Fri. Jul 26th, 2024
Jumini, Mahasiswi Universitas Sanata Dharma

Oleh Jumini, Mahasiswi Program Studi Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Gemar menulis Cerpen dan puisi.

Jamban khas Kalimantan

Gerimis, embun pagi dan kabut dingin menepis kulit. Pemandangan hijau dan gemuruh air sungai pagi itu tidak asing di indraku walau sudah beberapa purnama aku tinggal di kota besar. Aku putri kedua dari tiga putri dari sebuah keluarga di pedalaman Kalimantan Barat. Aku kembali ke desa karena pandemi tak kunjung berakhir.

Pagi itu aku duduk di sebuah jamban di Sungai Jelai. Tampak perahu-perahu lalu lalang tanpa henti. Biasanya memang, antara pukul 05.45-08.00 WIB, perahu-perahu itu mondar-mandir. Terlihat pula para orang tua yang mencari ikan dengan pekarangan-pekarangan yang mereka pasang di sungai besar. Dari situlah penghasilan untuk hidup sehari-hari.

Ada pria yang lewat sambil menggendong senapan di belakang. Ia duduk di ujung perahu sambil berdayung dengan kuat karena arus air yang begitu kuat. Ia bertelanjang dada sambil menghisap rokok kawung. Terlihat ruas-ruas rusuknya yang bergerak-gerak karena mendayung. Rambut putihnya terlihat berkilau karena sinar matahari tampak berlabuh di kepalanya.

Ia ramah, dan kadang tersenyum apabila ada yang memanggil dan bertanya “Ada ikan ndak?” Sambil sesekali melirik ke orang yang memanggil, ia melajukan dayungannya sambil  menjawab, “Ndak ada, cuma ikan kecil-kecil jak. Tapi ndak dijual soalnya juga udah agak busuk.”

Aku sesekali memperbaiki gaya dudukku karena sinar matahari sudah melewati pucuk-pucuk karet di seberang jamban. Aku bersandar pada ember tempat pakaianku direndam sebelum mencucinya dengan tanganku yang sudah mulai kembali terbiasa mencuci banyak baju dan piring-piring kotor.

Kupandang lagi jamban-jamban di hilir dan di hulu. Sudah tak terlihat aktivitas seperti beberapa tahun lalu. Tak ada kesibukan dan kebisingan yang terjadi di jamban-jamban kosong itu. Semua tampak mati dan tidak terpakai. Tidak ada orang-orang yang sibuk menyoal ikatan tali perahu: benar atau tidak, kuat atau tidak. Tidak ada teriakan ibu-ibu dari kepala tangga bertanya dan memperebutkan ikan-ikan segar di pagi hari.

Tangga-tangga di sana tak terurus, tampak penuh rumput-rumput liar. Tidak ada lagi anak-anak kecil yang mengangkat ban truk atau ban mobil untuk melihat ikan-ikan kecil yang biasanya ada di dalamnya. Ban-ban itu memang sengaja digantung di pinggir jamban sebagai batas jika ada perahu yang akan berhenti. Ini dimaksudkan agar perahu tidak saling berbenturan yang dapat mengakibatkan kerusakan pada lambung perahu atau minimal merusak lapisan cat atau damar yang digunakan menutupi lubang di perahu tersebut.

Tidak ada lagi juga bapak-bapak yang tampak mengomel karena pengayuh di perahunya hilang dan pindah ke perahu yang lain akibat nakalnya anak kampung.

“Met, cepat naik. Udah selesai nyuci ka, belum? Umak mau pergi ke kebun, bapak kau dah ke sana duluan,” teriak ibuku dari rumah. Ternyata ia sudah lama menungguku. “Ini dah selesai, Mak, tinggal bawa naik jak. Umak berangkat jak, bentar lagi aku naik. Pintu depan tutup!” Kataku menjawab teriakan ibuku dari jamban tempatku berdiskusi dengan kenangan-kenanganku.

Aku berjalan menaiki anak tangga satu persatu hingga akhirnya aku sampai di kepala tangga paling atas. Aku masuk ke rumah yang sudah tidak terlihat ada orang lagi di dalamnya.

Ibu dan bapakku pergi ke kebun sawit untuk memanen sawit, dan adikku pergi ke sekolah dasar. Aku meletakkan beberapa peralatan yang kupakai untuk mencuci tadi, lalu aku menuju pintu depan yang sudah ditutup ibu seperti permintaanku tadi. Aku membuka pintu itu dan langsung menjemur pakaian di tali-tali yang terpasang di halaman rumah kami. Setelah selesai melakukan kegiatan tersebut aku masuk ke dapur dan sarapan seadanya.

Waktu sudah menunjukkan pukul 09.15 WIB. Aku sibuk menata rambut pendekku yang sering kali rontok akibat shampoo yang tidak cocok. Aku duduk di pelantaran bagian belakang rumah. Dari sini bisa langsung melihat sungai besar tadi. Aku kembali menulis dengan laptopku. Aku pun tenggelam lagi dalam kenanganku.

Dalam kenanganku seperti terlintas sebuah “film pendek” tentang sebuah masa silam. Hari itu aku tampak menangis sambil membawa selembar uang kertas dengan gambar Kapitan Pattimura yang memegang pedang. Aku menangis karena ingin ikut dengan ibuku menoreh getah milik kami sebagai pekerjaan pokok pada zaman itu. Beruntungnya masih ada nenekku yang dengan sigap menangkapku dan membawaku ke warung untuk membeli sebungkus mie goreng. Aku pun dengan senang hati ikut dengannya karena aku tahu nenekku pasti menuruti segala permintaanku.

“Nek, aku mau beli mie dan kue banyak-banyak,” kataku sambil memegang erat tangan nenekku yang berjalan tepat di sampingku. “Iya met,” jawab nenekku singkat. Aku biasa dipanggil Umet oleh orang-orang kampungku.

Pada zaman itu pekerjaan pokok masyarakat di desa kami ialah menoreh getah, selain itu pekerjaan sampingan ialah mencari rotan, ikan, dan menebas ladang. Namun, setelah beberapa generasi, semua menjadi berubah. Kebun karet tempat kerja utama masyarakat desaku hilang tergantikan sawit-sawit dan gedung pabrik yang menyebabkan bau limbah tercium di mana-mana.

Embun pagi seperti yang kurasakan pada zaman sebelum ini berubah menjadi kabut kebakaran lahan-lahan yang akan ditanami sawit. Janji-janji membabi-buta dari pejabat-pejabat perusahaan kepada masyarakat tak terlihat hasilnya.

Penyesalan demi penyesalan datang menggerogoti masyarakat yang sekarang menjadi kuli perusahaan di atas lahan mereka sendiri.

CATATAN:

Jamban = Tempat untuk mandi, mencuci, dan sebagainya. Biasanya terbuat dari dua batang pohon besar, di atasnya ada “rumah kecil”. Jamban ini mengapung di atas permukaan sungai.

Pekarangan = Alat penangkap ikan yang terbuat dari rotan atau bambu.

Umak = Ibu

Jak = Saja

Related Post

One thought on “Cerpen Jumini: Karet itu Telah jadi Sawit”
  1. Cerpen Jumini, “Karet itu Telah jadi Sawit” mengisahkan perubahan sosial yang terjadi di perkampungan di Kalimantan. Melalui permenungan tokoh aku, perubahan sosial itu dipotret. Ketenangan dan kedamaian hidup masyarakat pedesaan yang penuh harmoni dengan alam menjadi terusik, ketika perusahaan-perusahaan multinasional memperkenalkan sebuah bisnis yang asing, yakni usaha minyak kelapa sawit. Ladang-ladang karet para petani kini berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Yang lebih mengenaskan, penduduk desanya kini hanya menjadi kuli di perkebunan milik para pengusaha. Tentu saja bisnis minyak kelapa sawit sangat menguntungkan para pengusahanya.

    Iniah sebuah cerpen yang sederhana tetapi lugas mengisahkan tanah kelahiran penulisnya. Penggunaam teknik flash back cukup tepat untuk menggambarkan perubahan sosial yang terjadi.

Leave a Reply