


Harno adalah siswa dengan kecerdasan yang diakui di SMA Tunas Ilmu, namun ia bergumul dengan sisi sensitif dalam kepribadiannya.
Sejak lama, ia mudah sekali merasa cemas dan tersinggung oleh hal-hal kecil, dan seringkali menunjukkan sikap yang terlalu egois ketika ide atau pendapatnya dipertanyakan.
Harno sangat menyadari bahwa dirinya mudah sekali naik pitam, dan masalah inilah yang membuatnya merasa tidak nyaman dalam bergaul, meskipun ia sangat mendambakan hubungan pertemanan yang hangat dan akrab di lingkungan sekolahnya.
Hampir setiap orang di sekitarnya, mulai dari guru mata pelajaran, wali kelas, hingga teman-teman terdekat, berulang kali menyampaikan dan menekankan bahwa ia perlu berubah.
“Harno, Anda memiliki potensi akademik yang luar biasa. Namun, Anda harus belajar mengelola emosi. Cobalah lebih tenang saat menghadapi perbedaan pendapat atau kritik. Jangan mudah marah dan terburu-buru bereaksi,” ujar Beno, guru matematikanya yang dikenal bijaksana, dalam sesi konseling pribadi.
Tekanan untuk menjadi pribadi yang “lebih baik” ini terasa sangat membebani pundaknya.
Semua orang terus-menerus menyoroti dan menekankan betapa cepatnya Harno bisa kehilangan kesabaran dan menunjukkan kekesalannya.
Mereka memberikan saran demi saran, menekankan betapa pentingnya kesabaran dan pengendalian diri dalam mencapai kesuksesan, baik di sekolah maupun di masa depan.
Meskipun nasihat-nasihat itu disampaikan dengan niat baik, Harno justru merasa semakin tertekan, seolah-olah jati dirinya yang asli adalah sebuah kekurangan fatal yang harus segera disingkirkan.
Jauh di lubuk hatinya, Harno menyetujui semua masukan dan nasihat yang ia terima. Ia sangat mendambakan perubahan itu; ia ingin sekali menjadi pribadi yang lebih sabar, santai, dan mampu berinteraksi tanpa harus selalu merasa terancam.
Namun, keinginan kuat itu berbenturan dengan kenyataan bahwa ia merasa tidak berdaya untuk mewujudkan perubahan tersebut, meskipun ia telah mencoba berbagai teknik relaksasi dan meditasi untuk mengendalikan luapan emosinya yang terasa mendidih. Ia justru sering merasa sakit hati dan bersalah karena teguran yang terus-menerus seolah mengikis kepercayaan dirinya.
Pukulan emosional yang paling berat ia rasakan datang dari Rita, ketua OSIS yang sangat ia hormati karena integritas dan kebijaksanaannya dalam memimpin. Sebagai seseorang yang Harno anggap sebagai teladan, ucapan Rita memiliki bobot yang berbeda.
“Harno, kamu itu aset besar bagi kemajuan sekolah kita. Namun, sikapmu yang mudah tersulut emosi dalam diskusi tim atau pertemuan penting membuat banyak anggota tim ragu untuk mendekat dan bekerja sama secara terbuka denganmu. Kami tahu kamu bisa lebih baik, tolonglah pelan-pelan berubah,” desak Rita dengan nada prihatin namun tegas.
Harno menyadari dan mengakui kebenaran ucapan Rita; ia tahu perilakunya menghambat kemajuan tim dan merugikan dirinya sendiri. Namun, pengakuan itu hanya meningkatkan tingkat stres dan kecemasannya. Ia merasa semakin tertekan, terbebani oleh harapan semua orang, dan terbelenggu dalam ketidakmampuannya untuk menjadi versi dirinya yang diminta.
Semua usaha perubahannya terasa seperti upaya sia-sia di tengah lautan tuntutan yang tak berkesudahan.
Suatu sore yang tenang, saat Harno sedang termenung di sudut perpustakaan, meratapi kegagalannya dalam ujian mata pelajaran Sejarah, ia didatangi oleh Rina dan Susan, dua teman sekelompok belajarnya yang dikenal selalu suportif dan pendiam. Mereka duduk di sisinya tanpa menghakimi, menawarkan kehadiran yang menenangkan. Harno sudah bersiap untuk menerima masukan atau “ceramah” lain tentang pentingnya self-control.
Namun, Rina justru mengucapkan kalimat yang sangat berbeda, bahkan berlawanan, dari semua nasihat yang pernah ia dengar: “Harno, mungkin ini terdengar aneh, tapi… jangan berubah!”
Harno menatapnya, bingung dan kaget. “Maksudmu? Aku sudah sering membuat ulah dan merepotkan kalian,” jawabnya lirih, merasa malu.
“Ya, tetaplah menjadi dirimu saja saat ini. Sungguh, itu tidak masalah. Mau kamu berubah atau tidak, kami akan tetap menghargai kamu sebagai teman dan sebagai bagian dari tim ini,” lanjut Rina dengan nada tulus dan meyakinkan, didukung anggukan lembut dari Susan.
“Kami menghormati dan menerima kamu apa adanya, dengan segala kelebihan dan sensitivitasmu. Kami tidak bisa tidak menyukaimu sebagai teman kami.”
Kalimat-kalimat yang disampaikan Rina dan Susan itu mengalun merdu di telinga Harno, menembus dinding pertahanannya: Jangan berubah. Jangan berubah. Kami menerimamu. Inilah yang ia butuhkan: penerimaan tanpa syarat, yang membebaskannya dari keharusan untuk menjadi sempurna. Ia merasakan beban berat yang selama ini menindih dadanya tiba-tiba terangkat.
Mendengar pengakuan tulus dan penerimaan yang membebaskan itu, Harno merasakan ketegangan di jiwanya mereda. Ia mulai merasa bergairah kembali dan pikiran negatif yang selama ini memicu amarahnya perlahan menghilang. Ia menyadari bahwa tuntutan untuk berubah telah membuatnya justru semakin terkunci dalam sifat lamanya; kini, rasa aman dari penerimaan membuka jalan bagi perubahan itu sendiri.
Dan, sungguh mengherankan, ia berubah. Bukan karena takut dimarahi atau ditolak, melainkan karena ia kini merasa aman. Ketika ada yang mengkritik idenya, ia mendengarkan dengan sabar, karena ia tahu keberadaannya tidak bergantung pada kesempurnaan idenya.
Perubahannya datang secara organik dan bertahap.
Harno akhirnya mengerti: Ia tidak dapat benar-benar berubah, sebelum ia menemukan orang-orang yang tetap akan menerima dan menghormatinya, terlepas dari bagaimana ia saat itu. Rasa aman dari penerimaan itulah yang menjadi landasan dan kunci utama menuju kedewasaan emosional.
Ya Tuhan, Engkau mencintaiku seperti itu? Batin Harno, merasakan kedamaian yang mendalam. Ia sadar, pelajaran paling berharga yang ia peroleh dari SMA Tunas Ilmu bukanlah tentang rumus atau tanggal penting, melainkan tentang pentingnya penerimaan dan belas kasih yang tulus sebagai fondasi dari perkembangan pribadi yang sejati.
Odemus Bei Witono: Direktur Perkumpulan Strada dan Pemerhati Pendidikan
