Politik Kekerabatan Khas Sumba dan Sikap Negarawan

Emanuel Dapa Loka, Putra Desa Pero, Wewewa Barat

Saat turun langsung ke tengah-tengah masyarakat untuk sosialisasi menghadapi Pemilu 14 Februari 2024, saya merasakan aroma berpolitik tradisional yang khas Sumba. Di sana politik kekerabatan sangat kental.

Nyaris bisa dikatakan, seseorang yang memiliki hubungan kekerabatan luas dan pergaulan yang lincah, ia memiliki banyak kesempatan untuk sosialisasi diri. Ini baru soal kesempatan!

Kesempatan sosialisasi diri adalah pintu masuk untuk mendekati, mengenal dan merebut hati rakyat. Dan prinsip ini sangat relevan dengan prinsip dalam demokrasi: siapa yang populer, dia memilki peluang untuk memenangkan kontestasi. Tentu saja, populer bukan satu-satunya penyebab keterpilihan.

Dikenal saja tidak cukup. Sebagai misal, seorang pejabat publik tentu saja dikenal oleh masyarakat, tapi ini bukan jaminan akan dipilih.

Yang masyarakat mau, adanya kehadiran di tengah masyarakat, duduk bersama di bale-bale sambil makan sirih pinang dan bicara untuk saling mengenal dan tahu isi hati. Dan biasanya, pada kesempatan semacam ini, masyarakat cenderung bicara jujur.

Istilah “Gula Kuai” (gula semua atau mulut manis) adalah istilah yang acap muncul. Istilah ini sebagai ekspresi masyarakat atas kenyataan. Ketika sang calon datang meminta dukungan, dia memberi janji-janji manis dan banyak yang cenderung tidak masuk akal. Mereka sudah tidak mau mendengar janji.

Hama belalang yang menyerang kebun-kebun petani.

Lalu, Apa?

Rekam jejak yang bersangkutan sangat menentukan. Jika jejak yang dia (terutama untuk yang sudah pernah menduduki kursi) tinggalkan di masyarakat jelek dan tidak berfaedah untuk masyarakat, maka hal ini akan menjadi materi “kampanye buruk otomatis” di hati masyarakat.

Tidak bisa tidak, karya dan kehadiran positif di tengah-tengah masyarakat adalah iklan positif teramat efektif”. Dan hal semacam ini biasanya bersifat alami, tidak dibuat-buat. Dan ini yang masyarakat mau.

Artikel pertama dalam dokumen Gaudium e Spes dari Konsili Vatikan II mengatakan: Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan manusia zaman ini, khususnya yang menderita adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus.

Kehadiran dalam poin-poin yang disebutkan tersebut merupakan pilihan sikap mau tahu atau peduli dengan nasib dan kehidupan sesama.

Tentu saja, banyak bentuk kehadiran itu. Tinggal menyesuaikan dengan situasi. Yang terpenting, yang bersangkutan telah memiliki modal dasar, yakni kepeduliaan.

Satu Kesatuan

Memiliki kesempatan untuk masuk ke tengah-tengah masyarakat seperti yang saya katakan pada awal tulisan ini, belum menjamin bahwa yang bersangkutan bisa memenangkan hati rakyat.

Masih ada sejumlah syarat lain yang harus dipenuhi  agar dipilih oleh masyarakat. Dan semua syarat itu tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Harus merupakan satu kesatuan

Politik itu Mapodeta

Di Sumba, khususnya di kalangan  orang Etnis Wewewa, setuju atau tidak setuju, politik telah diidentikkan atau disejajarkan dengan perilaku mapodeta  (tidak jujur, bersilat lidah dan berperilaku secara kotor, menerapkan siasat bermain curang atau busuk), dan ini tentu saja semua menghalalkan segala cara.

Bermain kotor di sini bisa melalui sistem, maupun melalui siasat-siasat kurang ajar, termasuk menebar uang untuk menang. Di sini, politik tidak hanya dimainkan secara kotor, tapi secara jahat. Dalam permainan jahat ini, nyawa sangat bisa menjadi taruhan.

Nah! Apakah jalan politik sudah sungguh-sungguh buntu sehingga cara-cara nir etika politik, nir moral dan nir nurani itu yang harus dipakai untuk memenangkan hati rakyat dan mendapatkan kursi?

Dalam kesempatan sosialisasi tersebut, tertangkap dengan jelas dari wajah, tutur kata dan gerak tubuh, masyarakat yang mengharapkan agar mereka tidak selalu menjadi korban ingkar para wakil atau pimpinan mereka.

Dalam kerinduan untuk tidak diabaikan, istilah yang selalu mereka pakai adalah “pakarebakima, pamaroukima” (Yang kami laparkan, yang hauskan)—mereka lapar dan haus akan sesuatu, yakni “kebutuhan”. Kebutuhan yang mereka maksudkan adalah fasilitas yang berguna dan vital bagi kehidupan bersama sebagai masyarakat. Dan ini, semestinya tak bisa ditunda, misalnya akses jalan, penerangan listrik dan pendampingan-pendampingan agar mereka bisa mengolah lahan mereka dengan baik dan produktif.

Bahwa kemudian mereka seakan atau benar-benar menunjukkan sikap “harus dibayar untuk memilih”, itu karena pengalaman pahit dalam pemilihan-pemilihan sebelumnya pada berbagai tingkatan.

Mereka dilupakan segera setelah yang bersangkutan terpilih. Sikap ramah nan peduli dari sang terpilih ketika datang meminta dukungan, hilang punah. Dia tidak pernah muncul, kalaupun muncul, dia hanya muncul di kalangan tertentu, itu pun dengan pendekatan yang keliru.

Sikap Negarawan

Segera setelah seorang eksekutif atau anggota legislatif terpilih, dia adalah milik semua; baik mereka yang memilihnya maupun tidak, termasuk mereka yang membencinya. Karena itu, dia harus melayani semua orang di wilayahnya dengan segala kemampuan dan daya upaya yang bisa dilakukan.

Prinsip “hanya mereka yang pilih saya atau mereka tidak pilih saya” sudah harus menguap segera setelah dinyatakan terpilih. Pelayanan harus untuk semua.

Ingat! Untuk melayani, seorang eksekutif dan anggota legislatif  sudah dilengkapi dengan fasilitas yang memadai. Dengan begitu, tidak ada alasan untuk tidak hadir sebagai seorang pelayanan. Seorang anggota dewan perwakilan rakyat di semua tingkatan mendapatkan gaji yang memadai. Untuk anggota DPRD 2 misalnya, berkisar antara 36-45 juta rupiah per bulan. Dan tentu saja, gaji anggota DPRD 1 dan DPR RI jauh lebih tinggi.

Dengan gaji setinggi itu, ditambah aneka tunjangan, seorang anggota legislatif semestinya bisa bekerja dengan tenang berdasarkan aturan dan pendanaan yang ada.

Rakyat pun paham bahwa seorang pemimpin bukanlah orang yang akan memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka. Dia bukanlah orang yang memikirkan periuk nasi rakyat.

“Kalau tidak ada anggota dewan, apakah kita tidak kerja kebun? Kita tetaplah petani dengan cangkul dan pacul di tangan. Anggota dewan tidak perlu dan tidak mungkin datang isi periuk nasi kami tiap hari,” kata Ama Okta dari Loko Dunni, Wewewa Barat pada sebuah kesempatan.

Dalam menjalani hidup yang tidak ringan, rakyat hanya membutuhkan teman seperjalanan, teman bicara, pemberi akses dan sebagainya.

Dengan begitu, pertanyaan amat relevan diajukan: yang bersangkutan (sang terpilih) mau berbuat atau tidak, mau berjuang untuk masyarakat atau tidak!