Sat. Jul 27th, 2024
Menag Yaqut Qoumas menyampaikan undangan Presiden Jokowi kepada Paus Fransiskus. (ist)

Oleh Alfred B. Jogo Ena, Penulis Buku Bung Karno, Gereja Katolik, SVD dan Pancasila

Belum hilang kehebohan kunjungannya ke Ende dan Ngada pada awal Juni lalu dalam rangka peringatan Hari Pancasila, dua hari lalu (8 Juni 2022) melalui Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Presiden Joko Widodo mengundang Paus Fransiskus, Pimpinan Tertinggi Gereja Katolik Sedunia berkunjung ke Indonesia.

Undangan ini sedikit mengejutkan sekaligus surprise bagi Gereja Katolik Indonesia. Dua kejutan beruntun, pertama saat berkunjung ke Ende, Presiden menyempatkan diri berkunjung ke Serambi Soekarno, tempat untuk mengenang masa-masa Bung Karno di Ende, tempat Bung Karno biasa berdiskusi dan membaca di perpustkaan milik para pastor SVD. Kedua, atas nama negara dan umat Katolik Indonesia mengundang Paus datang berkunjung ke Indonesia.

Sebagai bangsa yang hidup dalam kebhinekaan, negara telah hadir secara adil untuk semua kelompok agama yang diakui dan hidup di Indonesia. Hal itu nampak dalam narasi yang diungkap Menteri agama yang disampaikan kepada Sri Paus.

“Saya ingin menyampaikan undangan Presiden Joko Widodo kepada Yang Mulia untuk datang berkunjung ke Indonesia,” tulis Menteri Yaqut sebagaimana dikutip oleh banyak media massa baik cetak maupun online. “Indonesia MAMPU MENJAGA TOLERANSI DAN PERDAMAIAN ANTARPEMELUK AGAMA, TERMASUK RATUSAN UMAT AGAMA LOKAL. Kami ingin mengundang Yang Mulia untuk melihat keberagaman ini di Indonesia,” lanjutnya.

“Kami berdoa dan berharap kesehatan dan kemakmuran yang baik untuk Yang Mulia. Kami percaya dan menghargai persaudaraan sebagaimana Yang Mulia percaya untuk menciptakan dan memelihara perdamaian di Indonesia,” tandasnya. (https://kepri.kemenag.go.id/page/det/bertemu-paus-fransiskus-menag-sampaikan-undangan-presiden-jokowi-)

“Mampu menjaga toleransi dan perdamaian antarpemeluk agama, termasuk ratusan umat agama lokal” sengaja saya tulis dengan huruf kapital untuk menunjukkan bahwa kata-kata Menteri di atas bukan sekadar lips service yang terdengar indah di hadapan Sri Paus. Jika kita melihat kasus per kasus, maka kata-kata Pak Menteri terdengar bombastis. Di sana sini kita masih menjumpai adanya persekusi suatu kelompok agama terhadap agama lain, adanya kesulitan perizinan bagi kelompok minoritas untuk membangun dan beribadat dengan nyaman di rumah ibadahnya sendiri.

Menteri Yaqut dan para biarawan/biarawati Indonesia.

Arti Penting Undangan: Menjawab Seruan Paus

Undangan Presiden Jokowi terhadap Paus Fransiskus seakan hendak menjawab seruan Paus sebelumnya yang dikeluarkan melalui ensiklik Fratelli Tutti (FT) yang dikeluarkan pada 3 Oktober 2020 lalu, ketika dunia sedang gempar dirundung duka akibat covid-19. Dunia butuh solidaritas persaudaraan untuk sama-sama membangun dunia.

Dalam artikel 203, Paus bahkan menulis demikian, “Dialog autentik ditandai dengan kesediaan mendengar dan mengerti pandangan orang atau kelompok lain. Ketika pandangan sebuah kelompok itu benar-benar baik, tentu akan memberi dampak positif pada kehidupan sosial. Namun, itu mengandaikan sebuah dialog di kelompok yang lain. Dialog yang jujur memungkinkan pencarian kebenaran, dan bukan sekadar debat publik yang penuh dengan trik menyembunyikan informasi. Dialog memungkinkan kerja sama demi kepentingan bersama. Perbedaan selalu ada, dan perbedaan menunjukkan kreativitas. Tetapi diperlukan dialog agar perbedaan itu menjadi kesempatan untuk bekerja sama”

Kata-kata Paus ini seakan menegaskan narasi tentang toleransi dan perdamaian antarpemeluk agama yang disampaikan Pak Menteri hanya bisa terjadi terutama melalui dan dalam dialog. Paus sekali lagi sudah menegaskan bahwa “Dialog mungkin kalau kita berani berjumpa dengan orang yang berbeda. Tanpa keberanian untuk berjumpa dengan yang berbeda, dialog tidak akan terjadi.

Di balik peperangan dan banyak tindakan kekerasan, sebenarnya tersembunyi ketakutan manusia untuk berjumpa dengan sesama. Ia hanya mau berjumpa demi kepentingan yang sama. Budaya perjumpaan dalam arti sesungguhnya bukan pertemuan dan kesepakatan formal antara pihak yang berkepentingan sama, dan hanya pada level para petinggi dan pemimpin. Dialog yang baik melibatkan masyarakat sebagai subjek kebudayaan, terutama masyarakat asli.” (FT 218 dan 219).

Seiring dengan perannya sebagai pimpinan negara-negara yang tergabung dalam G20, Presiden Jokowi seakan menunjukkan kepada Sri Paus untuk mengapresiasi peran Indonesia dalam upaya menciptakan dialog bagi perdamaian dunia.

Dalam dialog kita membangun harapan bersama akan sebuah perikehidupan yang lebih adil, yang diperlakukan dan mendapat perlakuan yang sama, tidak dianaktirikan dalam pembangunan, tidak disingkirkan dalam kehidupan sosial melalui politik identitas yang menindas dan kejam.

Undangan Presiden atas nama umat katolik seperti menegaskan seruan Sri Paus di bagian awal FT bahwa dalam “bayangan dunia yang tertutup, kita diajak untuk melihat realitas dunia dengan jujur: mengakui bahwa dunia masih ditutupi topeng yang bernama kemajuan” (FT 10-12), atau apapun namanya yang membuat kita tersekat-sekat dan invidual.

Sudah saatnya kita menyibak bayangan yang menghambat dialog dan damai. Karena “dasar dari semangat damai itu ialah inti Injil: Allah adalah kasih (Yoh 1 Yoh 4:16). Semua manusia adalah anak-anak yang dikasihi Bapa yang sama”, sebagaimana yang ditegaskan Sri Paus dalam FT3-4.

Ensiklik Paus yang “lahir” pada masa-masa kekelaman dan derita akibat covid-19 hendak mengajak kita untuk selalu membuka diri dan mengulurkan tangan menuntun sesama menuju kesejahteraan bersama (bonum commune) bukan lagi atas dasar perbedaan teologi agama, tetapi atas dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, damai dan toleran.

Sebagai umat Katolik Indonesia, tentu kita bangga atas terobosan negara untuk memfasilitasi pemimpin tertingginya datang mengunjungi kita. Tentu kita, umat katolik di Indonesia akan seperti Elisabeth yang membiarkan anak di dalam kandungannya melonjak kegirangan karena kita mampu menjaga tolernasi dan perdamaian. Dan di atas semua itu, meminjam penegas Paus, “Tujuan dialog antara agama-agama bukan sekadar diplomasi atau sopan-santun, melainkan menjalin persahabatan, damai serta keharmonisan berdasarkan kasih dan kebenaran” (FT 271) yang kontekstual dengan tradisi dan kebudayaan Indonesia.

Kita berharap prakarsa Presiden untuk membangun dialog dengan semua pemimpin agama, khususnya dengan Tahta Suci membuatnya mendapatkan mendapatkan tiga Bintang Jasa Tertinggi dari Vatikan sebagaimana Bung Karno pernah menerimanya dari Paus Pius XII pada tahun 1956, dari Paus Yohanes XXIII tahun 1959 dan Paus Paulus VI tahun 1964.

Bung Karno dianggap pemimpin yang mengayomi semua umat beragama. Semoga Presiden Jokowi pun demikian: pengayom keragaman di tengah ancaman politik identitas yang menghalalkan segala cara. Itu akan menjadi kebanggaan bangsa, kebanggaan Gereja Katolik Indonesia.

Kaki Merapi, menjelang dini hari 11 Juni 2022

 

 

 

Related Post