


Di tengah dinamika dunia yang sering riuh oleh suara politik dan kepentingan, sosok Uskup Agung Piero Pioppo berdiri dengan ketenangan seorang gembala dan ketegasan seorang diplomat Gereja.
Ia adalah wajah lembut diplomasi Vatikan — seorang imam yang hatinya selalu tertambat pada pelayanan, tak peduli di mana perutusan itu menempatkannya.
Lahir di Savona, Italia, pada 29 September 1960, Pioppo tumbuh dalam keluarga Katolik yang sederhana namun kokoh dalam iman.
Sejak muda, ia menunjukkan ketertarikan pada dunia filsafat dan teologi. Setelah menempuh pendidikan di Seminari Keuskupan Acqui Terme, ia melanjutkan studi di Universitas Gregoriana Roma, meraih gelar doktor teologi dogmatik dan hukum kanonik — dua bidang yang kemudian menjadi fondasi penting dalam karya diplomatiknya.
Ditahbiskan sebagai imam pada 29 Juni 1985, ia menapaki jalan pengabdian yang jauh dari sorotan, namun penuh kesetiaan.
Kecermatannya dalam berpikir dan kelembutannya dalam memimpin menarik perhatian Sekretariat Negara Vatikan. Sejak 1993, ia diutus dalam Pelayanan Diplomatik Tahta Suci, dengan penugasan di berbagai belahan dunia: Korea, Chili, dan akhirnya Kantor Sekretariat Negara di Vatikan.
Pada 2006, ia dipercaya menjadi Prelat Institut untuk Karya-Karya Keagamaan (IOR), atau yang dikenal sebagai Bank Vatikan.
Empat tahun kemudian, Bapa Suci Benediktus XVI mengangkatnya menjadi Uskup Tituler Torcello dan Nunsius Apostolik untuk Kamerun dan Guinea Khatulistiwa. Ia menerima tahbisan episkopal di Basilika Santo Petrus pada 18 Maret 2010.
Perjalanan pelayanannya terus meluas. Tahun 2017, Paus Fransiskus mengutusnya ke Indonesia sebagai Nunsius Apostolik, dan setahun kemudian menambahkan mandat baru sebagai perwakilan Tahta Suci untuk ASEAN.
Menjalin Relasi Hangat
Dari Jakarta, ia menjalin relasi hangat dengan para Uskup, imam, serta umat di pelosok Nusantara — dari Timika hingga Medan, dari Pontianak hingga Waingapu.
Dalam setiap kunjungan pastoralnya, Piero Pioppo selalu menampilkan senyum tenang yang menyimpan pesan sederhana: Gereja hadir bukan untuk berkuasa, melainkan untuk melayani.
Lihatlah ketika dia mengunjungi Kota Waingapu, Sumba Timur, NTT untuk memberkati Gereja Marian Bunda Selalu Menolong pada 7 Oktober lalu. Ketika turun di Bandara Umbu Mehang Kunda, dia langsung bergabung dengan para penabuh gong yang menyambutnya dengan musik dan tarian tradisional Sumba.
Dia pun sempat menabuh tambur, mengikuti irama tabuhan tambur Sumba Timur.
Motto episkopalnya, “Quasi lignum super aquas” — seperti pohon di tepi air (Yeremia 17:8) — menjadi gambaran hidupnya sendiri.
Dalam arus deras dunia diplomasi dan tantangan pastoral, ia tetap berakar pada Sabda Tuhan.
Di Indonesia, ia dikenal bukan hanya sebagai utusan paus, tetapi juga sahabat para gembala lokal, seorang imam yang mau mendengar, hadir, dan memberi arah dengan kasih.
Pada 15 September 2025, Paus Fransiskus kembali mempercayakan padanya tugas besar: Nunsius Apostolik untuk Spanyol dan Andorra. Sebuah tanggung jawab yang menandai babak baru dalam sejarah pelayanannya — dari Asia menuju Eropa Barat, dari hutan-hutan Papua ke tanah Iberia yang penuh sejarah iman.
Namun, bagi Uskup Pioppo, setiap tempat hanyalah ladang baru untuk menabur kasih.
Dalam homilinya saat berpamitan di Jakarta, ia berkata lirih, “Saya datang membawa salam damai, dan saya pergi meninggalkan cinta yang telah tumbuh di hati saya untuk Gereja di Indonesia.”
Kini, dari Madrid ia kembali mengemban misi Gereja universal: membangun jembatan di atas perbedaan, menghadirkan wajah Kristus dalam diplomasi, dan menjadi pohon di tepi air — yang memberi teduh bagi siapa pun yang mencari damai. (tD/*)
