Sat. Jul 27th, 2024

Pastor Markus Marlon, Imam yang Diminta Oleh Dewi Cinta untuk Terus Menulis Itu Telah Tiada

Pastor Markus enjoy di tengah umatnya. Foto: dokumen keluarga.

Kabar duka sekonyong-konyong datang dari Paroki Dumaring, Talisayan, Berau, Kalimantan Timur. Pastor Makus Marlon, MSC meninggal dunia  pada pukul 02.20 WITA (5/8/20). Ini sebuah kematian yang sangat mengejutkan bagi para konfraternya, sahabat dan keluarga almarhum. Semestinya terhitung 2 Agustus Romo Markus tidak di Kalimantan lagi sebab oleh pimpinannya ia dipindahkan ke Sulawesi Selatan, namun karena umat di Paroki Dumaring masih ingin bersamanya satu minggu lagi, maka keberangkatannya ditunda tanggal 9 Agustus. Namun Tuhan berkehendak lain, imam kelahiran Gunung Kidul, 22 Januari 1966 malah berubah haluan dan kembali ke rumah abadi bernama Surga Baka.

Romo Markus Marlon memang dikenal dekat dengan umatnya. Dia rajin mengunjungi mereka yang adalah buruh kebun sawit. “Umat saya di sini kebanyakan orang Flores. Mereka umat yang sederhana namun asik,” katanya suatu saat melalui washap. Dia bahkan tidak segan makan dan minum bersama umatnya bahkan tidur di rumah mereka yang memang sangat “seadanya”, beralaskan tikar pandan di atas papan. “Saya nikmati hidup bersama mereka,” katanya pada kesempatan lain kepada penulis.

Penulis Produkstif

Teruslah menulis dari Surga, Romo. Foto: dok keluarga.

Selain sebagai imam yang mencintai dan dicintai umatnya, Romo Markus juga adalah kutu buku dan penulis produktif dan berkelas. Sejumlah buku telah ia hasilkan. Dia pencinta sastra, film, kebahasaan dan tentu saja filsafat dan teologi. Di mana pun ia tinggal, romo ini akan selalu meluangkan waktunya untuk menulis. Dalam berkarya ia masih suka menggunakan “jalur kuno”, yakni mengumpulkan kliping dari berbagai media, menulis dengan pena dalam buku inspirasi. Dia juga suka membaca novel-novel kuno. Jika ia bisa menjangkau, dia akan berusaha mengunjungi tempat yang menjadi setting penulisan sebuah novel yang ia sangat sukai.

Romo Markus juga sangat mudah mengagumi alam. Jika dia menyukai sebuah hutan misalnya, dia akan berusaha pergi ke hutan itu, walau hanya sebentar, sekadar untuk memandangi pepohonan, menikmati cahaya yang menyelinap di antara dedaunan atau mendengar “orkes” pepohonan yang saling bergesekan karena diterpa angin sambil menikmati ceracau aneka burung. Setelah itu ia akan pulang.

Dalam sebuah obrolan, dia bertanya tentang asal penulis. Begitu ia tahu bahwa penulis dari Sumba, NTT, dia langsung katakan, “Di sana ada padang sabana yang luas ya… Bukit-bukitnya indah kan? Saya akan ke sana,” katanya.

Sebulan kemudian, dia meminta bantuan no kontak orang yang bisa ia hubungi di sana. Dia lalu benar-benar pergi ke Sumba. “Saya akan pergi sebentar, untuk menikmati angin padang, melihat padang lalu pulang.” Dia tiba di sana pada siang hari, setelah memandangi padang tanpa berkata-kata, ia sejenak menikmati angin laut di pelabuhan Waingapu bersama Agust Dapa Loka sekeluarga dan Romo Jack Lodo Mema. Keesokan harinya Romo pergi lagi ke tengah-tengah padang. Menjelang pesawat mendarat dia buru-buru ke bandara, lalu pulang ke Kalimantan.

Setiap hari pasti ada saja tulisan yang ia hasilkan. Biasanya ia menulis pendek-pendek. Meski tulisannya pendek-pendek, namun bermakna sangat dalam. Dia tidak asal menulis, selalu ada referensinya, yang kadang-kadang tidak terduga karena berasal dari aneka buku klasik yang ia baca.

Tentang ketidakalpaannya dalam menulis, dia katakan, menulis adalah hidup dan kecintaannya. Baginya, menulis bahkan adalah kewajiban yang harus ia lakukan. Ia sepakat dengan kata-kata sastrawan Pramudya Ananta Toer: “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”. Lebih dari itu akunya, ia selalu menulis karena ada yang menyuruhnya. Siapakah yang menyuruhnya? “Dewi Cinta menyuruhku untuk menulis –Scribere iussit Amor. Ungkapan ini selalu tersua pada setiap akhir tulisannya.

Kini Pastor yang patuh pada Dewi Cinta itu sudah tiada. Dia telah kembali ke rumah Bapanya pada pagi buta dari Pastoran Dumaring, Kalimantan Timur. “Saya ingin meninggal di pastoran,” katanya ketika minta dibawa pulang dari rumah sakit saat menjalani perawatan akitat kelelahan sepulang melayani umatnya. Ya, dia menyudahi peziarahannya setelah menuntaskan pelayanan kepada umat yang dia cintai dan mencintainya. Requiescat in Pace!

EMANUEL DAPA LOKA

Related Post

Leave a Reply