Alasan Rasional Pilkada Serentak 2020 Tetap Dilaksanakan

Dr. Drs. Thomas Umbu Pati TB, M.Si, Pengamat politik dan Ketatanegaraan, tinggal di Jakarta

Pilkada Serentak akan digelar pada 9 Desember 2020. Keputusan yang diambil Pemerintah sudah tepat. Lantas, apa dasar pilihan rasional Pemerintah tersebut?

Pilkada sebagai  Pilihan Rasional

Pilihan Rasional (Rational Choice Theory) adalah sebuah konsep yang menjelaskan bagaimana memilih tindakan yang dapat memaksimalkan kegunaan. Teori ini berakar pada ilmu ekonomi, namun dalam perkembangannya teori ini dapat digunakan untuk mejelaskan fenomena yang terjadi pada berbagai macam disiplin ilmu termasuk ilmu politik.

Salah satu tokoh Rational Choice,  James S. Coleman (Ritzer, 2012) dalam jurnal ”Rationality and Society” menyatakan bahwa tindakan seseorang selalu dibentuk oleh nilai atau pilihan rasionalnya. Dalam teori ini, setiap individu didorong oleh keinginan atau tujuan yang mengungkapkan ‘preferensi’ kenapa mereka bertindak dengan spesifik. Mekanisme dasar pilihan rasional adalah cost and benefits analysis yang mendasari logika konsekuensi. Intinya adalah bahwa individu bertindak berdasarkan kalkulasi terhadap konsekuensi yang muncul. Konsekuensinya lebih besar menguntungkan atau merugikan.

Pendekatan ini dikenal sebagai rasionalisme absolut yang kemudian dikritik oleh pendukung rasionalisme institutionalis. Bagi pendukung pendekatan institutional, rasionalitas itu dipengaruhi oleh konteks institusi, yakni aturan main formal atau informal yang membatasi atau memfasilitasi tindakan agen (North, 1991). Individu, pembuat kebijakan memang rasional, tetapi dalam memilih kebijakan, mereka memperhitungkan institusi yang berlaku. Institusi ini mencakup undang-undang, peraturan lebih rendah, norma politik maupun konvensi penyelenggaraan pemerintahan yang menjadi tradisi.

Dalam kerangka pendekatan rasional di atas, keputusan Pemerintah untuk tetap menyelenggarakan Pilkada serentak 2020 dapat dipahami, meski telah menimbulkan sikap pro dan kontra masyarakat seolah-olah Pemerintah mengabaikan keselamatan publik.

Pemerintah memilik pertimbangan rasional, dengan melakukan kalkulasi untung dan ruginya untuk tetap memutuskan pelaksanaan perhelatan tersebut meskipun pandemi Covid19 masih berlangsung.

Bagi sebagian kalangan, pilihan sikap rasional Pemerintah tersebut justru dianggap irasional. Sementara bagi Pemerintah, tidak semata-mata karena pemenuhan aspek normatif. Perubahan waktu pelaksanaan Pilkada serentak menuntut perubahan institusi, yakni berbagai peraturan tentang penyelenggaraan pemerintah daerah di tingkat nasional dan lokal. Penundaan juga akan menuntut perubahan prosedur dan wewenang lain yang mengganggu pelaksanaan pembangunan.

Berdasarkan kalkulasi rasional,  Pilkada serentak 2020 sebaiknya tetap dilaksanakan dengan beberapa alasan. Pertama, penundaan Pilkada memiliki konsekuensi institusional berkaitan dengan regulasi tentang wewenang pejabat sementara. Jika Pilkada Serentak 2020 ditunda, dari perspektif pemerintahan  akan mengganggu penyelenggaraan pemerintahan daerah karena semua daerah yang akan melaksanakan Pilkada akan diisi oleh seorang Pelaksana Tugas (Plt), Penjabat, Pejabat Sementara (Pjs) dan Pelaksana Harian (Plh) sesuai lamanya waktu menjabat dan keberadaannya, namun memiliki kewenangan terbatas. Undang-Undang 23 tahun 2014 dan Permendagri No 74/2016 mengisyaratkan bahwa dalam mengambil keputusan yang sifatnya strategis, seorang Penjabat misalnya wajib meminta persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri yang kadang realitanya akan melalui proses birokrasi yang panjang (konsultasi, koordinasi, rentang kendali yang jauh, dll) sehingga dianggap kurang efektif dan efisien.

Aturan ini membatasi penggunaan wewenang secara penuh oleh pejabat dalam waktu cepat untuk merespons persoalan-persoalan pembangunan dan pelayanan publik di daerah. Pandemi covid mungkin akan lebih lama dari yang diprediksi. Dampaknya adalah bahwa masa jabatan sementara akan juga lebih lama. Kondisi ini membahayakan kelangsungan pembangunan, kesehatan anggaran dan kualitas pelayanan public, termasuk kebijakan penanganan pandemic dan pelayanan pada para korban covid-19

Kedua, momentum Covid19 saat ini secara politis menjadi ajang evaluasi pelaksanaan pemungutan suara yang selama ini dilakukan secara manual. Pandemi ini menjadi kesempatan untuk mengintalasi praktik baru dalam institusi Pemilu, yakni upaya pemilihan digital atau yang dikenal dengan istilah e-voting. Adaptasi baru ini sesuai dengan trend perubahan di era digital guna memudahkan kita dalam segala bentuk interaksi termasuk cara pemungutan suara sekaligus ajang mencegah penularan Covid-19 yang sedang melanda dunia. Tinggal bagaimana membangun infrastruktur digital dan menciptakan budaya masyarakat guna merespon perubahan digital saat ini.

Ketiga, Pemilu di tengah pandemi mendorong penguatan Kembali institusi-intitusi sosial, di mana masyarakat dapat kembali memperkuat simpul-simpul sosialnya yang sudah tergerus oleh perubahan zaman. Watak ego-sentris, introvert serta eksklusif harus di-redesain guna merespon kondisi saat ini yang membutuhkan sikap kerjasama, saling mendengar, saling peduli, bermusyawarah serta bergotong royong menghadapi pandemi covid-19 dengan segala dampak multi-dimensinya. Social Capital yang dimiliki masyarakat harus bersinergi dengan kebijakan Pemerintah dalam hal kepatuhan dan disiplin dalam pentahapan demokrasi yang sedang berjalan saat ini.

Keempat, dana yang sudah tersedia untuk hajatan demokrasi lokal di Tahun  Anggaran ini kurang lebih 15 Triliun Rupiah. Jika terjadi penundaan, apakah ada jaminan ketersediaan dana di tahun berikutnya mengingat pertumbuhan ekonomi nasional mengalami kontraksi bahkan mengarah ke resesi ekonomi yang berdampak pada ketersediaan dana Pilkada 2021. Sementara aturan institusional yang ada tidak memungkinkan akumulasi dana secara cepat untuk menjawab kebutuhan-kebutuhan yang bersifat mendesak. Padahal pada saat yang sama, bangsa kita sedang diuji untuk mewujudkan kualitas demokrasi di masa Pandemi Covid-19. Ini kondisi antara peluang dan tantangan.

Kelima, Pilkada di tengah wabah ini dapat menjadi ajang uji kapasitas dan kapabilitas leadership calon kepala daerah yang akan berkontestasi. Hal ini diukur melalui gagasan/konsep yang mendukung strategi penanganan Covid19 dengan segala dampak yang ditimbulkan, juga uji pengaruh dan karisma calon kepala daerah dalam menyadarkan masyarakat untuk hidup sehat dan taat pada protokol kesehatan, bagaimana cara menggali potensi lokal agar survive dalam masa resesi, bagaimana mengatasi dampak pengangguran, kemiskinan, mengelola peluang investasi di tengah pandemi, serta bagaimana mengelola kearifan lokal melalui kerja gotong royong menghadapi Covid-19 di wilayahnya masing-masing.

Keenam, untuk mewujudkan calon kepala daerah yang berkompeten di masa Covid-19, maka peran partai politik tidak bisa dinafikan. Melalui fungsi elite recruitment, partai politik wajib menyodorkan calon kepala daerah yang mumpuni dalam berbagai aspek untuk membawa perubahan di daerahnya terutama dalam kondisi resesi saat ini akibat Covid-19. Prasyarat mutlak ini menjadi penting dan bermakna serta perlu direspon oleh Partai Politik. Jangan sampai “parpol hanya sebagai rental politik”. Partai politik harus realistis menilai aspek kompetensi calon Kepala Daerah sehingga tidak gagap setelah terpilih.

Ketujuh, dalam konteks pendidikan politik, Pilkada serentak kali ini merupakan  momentum bagi masyarakat untuk memilih pemimpinnya secara cerdas. Salah memilih, berdampak pada perubahan berbagai aspek terutama ekonomi lima tahun ke depan. Pertarungannya antara bangkit atau gagal.  Oleh karenanya sangat tidak relevan ketika masyarakat masih berdebat soal kontestasi etnisitas (suku, agama, wilayah) tanpa menekankan aspek kompetensi calon kepala daerah. Benar kata Romo Magnis Suseno bahwa Pemilu sebetulnya momentum mencegah yang terburuk berkuasa atau mencegah lahirnya “usefull idiot” alias orang bodoh yang berguna. Oleh karenanya, masyarakat harus cerdas memilih dan tidak terperangkap dalam cara pikir yang sempit.

Kedelapan, ajang evaluasi kinerja petahana. Covid-19 telah terjadi hampir 7 (tujuh) bulan. Pertumbuhan ekonomi nasional mengalami kontraksi yang berdampak hingga ke daerah. Dalam kondisi resesi saat ini, masyarakat bisa menilai secara otonom siapa kepala daerah yang mampu dan siapa yang gagal, yang inovatif dan kreatif, yang hanya menjadi penonton saat pandemi menyerang masyarakat dan wilayahnya.

Logikanya sederhana, jika kinerja incumbent atau petahana positif, maka masyarakat dan daerahnya aman. Demikian sebaliknya. Sanksi politik harus diberikan kepada Kepala Daerah yang tidak becus menangani pandemi Covid-19. Sebaliknya Kepala Daerah yang terbukti bertindak professional dan rakyatnya aman dari Pandemi, tidak salah jika yang bersangkutan dipilih kembali. Pandemi Covid sebagai ajang reward and punishment bagi seorang incumbent.

Leave a Reply