Mon. Nov 11th, 2024

Kolam Ikan Nila Merah di Bekas Galian Batu Putih Jadi Tempat Rekreasi Keluarga

Kolam pemancingan dari galian batu. Tampak para pemotong batu dengan mesin potong sedang bekerja.
Kolam ikan dari galian batu. Foto: Ade Lard

Sumba, NTT, Tempusdei.id – Suasana kompleks rumah Leonardus Dapa Loka di Desa Pero, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya, NTT dalam beberapa minggu ini berbeda dari biasanya. Pada setiap akhir pekan, sejumlah orang yang adalah kerabat Leo  berkunjung ke tempat ini untuk berekreasi. Di sini mereka memancing ikan nila merah lalu meramunya menjadi lauk yang bisa disantap bersama sambil bercengkerama. “Kolam ini bisa bikin guyub dan akrab keluarga. Inilah cara sederhana menyenangkan keluarga,” ujar Leo singkat sambil tersenyum.

Dalam rentang waktu yang panjang ke belakang jelas Leo, di lahan yang sama tidak pernah ada kolam ikan. Selain karena kurangnya sumber air, juga karena tidak mudahnya mendapatkan bibit ikan. Juga karena tidak menyangka ikan bisa hidup di air bekas galian batu. “Tidak pernah terpikir akan ada kolam ikan di sini, tapi yang tidak pernah terpikir itu, kini ada di sini,” ungkap Leo sambil menunjuk kolam berukuran 14×20 meter dengan kedalaman 2 meter. Masih ada beberapa bekas galian yang belum ditebar bibit ikan.

Sejak tahun 2014 Leo dan keluarganya menggali dan memotong batu putih di tempat ini. Ribuan buah batu sudah dihasilkan dari tempat ini. Batu-batu berukuran lebar 12 cm, tebal 14 cm dan panjang 28 cm tersebut dijual ke proyek-proyek dan pihak-pihak lain yang membutuhkan dengan harga Rp2.000/buah. Selain itu, ayah satu anak ini juga menggunakan batu tersebut untuk membangun rumah miliknya yang hanya beberapa meter dari bibir kolam.

Leonardus Dapa Loka

Sejak 6 bulan lalu Leo berpikir memfungsikan bekas galian batu tersebut dengan mencoba memelihara ikan nila.  “Awalnya saya melepas 100 ekor. Sekarang  sudah ribuan ekor dan sudah besar-besar,” jelas ayah satu anak ini. Dia membeli bibit nila seukuran 5 cm seharga Rp3.500 per ekor.

Leo menjelaskan, dengan memelihara ikan nila, keluarganya bisa mengonsumsi ikan segar kapan saja. “Untuk kami, sangat sulit mendapatkan ikan segar dari laut yang tanpa pengawet kimia. Dengan piara sendiri, kami bisa makan ikan kapan saja. Dengan ini, saya juga mau menyediakan tempat rekreasi keluarga. Tidak tertutup kemungkinan lahan ini menjadi peluang alternatif menambah penghasilan keluarga,” tambah pria yang terampil membuat meubel unik dari akar-akar pohon tua ini.

Leo yang juga adalah pegawai Pemda SBD ini berharap ke depan bisa memelihara lebih banyak ikan untuk memasok kebutuhan masyarakat, rumah makan dan restoran. “Sangat mungkin juga saya  membuka pondok ikan bakar di pinggir kolam ini sambil menyediakan produk pendukung seperti kerajinan tangan,” ujar Leo.

Pria berjiwa seni ini juga berharap ke depan bisa “menyulap” kompleks rumahnya menjadi panggung hiburan tempat anak-anak muda setempat bisa berolah seni seperti bermain teater dan musikalisasi puisi.

Tentang Batu Putih

Pater Robert Ramone, CSsR di makam Pater Heinrich Limbrock, SVD di Sankt Augustin Jerman

Sebagian tempat di pulau Sumba memiliki kekayaan alam berupa “batu putih”. Batu yang biasa dipakai untuk membuat tembok rumah ini adalah salah satu dari berbagai jenis batu yang dalam Bahasa Inggris disebut limestone.

Menurut budayawan Sumba Pater Robert Ramone, CSsR, untuk pertama kali  batu tersebut digunakan untuk membangun rumah di Sumba pada tahun pada tahun 1929. Orang yang pertama kali menggunakannya untuk membangun tembok adalah Pater Dr. Heinrich Limbrock, SVD, seorang misionaris pertama SVD yang menetap di Sumba. Dia seorang ahli geologi khususnya bidang batu-batuan. Menurut Pater Robert, bangunan pertama yang Pater Limbrock bangun dari batu putih adalah Konventu Redemptoris di Weetebula yang kini telah berusia 91 tahun dan masih sangat kokoh.

Marcel, salah satu pemotong batu putih di Pero.

Sebelum menggunakan untuk membangun, Pater Limbrock menguji kualitas batu tersebut di laboratorium di Belanda. Bruder Albert Eikenbush, CSsR juga membawa contoh yang sama ke Jerman untuk kembali diteliti dengan tujuan sama, yakni memastikan kualitasnya. Ternyata hasil menunjukkan, batu tersebut memang sangat kuat.  Pada tahun 1957, dengan jenis batu yang sama para misionaris Redemptoris membangun Gereja Katedral Weetebula.

Menurut pengamatan Pater Robert, di Sumba setidaknya ada tiga jenis batu putih berdasarkan kualitas dan kegunaan, yakni pertama, jenis batu seperti bubur dan mudah retak, tidak bisa sebagai bahan bangunan selain untuk urukan atau timbunan. Kedua, batu putih untuk membangun tembok. Ketiga, batu jenis lebih keras untuk membuat batu kubur, ornamen, patung, dan lain-lain. “Ini pengamatan saya sejauh banyak melihat dan bergaul dengan para tukang batu putih,” jelas pendiri dan direktur Rumah Budaya di Kalembu Nga’a Bangga, Weetebula, Sumba Barat Daya ini. (tD)

 

 

Related Post

Leave a Reply