Thu. Dec 4th, 2025

Suster Marija Tatjana Zrno, “Di Antara Doa dan Lapangan Sepak Bola”

Sr. Marija Tatjana Zrno

Ada sesuatu yang istimewa pada sosok Suster Marija Tatjana Zrno (lafal: Mariya Tatyana Zerno)—dari Kongregasi Suster-Suster Kasih St. Vincent de Paul di Zagreb, Croatia.

Apa yang istimewa itu? Ia adalah seorang biarawati muda yang melayani dengan hati pastoral lembut, tetapi sekaligus penggemar berat sepak bola, olahraga yang keras, penuh intensitas, dan sarat emosi.

Bagi Suster Marija, kedua dunia itu—biara dan lapangan hijau—bukan dua kutub yang bertentangan. Ia justru melihat keduanya sebagai bagian dari satu perjalanan rohani yang sama.

Dengan senyum yang tenang tetapi mata yang menyala, ia pernah berkata bahwa kehidupan religius dan kehidupan profesional seorang atlet adalah “medan pertempuran epik”.

Ungkapnya, di keduanya ada perjuangan, ada disiplin, ada pengorbanan, dan yang terpenting: ada hasrat untuk memberikan yang terbaik.

Ia menegaskan bahwa siapa pun yang ingin meraih keberhasilan, baik seorang pemain sepak bola maupun seorang rohaniwan, harus siap melampaui batasnya. Dalam latihan fisik maupun latihan rohani, tubuh dan jiwa sama-sama ditempa.

“Dalam olahraga,” katanya, “kita berlatih ketika merasa tidak mampu. Dan dalam kehidupan spiritual, kita berdoa lebih banyak ketika tampaknya kita kurang mampu.”

Justru pada titik-titik kelelahan itulah, menurutnya, seseorang menemukan kedalaman sesungguhnya—baik sebagai atlet maupun sebagai pribadi beriman.

Suster Marija – medan pertempuran epik.

“Momen tersulit,” ujarnya, “adalah yang membedakan antara potensi yang terwujud dan yang belum terwujud—baik dalam sepak bola maupun dalam agama.”

Pandangan ini bukan sekadar teori. Ia hidup dalam keyakinan tersebut. Saat Piala Dunia 2022, ia ikut memimpin doa rosario nasional bagi vatreni, bersama Romo Ivan Dominik Iličić.

Ia mengenang bagaimana doa itu mempersatukan segala usia, dari anak-anak hingga orang tua, dalam satu harapan dan iman yang sama.

Bagi Suster Marija, sepak bola bukan sekadar pertandingan—ia adalah momen persatuan, momen identitas, dan momen spiritual.

Ia juga mengikuti dengan kagum bagaimana pemain-pemain Kroasia hidupkan kesaksian iman di hadapan publik.

Luka Modrić dengan pelindung lutut bergambar religius, Dominik Livaković dengan doa sebelum adu penalti, bahkan doa Salam Maria yang dibacakan nenek Ivan Perišić sebelum pertandingan—baginya semua itu adalah pengingat bahwa iman tidak pernah absen dari kehidupan, bahkan di panggung olahraga terbesar dunia.

Yang selalu ia tekankan adalah sikap para pemain Kroasia setelah pertandingan: bagaimana mereka menghibur pemain lawan, menjabat tangan, memeluk, dan tidak pernah mempermalukan yang kalah.

Bagi Suster Marija, di sanalah letak spiritualitas sejati: kemenangan yang dirayakan dengan kerendahan hati, dan kekuatan yang ditampilkan dengan kemanusiaan.

Dengan semua itu, Suster Marija berbicara kepada kaum muda dengan bahasa yang mereka kenal—bahasa sepak bola, tantangan, kedisiplinan, dan sportivitas. Ia mengajak mereka untuk menemukan bahwa kehidupan religius pun membutuhkan komitmen yang sama: kerja keras, ketekunan, dan keberanian untuk terus melampaui batas diri.

Dalam dirinya, iman dan sepak bola tidak hanya berdampingan—mereka saling memperkaya.

Ia menunjukkan bahwa menjadi biarawati tidak berarti menjauh dari dunia, melainkan masuk ke dalamnya dengan hati yang kuat dan pandangan yang luas.

Dan melalui dunia olahraga yang ia cintai, ia membuka pintu bagi banyak orang muda untuk mengenal bahwa panggilan rohani pun dapat menjadi perjalanan yang epik—indah, keras, dan penuh makna.

Related Post