Fri. Jul 26th, 2024

Pemuda Katolik Tidak Boleh Terjebak dalam Keterlibatan Monumental, Seremonial dan Karitatif

Para peserta KKM Pemuda Katolik Komda DKI Jakarta

 

TEMPUSDEI.ID (21 Maret 2021)

Stefanus Asat Gusma

Berbicara dalam seri kedua diskusi Kursus Kepemimpinan Menengah (KKM) Pemuda Katolik Komda Jakarta yang digelar secara daring pada 18/3/21, Dewan Pakar PP Pemuda Katolik Stefanus Asat Gusma melakukan otokritik terhadap Pemuda Katolik.

Ia menyebut Pemuda Katolik secara institusional merupakan bentuk format lama dan masih menggunakan prototipe negara dimana struktural mengikuti nomenklatur pemerintah sehingga  cukup membingungkan saat harus melakukan gerakan sosial.

Di sisi lain lanjutnya, secara genetik Pemuda Katolik adalah kawah candradimuka sebagai tempat menghasilkan kader – kader patriotis. Tambahnya, seringkali dalam aktivitas, Pemuda Katolik selalu terjebak pada hal  monumental, seremonial, karitatif, responsif isu, dan programatik.

“Dalam hal konsepsi semboyan Pro Ecclesia et Patria, saya mengajak untuk tidak lagi memiliki paradigma mayoritas dan minoritas. Ada dua daerah kluster yang menjadi etalase politik Katolik yang secara statistik lebih banyak jumlah umat Katolik Barat dan etalase konsolidasi. Maka daerah yang telah menjadi etalase politik Katolik dapat memberikan contoh kehidupan yang rukun berdampingan satu dengan yang lain,” tutur aktivis Pemuda Katolik dan pernah memimpin organisasi PMKRI secara nasional ini.

Gusma mengajak untuk membangun kebiasaan baru dalam melakukan rekrutmen anggota pada basis – basis Paroki sebanyak – banyaknya.

Menurutnya, perlu dibangun branding dengan mengadaptasi perkembangan yang kontekstual dan modern. Bersinergi dengan jaringan dan berkolaborasi secara luwes dalam struktur dan ketat dalam proses.

Gusma menyampaikan tiga aspek yang perlu Pemuda Katolik perhatikan. Pertama, partisipatoris.  Pemuda Katolik diharapkan mampu menguasai persoalan di masyarakat secara komprehensif dan obyektif, memposisikan diri sebagai kawan seperjuangan, bukan sebagai dewa penyelamat dan membangun ikatan empati dan simpati di basis.

Kedua, supporting system dengan melahirkan lembaga kajian isu strategis dan media handling, lembaga bantuan hukum dan advokasi, aktivasi jaringan pemerintahan dan lembaga, membuat model kaderisasi internal (lanjutan) yang turun langsung di basis dan klustering internal sebagai sarana fokus isu dan gerakan.

Ketiga, Pilot Project. Diharapkan secara periodik dan sistematis menyiapkan kader untuk terlibat dan masuk dalam sistem, mampu merespon persoalan strategis di masyarakat dengan menerapkan pola advokasi secara komprehensif (litigasi dan non litigasi) dan memisahkan garapan praktis jangka pendek (programm oriented) dengan garapan isu strategis organisasi (isu sektoral, monumental dan radikalisme)

Kembali ke Basis

Wahyu Susilo

Selain Gusma, hadir juga dalam diskusi bertema Advokasi dan Strategi Gerakan Sosial Pemuda Katolik serta Arah Kebijakan Pemerintah ini Aktivis Buruh Migran/Direktur Migrant Care Wahyu Susilo, dan Staf Khusus Gubernur DKI Jakarta Muhammad Chozin Amirullah.

Wahyu Susilo yang berpengalaman dalam gerakan buruh migran memaparkan materi “Menyoal Gerakan Kaum Muda Di Masa Kini”. Ia mengajak peserta untuk menengok kembali pada sejarah STOVIA dalam masa pergerakan pra kemerdekaan. Sejarah STOVIA menurut Wahyu, jangan dipahami sebatas kebijakan politik etis Hindia Belanda ataupun berkaitan dengan kolonialisme melainkan juga ada kegeraman adanya diskriminasi dan rasisme di saat itu.

Wahyu mempertanyakan mitos gerakan angkatan yang sering didengungkan dari mulai sebutan angkatan 1945, 1966, 1974, 1978, 1998 yang kerap kali elitis dan berorientasi kepada kekuasaan. Mitos gerakan ini menurutnya telah meminggirkan diri dan mendepolitisasi dari kaum marjinal.

Wahyu mengajak peserta untuk kembali ke basis dan melakukan gerakan sosial baru (New Social Movement) yang merupakan gerakan kolektif dari mainstream lama dengan menyodorkan persoalan – persoalan kekinian yang melampaui soal kelas dan perebutan kekuasaan. Dia menunjuk gerakan lingkungan hidup, feminisme, masyarakat adat dan gerakan multikulturalisme sebagai contoh.

Bukan Karena Mayoritas atau Minoritas

Muhammad Chosin

Sementara itu, Muhammad Chozin menjelaskan bahwa pemikiran para Founding Fathers bangsa ini sudah sangat maju dalam upaya melindungi warga negara, bukan karena minoritas maupun mayoritas. “Yang unik bukan keberagamannya, tetapi persatuannya. Persatuan bisa terjalin ketika muncul rasa keadilan. Jakarta ini adalah miniatur Indonesia, maka kita berupaya untuk menghadirkan rasa keadilan dengan City 4.0,” ujar Chozin.

Chozin menjelaskan beberapa tahapan terkait dengan mewujudkan City 4.0. Tahap pertama, orientasi kota atau pemerintah yang sifatnya administratif. Tahap kedua, memberikan pelayanan laksana customer service. Tahap ketiga, warga dapat memberikan partisipasi misalnya ikut musrenbang, melalui medsos, atau pengaduan. Keempat adalah tahap kolaborasi dengan keterlibatan semua warga dalam proses pembangunan dengan kunci kokreasi.

Dalam tahapan-tahapan-tahapan tersebut ujar Chozin, Pemuda Katolik dapat terlibat melalui penyusunan kebijakan, tidak semata advokasi.

Beny Wijayanto, Sekretaris Pemuda Katolik Komda DKI Jakarta

Related Post

Leave a Reply