 3 bulan tinggal di rumah Ina Loda, kami diharuskan pindah ke rumah lain karena ada sedikit problem.

Kami dipindahkan oleh Pak Marthen ke rumah keluarganya yang letaknya tidak jauh dari kampung adat Prai Ijing. Walaupun kami pindah rumah, kami tetap memiliki hubungan yang baik dengan Ina Loda dan keluarga. Kami juga masih sering berkunjung ke rumah mereka.

Jatuh Cinta

Semakin hari saya semakin jatuh cinta pada Sumba. Bukit-bukitnya indah. Alam Sumba belu terkontaminasi. Saya pribadi sangat suka dan cinta melihat langit pagi, siang, senja dan malam. Pada saat saat itu atau setiap waktu langit Sumba sangatlah indah, karena memang belum ada polusi yang banyak di tanah ini.

Saya juga berharap ke depan, walaupun tanah Sumba ini semakin dikenal dan maju, masyarakat tetap menjaga alam serta budaya yang hingga saat masih terjaga.

Related Post