Selamat Jalan, Sinyo Harry Sarundajang, Kader Nasionalis-Religius yang Gemilang di Pentas Pemerintahan

Oleh Robby Repi, Wartawan, tinggal di Jakarta

TEMPUSDEI.ID (13 FEBRUARI 2021)

Sinyo dalam perjumpaan dengan empat Presiden

Jelang dini hari, Sabtu (13/2), saya dikejutkan ungkapan dukacita atas wafatnya Sinyo Harry Sarundajang, akrab disapa SHS. Saya pun membalas chat Wa tersebut di WAG Info KKK. KKK singkatan dari Kerukunan Keluarga Kawanua, organisasi orang-orang asal Minahasa di Jakarta. Tidak berapa lama chat di berbagai WAG saling bersahutan, dari WAG yang dipenuhi Kawanua hingga WAG kalangan nasionalis, termasuk juga WAG warga gereja.

Saya pun mengingat kembali sosok rapih, necis dan wangi yang saya jumpai di beberapa kali dalam berbagai forum. SHS bukan orang lain bagi saya, kami sesama aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), tentu saja kiprah kami di GMNI pada zaman yang berbeda. Kiprah tersebut berlanjut di wadah Persatuan Alumni GMNI (PA-GMNI).

Ketika masuk menjadi kader GMNI, berbareng menjadi mahasiswa di Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) pada tahun 1991, saya sudah terpesona dengan SHS. Di tengah pemerintahan Orde Baru yang alergi dengan legacy Ir. Soekarno, SHS justru gemilang di ranah birokrat. Dan sudah barang tentu ia kemudian menjadi icon bagi kader GMNI Sulawesi Utara (Sulut). Tempat kami meminta petunjuk dan dukungan logistik perjuangan. Perlu diketahui bahwa pada masa 1990-an, GMNI bukanlah organisasi kemahasiswaan tingkat kampus favorit. Yang jadi kader GMNI hanya mereka yang kuat mental karena segala sesuatu yang berlabel nasionalisme dari presiden pertama, akan dicurigai. Jadi bersiaplah untuk berada dalam posisi diametral dengan penguasa.

Menurut Theo L. Sambuaga, SHS memulai aktivitasnya dari Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI) Sulut pada 1962-1965 dan menjabat ketua GMNI Manado 1965-1968. SHS seangkatan dengan Jano Bolang, Markus Wauran, dan Taufik Kiemas di pentas nasional. Ketika SHS memimpin GSNI Sulut, Bung Theo begitu kami sapa, masuk GSNI tahun 1964, dan menjadi ketua GSNI Manado  1965-1966; sekretaris GSNI Sulut 1966-1967; ketua DPP GSNI 1967-1999. Ia kemudian Bendahara DPP GMNI pada Kongres di Salatiga 1969. Ketika itu Taufik Kiemas menjadi Korda Sumatera Selatan.

Bara Nasionalisme Religius

GSNI dan GMNI merupakan sayap perjuangan kaum nasionalis yang pernah berada dalam lingkup Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan Ir. Soekarno. Kader pada kedua organisasi tersebut senantiasa ditempa dengan bara nasionalisme-religius. Rumit untuk menjelaskannya, tapi kurang lebih kira-kira begini bahwa menjadi kader nasionalis, gandrung akan persatuan Indonesia, dibarengi dengan jiwa religius yang sarat keyakinan kepada Sang Khalik.

Sikap nasionalis SHS bukan semata dari jiwanya yang ditempa GSNI dan GMNI. Pada dirinya mengalir darah pahlawan Minahasa Gerungan dan Lontoh Tuunan. Pahlawan Minahasa dalam Perang Minahasa-Bolaang. Darah kedua pahlawan tersebut, setelah melalui 6 keturunan menyatu pada diri Oma SHS: Ita Mamuaja.

Keanggotaannya sebagai warga gereja dari Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM), saya yakin banyak meneguhkan jiwa nasionalismenya. KGPM merupakan sinode yang berdiri dengan semangat nasionalisme di tengah ingar-bingar revolusi di Tanah Minahasa.

SHS menghabiskan masa sekolahnya di kota kelahirannya, Kawangkoan. Kota sejuk di jantung Minahasa. Pendidikan tinggi ditekuninya di Jurusan Administrasi Negara, Fakultas Sosial dan Politik, Unsrat. Ia meraih gelar sarjana muda pada tahun 1968.

Gelar sarjana penuh, disabetnya ketika melanjutkan pendidikan di Universitas 17 Agustus 1945 Jakarta, Jurusan Fakultas Ketatanegaraan dan Ketataniagaan tahun 1970. Ia kelak meneruskan pendidikan ke jenjang doktor.

Karier SHS dimulai sebagai dosen pada tahun 1971, saat usianya 26 tahun. SHS menjadi dosen luar biasa Fakultas Sospol Unsrat dengan mata kuliah Ilmu Politik dan dosen luar biasa Akademi Pemerintahan Dalam Negeri Manado dengan Mata Kuliah Administrasi Negara.

Tugas Darurat

Dr. Sinyo Harry Sarundajang

Kariernya terus meningkat. Hingga kemudian ia kerap diberi tugas darurat untuk menyelesaikan persoalan suatu daerah dengan ditunjuk menjadi pejabat sementara (Pj). Ia memulainya sebagai Pjb. Sekwilda Minahasa, Pjb. Karo Bina Pemerintahan Daerah Kantor Gubernur Sulawesi Utara,  Pjb. Walikotamadya Bitung, dan kemudian menjadi Walikotamadya Bitung dalam dua periode.

Inisiatif SHS pula yang meyakinkan pemerintah pusat akan konsep kotamadya. Bitung adalah proyek percontohan dan SHS dipercaya menanganinya. Model Bitung kemudian diterapkan pemerintah dalam mengembangkan kotamadya selanjutnya.

Usai menjadi walikota Bitung 2 periode, SHS ditarik ke Jakarta menjadi staf ahli Menteri Dalam Negeri. Selanjutnya ia dipercaya sebagai Inspektur Jenderal Depdagri. Kiprahnya di Depdagri yang membuka pintu untuk menjadi Pjb Gubernur di Provinsi Maluku Utara (2002) dan Provinsi Maluku (2002-2003). SHS bukan hanya menyiapkan kedua provinsi itu untuk memasuki pemilihan kepala daerah tetapi mendamaikan konflik horizontal.

Malaikat Kecil

Konflik Sara di Maluku memang berimbas ke panggung politik nasional. Ketegangan dan kerusuhan yang memakan korban menjadikan Maluku rawan untuk dipercakapkan. Bak benang kusut, pihak yang bertikai terkait ke sana-sini. Kehadiran SHS diragukan dapat mencapai solusi. Ia sempat mengalami penolakan. Bahkan di Ternate, kehadirannya disambut bom. Namun dengan semangat nasionalisme religius ia pantang mundur. Sosok Mohammad Attamimi berhasil diajaknya berdialog. SHS bahkan berhasil menemui tokoh Islam tersebut di markasnya. Belakangan Attamimi turut mendukung SHS ketika mencalonkan diri menjadi Gubernur Sulawesi Utara. Di Maluku diberi gelar Panglima Laskar Jihad Maluku dan Malaikat Kecil.

Hal serupa terjadi juga di Ambon. Ia ditantang melalui proses adat untuk dapat diterima. SHS diuji, bila ia berhasil melukai seseorang dalam cambukan hingga 3x, ia diterima, bila tidak, ia ditolak. SHS lulus dari uji adat tersebut. Kehadirannya disambut antusias.

Konflik di Maluku terselesaikan dan pemilihan kepala daerah berlangsung damai. Kisruh karena SARA pun redup.

Menjadi pejabat kemudian diteruskan ketika ia menjadi Pelaksana Tugas Walikota Manado (2009-2010).

Pada tahun 2005, SHS menjadi kontestan pada Pilgub Sulut. Ia didampingi Freddy Sualang, ketua PDI Perjuangan Sulut. Hasilnya, SHS mengungguli petahana AJ Sondakh yang berpasangan dengan Aryanti Baramuli; Weni Warouw-Marhani Pua; Ferry Tinggogoy-Hamdi Paputungan dan Henky Baramuli-Dirk Togas.

Pada kepemimpinannya, Sulut menyelenggarakan Konferensi Kelautan Sedunia atau World Ocean Conference (WOC) (11-15/5/2009). WOC menghasilkan Manado Ocean Declaration di mana negara-negara sepakat untuk lebih memperhatikan pentingnya laut dari ancaman pemanasan global. Dari konferensi tersebut kuat dorongan supaya dunia lebih memperhatikan laut sebagai pendukung kelangsungan kehidupan dunia.

Sail Bunaken

Sail Bunaken (Foto: Kompas)

Selanjutnya, kegiatan internasional lain yang diadakan adalah Sail Bunaken  yang merupakan parade kapal perang, kapal tiang tinggi dan kapal layar dari 30 negara serta diikuti 7.000 pelaut.

Perhatian SHS akan laut didasari desertasi doktoralnya yang berjudul Geostrategi Provinsi Sulawesi Utara sebagai pintu gerbang Indonesia di Kawasan Asia Pasifik. Disertasi tersebut dipertahankannya dengan gemilang di Universitas Gajah Mada. Disertasi tersebut dipengaruhi pemikiran Pahlawan Nasional dari Sulut Dr. Sam Ratulangi.

Kemenangan kembali dikantongi SHS pada Pilgub 2010. Bersama Djouhari Kansil, SHS meraup 30% suara untuk memenangkan kontestasi 1x putaran. Saat itu ia diusung Partai Demokrat tempat SHS dipercaya sebagai anggota dewan Pembina.

SHS juga sempat ikut konvensi calon presiden yang digelar oleh Partai Demokrat  pada tahun 2014. Sayang, Konvensi Capres yang digelar Demokrat tak berjalan mulus.

Usai menjabat Gubernur, ia sempat digadang menjadi menteri. Intelektualitas dan kapasitasnya memang pas. Tidak diragukan. Tapi entah mengapa, posisi tersebut urung diraihnya. Ia kemudian berkontribusi sebagai anggota Dewan Pers periode 2016-2019.

Anggota Istimewa Pers Sulut

Di dunia pers, SHS merupakan anggota istimewa PWI Sulut. Perhatiannya kepada media dapat dibuktikan. Relasinya dengan wartawan begitu baik. Ia turut mendirikan Manado TV dan Harian Manado Pagi.

Wawasan SHS menerobos batas primordial menempatkan dirinya menjadi tokoh nasional dengan multi-talenta.

Pada Februari 2018, ia dilantik oleh Presiden Joko Widodo sebagai Duta Besar Indonesia untuk Filipina merangkap Kepulauan Marshall dan Palau. Di sini ia membebaskan warga negara Indonesia yang disandera Abu Sayyaf.

Legacy SHS diganjar pemerintah dengan berbagai penghargaan. Antara lain Tanda Kehormatan Bintang Mahaputera Utama (2009).

Bagi kami, kader GMNI yang kini berkiprah di berbagai bidang, pemikiran dan perilakunya yang mempraktikkan nasionalisme-religius menjadi pelita dan teladan untuk berkarya. Selamat jalan Senior Bung SHS, sampai jumpa di Rumah Bapa yang kekal.

Leave a Reply