Mon. Nov 11th, 2024

Mensyukuri Pandemi Covid-19? Yang Benar Saja…!

Simply da Flores

Simply Y. da Flores, Alumni STF Driyarkara dan Direktur Harmoni Institute

Covid-19 sudah hampir ulang tahun pertama. Dampaknya sangat dahsyat, dirasakan semua orang di seantero dunia. Jutaan nyawa berjatuhan sementara itu sangat banyak yang sedang berjuang untuk sembuh akibat terpapar virus mematikan tersebut. Pemerintah berbagai negara berjibaku melawan Covid-19 ini.

Sementara itu, upaya manusia untuk menemukan obat dan berbagai cara pengamanan kehidupan terus berlangsung. Saat yang sama, bencana alam terus terjadi di mana-mana, serta sebaran hoax dan kampanye negatif di media sosial, yang menghasilkan kebingungan dan ketakutan pun terus berlangsung. Manusia ditagih dan digugat secara personal maupun komunal, serta secara universal akan hakikat eksistensi kehidupan ini. Mengapa terjadi wabah pandemi serta bencana bertubi dan sedemikian ganas?

Menangis, Tak Berdaya, Pasrah

Secara normal patut digarisbawahi harapan dan kerinduan hakiki setiap orang untuk kenyamanan, keamanan diri dan lingkungan demi keselamatan kehidupan ini.

Menurut saya, saat pandemi dan bencana yang demikian ini,  ada sejumlah hikmah  yang bisa dipetik. Kita manusia ditegur untuk mengingat  kembali hakikat kodrati keberadaan diri manusia tentang beberapa hal berikut ini.

 Pertama, sedemikian sibuknya setiap individu dan kelompok, maka sangat sedikit bahkan semakin hilang kesadaran dan kelakuan “bersyukur – terima kasih” dalam kehidupan sehari-hari. Kemajuan milenial dengan dominasi teknologi informasi, membuat manusia semakin individualitis, egois dan apatis.

 Kedua, semakin sirnanya kesadaran kolektif akan: dari mana kita datang, ke mana kita akan pergi, dan bagaimana seharusnya memperlakukan kehidupan yang kita dapatkan dengan cuma-cuma dari Sang Empunya Kehidupan ini.

Manusia semakin menjadi hamba teknologi, akhirnya lupa diri, lupa sesama; apalagi peduli kepada alam lingkungan dan Sang Pencipta.

 Ketiga, kemutlakan relasi saling membutuhkan dan saling melengkapi antar sesama manusia, sebagai keharusan kodrati. Setiap orang terlahir dari sesama – orangtuanya, dan hidup tergantung dari orang lain, sejak lahir sampai kembali ke kubur. Karena itu, solidaritas kemanusiaan, saling menghormati dan kasih sayang sesama menjadi semakin dituntut dan diandalkan.

Pandemi Covid-19 dan bencana alam lainnya, mengembalikan manusia dari egoismenya, agar semakin banyak waktu dan perhatian kepada sesama, mulai dari dalam keluarga. Kehidupan dengan topeng dan keterasingan diri, yang dimanjakan oleh teknologi informasi,  dikembalikan kepada relasi sosial yang lebih natural dan jujur.

Keempat, relasi mutlak dan ketergantungan kodrati manusia terhadap alam lingkungan. Tanpa alam lingkungan, manusia mati dan punah. Tetapi tanpa manusia, alam lingkungan lestari dengan hukumnya. Apakah selama ini, sekitar 100 tahun terakir, manusia memakai dan mengelola alam lingkungan dengan bijaksana? Bagaimana kesadaran dan perilaku syukur manusia terhadap alam lingkungan? Covid-19 dan bencana alam mengentak manusia agar introspeksi diri dan mengubah perilakunya terhadap alam lingkungan.

 Kelima, kehebatan rasional manusia dalam berkreasi dengan ilmu dan teknologi, tidak meniadakan keempat prinsip kodrati di atas. Maka,  manusia tidak bisa sombong dan menjadikan diri “tuan dan Tuhan”  atas apa pun dan siapa pun. Apalagi jika hanya karena demi memuaskan nafsunya,  dengan menggunakan kekuasaan dan kekayaannya; baik individu atau sekelompok kecil manusia.

Dalam konteks ekologi, kecenderungan dan kesombongan demikian adalah kelakuan melawan kodrat – dehumanisasi alias animalisasi manusia, dengan akibat fatal adalah kehancuran kehidupan manusia sendiri.

 Keenam, pandemi Covid-19 dan beruntunnya bencana alam, memberikan indikasi kuat dan penegasan mendasar bahwa manusia tidak berdaya di hadapan alam lingkungan. Dan alam lingkungan sedang menjawabi kesombongan manusia, hingga manusia kembali sadar secara individu dan komunal – universal, bahwa manusia sangat tergantung mutlak dengan alam lingkungan dan hanya bisa hidup dari alam ini.

Jika kita manusia tidak bersyukur dan menghargai alam lingkungan yang nyata kelihatan, apakah manusia peduli  dan hormat kepada Sang Pencipta – yang tidak kasat mata?

Ketujuh, karena setiap manusia secara kodrati memiliki aspek spiritual, yang membuat manusia memiliki pengalaman religius, maka pandemi Covid-19 dan bencana alam yang bertubi-tubi mengingatkan manusia tentang kemutlakan relasi dengan Sang Maha Pencipta, apa pun keyakinan dan agamanya, bahkan yang ateis sekali pun. TYME, dari mana segala sesuatu berasal, karena-Nya semua terselenggara dan terjadi, ke mana semuanya kembali.

Hakikat Kodrati

Maka, pandemi dan bencana alam memberikan hikmah agung akan hakikat kodrati realita dan kehidupan manusia di tengah alam semesta.

Dari ketujuh butir hikmah di atas, maka kiranya semua upaya solusi dan menghadapi pandemi covid serta aneka bencana alam, agar tidak hanya mengandalkan kehebatan pikiran manusia. Apalagi saling berlomba dan saling mempersalahkan. Bahkan dalam bencana, masih ada yang kejar keuntungan ekonomis dan tebar pencitraan, lalu melakukan berbagai penipuan dan manipulasi.

Saatnya kejujuran diwujudkan, solidaritas kemanusiaan dan kasih sayang persaudaraan dikedepankan, doa dengan iman dan kerendahan hati menjadi andalan – bukan agama sebagai alat politik serta ritual adat budaya yang sakral dihargai – bukan disingkirkan!

Sudah saatnya kembali ke prinsip alam – back to nature and back to basic principles of reality. Mungkin inilah makna  New Normal – kesadaran baru secara kolektif untuk kembali ke hakikat kehidupan di tengah alam semesta.

Inilah hikmah Pandemi Covid-19 dan bencana alam yang sedang kita alami secara bertubi-tubi. Maka, dalam derita dan ketakberdayaan menghadapi Pandemi Covid-19 dan bencana alam, masih ada makna dan hikmah yang patut disyukuri. Semoga

Related Post

Leave a Reply