
Oleh Ferdinandus Wali Ate, Presidium Hubungan Luar Negeri, PP PMKRI Periode 2024-2026
Saya lahir di tanah yang dikenal orang sebagai “daerah pinggiran.” Tanah yang tak selalu masuk peta besar negara, tapi kaya akan cerita, budaya, dan keharmonisan dengan alam. Di sana, hutan bukan hanya pohon. Ia adalah nadi. Sungai bukan hanya air, melainkan darah kehidupan. Tanah bukan cuma milik, tapi warisan yang dirawat dengan hormat dan doa.
Kini, saya menyaksikan bagaimana tanah-tanah itu dipreteli. Satu demi satu. Hutan diubah jadi konsesi tambang. Sungai-sungai dipagari oleh izin industri. Dan masyarakat adat, yang hidup beriringan dengan alam selama ratusan tahun, diusir tanpa sempat bicara.
Dalam posisi sebagai Presidium Hubungan Luar Negeri, saya meminjam kata-kata dari Paus Leo XIII dalam Rerum Novarum-sebuah teks tua dari tahun 1891, yang nilai dan semangatnya masih kontekstual hari ini.
Kata Rerum Novarum itu: “Kaum miskin bukan beban masyarakat, mereka adalah anggota sah dari tubuhnya. Negara yang adil adalah negara yang melindungi yang lemah, bukan yang mengorbankan mereka atas nama kemajuan.”
Rerum Novarum awalnya bicara soal buruh di tengah revolusi industri. Tentang keadilan upah, hak bekerja, dan martabat manusia. Tapi jika dibaca dengan mata hati hari ini, pesan itu meluas: ini tentang siapa saja yang tersingkirkan oleh sistem yang hanya menghitung untung rugi.
Hari ini, buruh itu juga adalah ibu-ibu di Rempang yang menangis karena rumah mereka hendak digusur.
Buruh itu adalah petani di Wadas yang siang malam dijaga aparat. Buruh itu adalah anak-anak di Kalimantan yang bermain di sungai beracun karena tambang tak pernah tidur. Dan mereka semua punya satu kesamaan: tak punya kuasa, tapi punya hak.
Saya sering mendengar istilah “tanah adat”. Tapi bagi masyarakat adat, itu bukan sekadar status hukum. Itu adalah ruang spiritual, tempat nenek moyang beristirahat dan anak cucu dipersiapkan. Saat tanah itu hilang, hilang juga jati diri. Lalu kita bertanya-tanya, mengapa generasi muda kehilangan arah?
Apakah kita sadar, bahwa memaksa masyarakat adat meninggalkan tanah leluhurnya sama dengan mencabut akar sebatang pohon dan berharap ia tetap tumbuh?
Kita lupa: masyarakat adat bukan penghalang kemajuan. Justru merekalah penjaga paling setia bumi ini. Saat kita bicara soal krisis iklim, deforestasi, dan kehancuran lingkungan, merekalah yang pertama melawan, meski tanpa mikrofon, tanpa media.
Panggilan moral, bukan sekedar advokasi. Sebagai kader PMKRI, saya percaya bahwa ini bukan hanya soal kebijakan. Ini panggilan moral. Kita tidak sedang sekadar melawan proyek tambang atau investasi raksasa. Kita sedang memperjuangkan nilai hidup yang lebih luhur: martabat manusia dan keutuhan ciptaan.
Itu sebabnya saya ingin Rerum Novarum tak hanya dibaca, tapi dihayati dan diaktualisasikan. Bahwa keadilan sosial dan ekologis bukan dua isu terpisah. Di Indonesia hari ini, keduanya saling bertaut—saling menguatkan atau sama-sama runtuh.
Kini, dengan terpilihnya Paus Leo XIV, harapan itu menyala lagi. Nama beliau membawa kita kembali ke semangat Rerum Novarum–sebuah harapan bahwa Gereja akan terus menjadi suara bagi yang tak bersuara, membela yang terpinggirkan, dan menantang sistem yang mengabaikan martabat manusia.
Jika tanah bisa bicara, ia mungkin tidak akan memarahi kita. Ia hanya akan bertanya:“Mengapa kalian tega mematahkan jembatan antara masa lalu dan masa depan?”
