Wed. Oct 16th, 2024

Kilas Balik: Pemekaran Kabupaten  Sumba Barat Sebuah Rekayasa Masa Depan

Oleh Hugo R. Kelembu, Anggota DPRD Provinsi NTT dan Caleg Golkar untuk Pusat dari NTT 2

T uhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali kalau mereka sendiri mau mengubahnya.

Nasib buruk bukan harga mati tetapi adalah sebuah ruang penuh potensi. Bagaimana ruang itu diisi adalah hak manusia. Jadi nasib berada di telapak tangan manusia sendiri.

Permenungan ini, barangkali, yang menginspirasi sekelompok orang Sumba yang berada di Kupang pada tahun 2001, untuk mengubah format pemerintahan di Pulau Sumba menjadi tiga kabupaten: Kabupaten Sumba Timur, Kabupaten Sumba Barat, dan Kabupaten Sumba Tengah.

Kabupaten Sumba Tengah ini awalnya merupakan gabungan dari sebagian wilayah Kabupaten Sumba Timur dan sebagian wilayah Kabupaten Sumba Barat.

Pro Kontra dan Sinis

Ketika ide pemekaran ini dilansir di media massa, timbul pro dan kontra dengan argumentasi masing-masing. Tidak sedikit orang yang malah sinis. Bagaimana mau tambah satu kabupaten baru lagi, sementara yang dua saja kita belum mampu urus? Sumber daya alam sangat terbatas. Demikian juga sumber daya manusia yang masih sangat lemah. Lalu bagaimana mengurus kabupaten baru? Demikian argumentasi mereka.

Saya sendiri berpendapat, akselerasi kemajuan di Pulau Sumba harus dimulai dari upaya serius melakukan pembaruan yang terus menerus dan mencakup semua dimensi kehidupan masyarakat Sumba. Tapi pembaruan yang demikian akan sulit dilakukan, bila rentang kendali pemerintahan terlalu lebar dengan heterogenitas budaya yang sangat variatif.

ltulah sebabnya, saya menyambut antusias gagasan pembentukan Kabupaten Sumba Tengah dengan dua alasan.

Cover buku. Akan segera dicetak ulang

Alasan Sambut Baik

Pertama, perubahan format wilayah pemerintahan kabupaten merupakan simpul kunci yang harus diurai terlebih dahulu. Kedua, momentumnya sangat tepat, di mana negara menyadari bahwa setelah lebih dari setengah abad merdeka, masih banyak sekali kelompok masyarakat, terutama di daerah dan pulau terpencil yang kurang terjamah pembangunan.

Padahal, mereka juga adalah pewaris sah dari negeri ini. Kesadaran ini, antara lain manifestasinya berupa lahirnya banyak daerah otonom baru, baik kabupaten maupun propinsi.

Bila momentum ini tidak dimanfaatkan, maka hilanglah peluang melakukan lompatan berarti melakukan pembaruan untuk mempercepat proses kemajuan daerah.

Lorong Waktu

Antara ide dan realisasi ide terbentang sebuah lorong waktu. Panjang pendeknya lorong waktu amat tergantung pada keandalan manajemen yang diterapkan, keteduhan dan kebeningan hati, kepekaan serta reaksi semua pihak yang terlibat.

Semua dinamika yang terjadi akibat interaksi para pihak yang berkepentingan harus diberi kanal yang memadai. Itulah yang terjadi dengan ide pembentukan kabupaten baru di Pulau Sumba.

Belum banyak orang yang tahu bagaimana dinamika proses itu terjadi, mulai dari ide Sumba Tengah dengan cakupan wilayahnya, Kongres Rakyat yang melahirkan Sumba Jaya, ide pemekaran dua atau tiga kabupaten, lahirnya RUU Sumba Tengah, inisiatif DPR RI serta terbitnya rekomendasi Gubernur NTT.

Demikian juga proses negosiasi di pusat dengan DPR RI, DPD, dan Depdagri, perubahan nama Sumba Jaya menjadi Sumba Barat Daya, implikasi perubahan UU No. 22 tahun 1999 ke UU No 32 tahun 2004 dan lain-lain.

Kewajiban Moril

Sebagai salah satu orang yang terlibat aktif dan intens dengan seluruh proses pemekaran Kabupaten Sumba Barat ini dari awal sampai dengan ditetapkannya UU tentang Pembentukan Kabupaten Sumba Tengah dan Sumba Barat Daya, saya merasa mempunyai kewajiban moril untuk mengungkapkannya dengan maksud agar banyak orang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi beriringan dengan bergulirnya proses Pemekaran Kabupaten Sumba Barat menjadi tiga kabupaten.

Tulisan-tulisan dalam buku ini dituangkan dalam bentuk esai karena merupakan penghayatan saya secara pribadi terhadap seluruh proses pemekaran  yang didasarkan pada catatan-catatan saya selama memimpin rapat-rapat di DPRD dan mengikuti pertemuan-pertemuan dengan DPR, DPD dan Depdagri.

Buku ini tentu masih masih banyak kekurangannya. Tapi saya harapkan agar buku ini menjadi batu pertama yang di atasnya batu-batu berikut diletakkan bagi bangunan-bangunan baru di Pulau Sumba seperti yang dibayangkan oleh Jules Verne.

Catatan: Tulisan di atas merupakan Kata Pengantar dalam buku berjudul Pemekaran Sumba Barat; Dari Jules Verne ke Momentum Provinsi Pulau Bunga (2007) karya Hugo Rehi Kalembu

 

Related Post