Thu. Dec 5th, 2024

Romo Mudji Sutrisno: Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono Tentang Keseharian Daun Jatuh ke Bumi

Romo Mudji dan Sapardi, dua budayawan dari Surakarta. Foto: ist
Hujan Bulan Juni difilmkan. Foto: poster.

Oleh Mudji Sutrisno SJ, Rohaniwan dan budayawan

Penyair Sapardi Djoko Damono (SDD) mengembuskan nafas terakhirnya pada pukul 9.17 WIB, Minggu, 19 Juli 2020. Jagad susastra Indonesia berduka karena kehilangan maestro sastra, penyair Hujan Bulan Juni itu. SDD kelahiran Surakarta, 20 Maret 1940.

Saat saya belajar memahami puisi dan nulis pula, saya bertanya: mengapa puisinya mudah dipahami dan pilihan kata dan kalimat sederhana? SDD menjawab, karena puisiku ingin mengajak berkomunikasi tentang keseharian daun jatuh ke bumi, tentang hujan, kok turun di bulan Juni (tentu saat dulu, sebelum perubahan iklim). Mengucapkan “saya cinta pun…” dengan sederhana. Puisiku adalah media untuk komunikasi, omong-omong soal hidup dalam laku sahaja dan semesta di mana kita hidup.

Penyair lain susah dipahami, lantaran puisinya itu “solilokui” atau percakapan dengan diri sendiri. Sang penyair bercakap-cakap dengan batin dan hatinya sehingga untuk memahaminya orang luar mesti “menempatkan diri ke dalam cakap-cakap batin sang penyair”. Istilahnya memahami dari dalam: from within.

Saat beberapa kali menguji S3 di UI, Sapardi menampakkan karakter sebagai guru. SDD mengusahakan yang diuji mengulik mengurai makna dan arti essensi mendalamnya, tak hanya berhenti di permukaan. Caranya bertanya berusaha mengaitkan sastra dan kemasyarakatan dalam praxis nyata. Maksudnya seperti dalam buku kreatifnya Sosiologi Sastra: sastra pun “berstruktur” dan bisa dianalisis seperti sistem masysrakat. Penelaah mesti membaca sastra novel sebagaimana ditulis pengarang (writerly) dan sebagaimana kita yang membaca (readerly).

Eksistensi Sebuah Karya Sastra

Kemampuannya berkomunikasi melalui puisi diwujudkan dengan kemampuannya menulis yang mudah dipahami (bahasa ilmunya: epistemologis) tapi sekaligus menerangkan: ini lho eksistensi sebuah karya sastra di masyarakat menggunakan bahasa sahaja terutama saat memasak teori-teori struktural berdasar linguistik sejak Ferdinad de Saussure yang mulai dengan pemilahan antara subyek pemberi arti penanda (signifier) dan yang ditandai atau dimaknai (signified). Juga saat memasak pikiran Roland Barthes, SDD dalam buku Sosiologi Sastra membuat titian jalan untuk memahami sastra sebagai sistem tanda. Jadi tak cuma kata-kata bernakna puitis atau prosais, namun mengundang mahasiswa untuk membacanya sebagai sistem dan berstruktur secara kebahasaan di masyarakat.

Suatu saat SDD menguji doktoral seorang yang sehari-harinya sudah dikenal sebagai sastrawan dan penulis berbakat. Di sampingnya saya berkomentar dengan gaya Solo yang halus namun menyindir tajam: “Mbok uwis… Ora usah dadi doktor, wong wis apik-apik kreatip dadi penulis lan penyair…” (“Sudahlah… Dia kan sudah jadi penulis andal dan penyair… Kenapa masih “butuh doktor resmi /formal?”). Dia menimpali: hayati hidup dengan kepenyairan kualitas tinggi dalam memuisikan laku hidup itu saja, sudah sama dengan “doktor”.

Dari sini saya mencoba mendekati salah satu usaha SDD sebagai guru besar untuk menjadi jembatan antara ranah sastra yang sering ditafsir dengan mata sebelah sebagai terpisah dengan dunia akademik: yang satu dunia rasa dan yang  lain dunia rasionalitas.

Pernah kami sampai pada pertanyaan sulit dan masih menantang refleksi rasional filsafati, yaitu: mengapa estetika atau “filsafat seni” tidak masuk dalam kategori filsafat sistematis? SDD hanya bergumam tersenyum sambil mengatakan: “Karena intuisi dan rasa (raos-Jawa) itu tak dapat dikategorikan dengan sistematisasi rasional akal budi, “beyond rationality”.

Lalu saya beri gongnya dengan mengutip Einstein bahwa imajinasi itu lebih kaya dari “knowledge”.  Yang mengendap sebagai kenangan untuk diteladani adalah tetap menulis dan terus kreatif dengan media-media baru untuk promosi perlunya puisi dan sastra bagi penghening laku tindak manusia dan cermin berkaca siapa manusia dengan sedih dan sukanya, dengan hasrat hidup cinta membara dan patah letihnya, dengan api dan kayu yang menghangatkan sampai memanaskan daya hidup.

Ini semua beliau garap selalu bersama yang muda mulai dari musikalisasi puisi bersama Ari Reda lalu Oppie Andarista. Kekhasannya selalu ada tapak baru “eksperimen  yang menginspirasi” semisal bentuk-bentuk cerpen yang bersumber pada proses berpuisi bahkan narasi puisi dicerpenkan atau sebaliknya. SDD dan Joko Pinurbo atau Jok Pin menjadi perintis inspiratif untuk menulis cerpen berbasis puisi. Sebagai guru ia mengajak menggunakan semua media komunikasi yang mendidik untuk mengenal, mengapresiasi lalu mencinta puisi.

Lihatlah PDF dan rekaman-rekaman dialog sastra, cakap-cakap puisi dengan Jok Pin, bahkan saling balas komunikasi melalui surat puisi di media seperti KOMPAS, atau BASIS. Terakhir, melalui puisi Pada Suatu Hari Nanti, dia mengajak pembaca mengenangnya. Ya, SDD ingin dikenang dengan larik-larik puisi tinggalannya yang terus hidup lantaran “Hidup itu pendek, namun seni itu mengabadi: Vita brevis, ars longa“. Requiescat in Pace!

Pada Suatu Hari Nanti

“Pada suatu hari nanti,

jasadku tak akan ada lagi,

tapi dalam bait-bait sajak ini,

kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,

suaraku tak terdengar lagi,

tapi di antara larik-larik sajak ini.

Kau akan tetap kusiasati,

pada suatu hari nanti,

impianku pun tak dikenal lagi,

namun di sela-sela huruf sajak ini,

kau tak akan letih-letihnya kucari.”

Related Post

Leave a Reply