Sat. Jul 27th, 2024

Lagi, Tentang Cuitan Pongah Benny Kabur Harman (BKH)

Jokowi bersama Iriana (sebelum pandemi corona) dalam sebuah kunjungan kerja. (Foto: ist)

Oleh GF Didinong Say, Pengamat Sosial dan Layanan Publik, Tinggal di Jakarta

 

TEMPUSDEI.ID (26 FEBRUARI 2021)

Didinong Say

Suka atau tidak suka, Jokowi adalah salah satu dari sedikit pemimpin karismatis yang pernah dilahirkan rahim negeri ini. Dia seperti Soekarno  yang selalu dinantikan kehadirannya oleh seluruh rakyat di mana pun.

Soekarno diakui sebagai pemimpin berkarisma yang mampu menggelorakan spirit dan api nasionalisme bangsa  dalam segala upaya perjuangan kemerdekaan bangsa. Kemampuan berpidatonya sungguh mumpuni dan menggetarkan sampai ke tingkat dunia.

Gus Dur, sang guru bangsa adalah sosok pemimpin karismatik yang dicintai seluruh kalangan masyarakat karena kemampuan mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan aneka gagasan brilian disertai guyonan berbobot tinggi. Ingat guyonan Gus Dur tentang DPR Taman Kanak Kanak. Cinta dan penghormatan rakyat kepada Gus Dur itu tak pernah lekang walau ia telah terbaring dalam pusara.

Jokowi adalah pemimpin dengan karakteristik kerakyatan yang amat kuat. Rakyat Indonesia, dari Sabang sampai Merauke rindu bertemu dan mengelu-elukan Jokowi. Ada rasa keterwakilan rakyat sepenuhnya pada  sosok dan pribadi Jokowi yang bersahaja itu. Sikap antusias rakyat atas Jokowi merupakan bentuk pengakuan tulus rakyat  atas karya nyata Jokowi. Euforia masyarakat atas kehadiran Jokowi adalah refleksi otomatis atas bukti dan komitmen Jokowi dalam membangun negara bangsa Indonesia.

Penampilan ringkas Jokowi sungguh memikat. Kesederhanaannya justru memancarkan energi magnetis yang sangat kuat, menarik bagi kawan maupun lawan. Masyarakat dunia, deretan kepala negara, pengusaha ataupun selebriti tingkat dunia tercatat rela antri berdesakan untuk ber-selfi atau  sekadar bisa melihat wajah Jokowi secara langsung.

Di sisi lain, penampilan sederhana Jokowi justru menjadi sasaran tembak haters Jokowi. Tanpa sungkan dan tak tahu malu para haters tersebut suka melecehkan  Jokowi Presiden Republik Indonesia dengan segala macam ungkapan murahan. Ingat kata kata haters seperti goblok, dungu, revisi otak presiden, plonga plongo, dan sebagainya.

Kerumunan Maumere

Jokowi dan rakyatnya di Maumere, Flores

Deskripsi kerumunan di Maumere itu terang benderang. Itu sebuah peristiwa spontan aksidental di mana masyarakat Maumere tanpa design datang menyambut kehadiran Jokowi pemimpin karismatik yang dicintai dalam suasana euforia dan histeria yang bahkan hingga melampaui batasan protokoler. Jokowi sendiri tidak mengundang rakyat untuk hadir menjemput dirinya di jalan-jalan. Even Edomeko, seorang netizen menulis bahwa Jokowi menolak acara penyambutan secara adat budaya setempat. Bahkan sekadar untuk makan dan minum bersama pun dihindarkan.

Kerumunan spontan yang terjadi seperti di Maumere  kemarin itu sebenarnya hal yang lazim terjadi dalam berbagai  interaksi Jokowi dengan masyarakat di mana pun, bahkan di luar negeri. Ini pemandangan yang kerap menimbulkan kecemburuan lawan politik dan haters.

Kerumunan di Maumere itu menjadi perdebatan karena dikaitkan dengan Pandemi Covid-19 dan aturan standar protokol kesehatan. Kerumunan Maumere bahkan menjadi gorengan politis karena mula mula oleh BKH,  politisi Partai Demokrat  asal Flores itu. Dia coba menyandingkan “Kerumunan Maumere” dengan kasus kerumunan Rizieq Shihab.

Cuitan BKH dan kawan-kawan sejenis itu jelas mengandung insinuasi dan penggiringan opini terkait kesengajaan atau aproval Jokowi atas kerumunan tersebut. Cuitan BKH ini terkesan sembrono atau kangaranga (lebay) sebagaimana beberapa sikap dan perilaku politik BKH sebelum ini.

Seluruh pihak terkait dalam kunjungan Presiden ke Maumere pasti sadar Covid-19. Sekelas protokoler kepresidenan tentu memiliki SOP dan diskresi optimum terkait security approach bagi sebuah kegiatan Presiden. Jokowi sendiri sebagai seorang pemimpin, atas berbagai diskresi situasional bersedia tampil terbuka membalas seruan dan lambaian tangan rakyatnya sembari mengingatkan penggunaan masker dan jaga jarak. Jadi apa dan siapa yang bisa melawan ledakan kekuatan cinta rakyat kepada pemimpinnya?

Ironisnya, BKH seorang politisi dan wakil rakyat, alih alih menyuarakan hati nurani dan aspirasi rakyat sebagai tuan rumah, BKH dengan pongah justru gara-gara dengan cuitan profetik, seolah-olah dirinya prihatin dengan nasib dan kesehatan orang Flores.

Keprihatinan BKH tersebut ternyata justru menimbulkan resonansi anti terhadap dirinya di kalangan masyarakat Flores dan NTT. Gelombang bullying terhadap dirinya ini datang menerjang bukan berasal dari ruang hampa. Keprihatinan BKH dianggap tidak tulus. Ke mana BKH selama ini untuk kemaslahatan orang Flores dan NTT? Seolah-olah BKH ingin menjadikan nasib orang Flores sebagai tameng ocehan politis.  Rakyat  Flores cukup sensitif untuk membaca motivasi cuitan BKH.

Framing Diskredit

Menyulut kontroversi dan gorengan politis  atas kerumunan Maumere itu pasti tidak hanya menyasar pada penegakan aturan standar protokol kesehatan pandemi. Berbagai upaya apologis selanjutnya bagi cuitan BKH dengan konstruksi filosofis, medis, politis dan sebagainya, secanggih apa pun akan terpental tak bermakna ketika interpretasi terhadap cuitan tersebut dihadapkan dengan realitas pertarungan politik dan kekuasaan di mana BKH terlibat dan memainkan perannya.

Target kritik ataupun nyinyir dari para haters ataupun lawan politik seperti BKH adalah diskredit politik Jokowi. Istilahnya Salawi (baca: semua salah Jokowi) seperti menjadi ideologi mereka.

Siapa itu BKH dan teman teman sejenis seperti FZ, RG, atau MRS itu dalam konteks pertarungan politik dan kekuasaan di Indonesia? Di zaman terbuka serba online ini mudah saja bagi publik untuk mengidentifikasi atas kepentingan siapa pion-pion kecil ini nyaring bercuit dalam pertarungan opini. Sebagai misal, publik tentu masih ingat bagaimana manuver akrobatik tikungan BKH di parlemen saat pengesahan Omnibus Law dan siapa yang bermain di ruang komando.

Sesungguhnya pertarungan kepentingan dan kekuatan di belakang layar maupun di permukaan itu tidak akan sudah. Jokowi, karena komitmen dan orientasi kerakyatannya nampaknya akan selalu menjadi sasaran empuk bagi lawan  bahkan kawan yang terganggu kepentingannya. Ini seperti ramalan Jayabaya. Sekarang zaman edan, yang benar jadi salah, yang salah jadi benar.

Antara Ciuman Yudas dan Cuitan BKH

2000 tahun lalu, seorang pria berwajah agung perlahan memasuki kota Yerusalem dengan menumpang seekor keledai. Rakyat Yerusalem histeria menyambut-Nya. Seruan Hosana! Hosanah! Hosanah! terdengar bersahut-sahutan se antero kota. Namun seminggu kemudian di kota yang sama terjadi peristiwa yang sungguh tragis. Pria berwajah agung yang semula digadang-gadang akan membawa kejayaan Israel itu nampak tersaruk-saruk hina  babak belur sekujur tubuh bersimbah peluh dan darah memanggul salib di Via Dolorosa menuju Bukit Tengkorak. Alkitab mencatat bahwa  peristiwa tragis ini ternyata diawali oleh sebuah ciuman.

Cuitan BKH atas kerumunan Maumere itu bagi orang Flores itu mirip-mirip dengan ciuman Yudas. Bagaimana tidak? Ia wakil orang Flores, tetapi tidak bicara sebagai orang Flores dan NTT, tuan rumah yang rindu dan bangga atas kunjungan Jokowi. Perlu dicatat bahwa ini sama sekali bukan sedang menyanjung kerumunan.

Sebagian warga di Flores telah berjanji untuk menghukum BKH dalam pileg mendatang. Reaksi ini ungkapan kekecewaan bahwa apakah figur BKH masih pantas menjadi representasi Flores di Senayan?

Related Post

Leave a Reply