Tue. Oct 22nd, 2024
Remy Sylado (foto dokumen Freedom Institute)

Oleh Emanuel Dapa Loka

Pada paruh kedua Desember,
bulan bermahkota hujan,
tatkala bumi dalam perlintasan melingkari matahari,
tepat pada hitungan waktu pukul 10.30
waktu Indonesia bagian Cipinang Muara di 12/12/22,
langkahmu menziarahi jagad purna,
saat napas penghabisan engkau embuskan
hanya berselang beberapa jam
usai engkau menyeruput kopi penghabisan
dari tangan kekasihmu Maria Louise Tambayong,
lalu selesailah sudah!

Engkau menempuh jalan pulang
menuju rumah Bapamu,
asal dan tujuan semua orang
yang berseru-seru pada-Nya

Dan aku kira para malaikat menyambutmu
dengan syair-syair indah
dari Kerygma dan Martyria
yang sebagiannya
memang engkau peruntukkan
bagi kemuliaan Allah,
dan untuk memantik tanya,
agar engkau berkata-kata
mempertanggungjawabkan imanmu

Dalam interval 78 tahun bersama angin,
Bersama rembulan dan matahari
engkau berjalan melintasi jagad sastra,
musik, bahasa, seni rupa
lalu tumpahlah buah-buah
dari pikir dan rasamu yang bernas
dan yang acapkali nakal.

Kami kini membatinmu setidaknya dalam
Gali Lobang Gila Lobang.
Siau Ling
Ca-Bau-Kan
Kerudung Merah Kirmizi,
Kembang Jepun,
Parijs van Java,
Menunggu Matahari Melbourne
Sam Po Kong
Puisi Mbeling
9 dari 10 Kata Bahasa Indonesia adalah Asing
Drama Musikalisasi Tarragon “Born To Win”
123 Ayat tentang Seni
Namaku Mata Hari
…. dan masih berderet-deret lagi

Belum lagi melalui larik-larik 1000 puisimu
dalam 1. 056 halaman Kerygma dan Martyria

Remy Sylado,
engkau adalah bianglala jagad seni Indonesia

Engkau adalah hujan
bagi suburnya generasi pencinta bahasa

Engkau adalah kerygma dan martyria terbuka

Kini, dari sana tetaplah berpuisi
bagi Indonesia dengan syair-syair indahmu

Bukankah engkau pernah katakan,
ketika yang lain membisu, biarlah puisi berbicara?

Remy, oleh karena kerahiman Tuhan, Tuhan kita bersama,
beristirahatlah dalam Damai Abadi, Requiescat in pace

Bekasi, 16 Desember 2022

Related Post