Sat. Nov 2nd, 2024

Peran Umat Awam Merawat Panggilan Kaum Berjubah yang Bermasalah

Foto: Dok Universitas Pelita Harapan.

 Oleh Alex Aur, Dosen Filsafat di Universitas Pelita Harapan 

Ciri-ciri Gereja Katolik adalah satu, kudus, katolik, dan apostolik. Keempat ciri ini saling terkait. Dengan ciri yang demikian, semua orang Katolik baik para imam, biarawan-biarawati, maupun umat awam/bisa saling terkait.

Semua orang Katolik saling mendukung, menopang, meneguhkan, dan mengoreksi dalam proses hidup sebagai orang beriman dan sebagai anggota masyarakat.

Dalam bingkai sebagai orang Katolik, kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan sekelompok atau seorang katolik adalah kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan Gereja Katolik.

Kesatuan, kekudusan, kekatolikan, dan keapostolikan sebagai orang Katolik dihayati dan dipraktikkan dalam semua bentuk kehidupan Gereja Katolik.

Penghayatan dan praktik ciri-ciri Gereja Katolik tersebut merupakan wujud tanggung jawab sebagai orang Katolik.

Ciri-ciri Gereja Katolik tersebut juga dihayati dan dipraktikkan dalam kerangka merawat panggilan kaum berjubah, terutama kaum berjubah yang bermasalah. Dengan demikian, merawat panggilan kaum berjubah secara umum dan yang bermasalah merupakan tanggung jawab semua orang Katolik. Keberlangsungan panggilan kaum berjubah tidak semata-mata tanggung jawab kaum berjubah itu sendiri dan lembaga religius yang menjadi naungan mereka, melainkan juga tanggung jawab awam.

Pertanyaannya, di mana posisi awam dalam merawat panggilan kaum berjubah terutama mereka yang bermasalah? Pertanyaan ini penting karena sering kali keberlangsungan panggilan kaum berjubah lebih banyak menjadi perhatian dan tanggung jawab bagi kaum berjubah sendiri, tarekat religius dan orang tua kaum berjubah.

Bentuk-bentuk Perawatan

Merawat panggilan kaum berjubah secara umum mewujud dalam beberapa bentuk. Pertama, mendoakan kaum berjubah. Mendoakan kaum berjubah merupakan sebuah keharusan iman bagi semua orang Katolik. Ini sudah sering dipraktikkan dalam Ekaristi, doa-doa bersama di berbagai level, dan doa-doa pribadi.

Kedua, donatur dana. Setiap orang Katolik bisa menjadi donatur dana bagi kebutuhan-kebutuhan ekonomi dan pendidikan kaum berjubah. Ini pun sudah dipraktikkan dalam Gereja Katolik.

Dalam setiap Ekaristi sering kali dikumpulkan kolekte dari umat untuk pendidikan kaum berjubah, terutama pendidikan calon imam. Ada pula orang-orang tertentu yang secara kontinyu menyumbangkan dana untuk pendidikan calon imam dan pendidikan lanjutan bagi para imam.

Ketiga, menjadi sahabat dalam panggilan bagi kaum berjubah. Artinya, orang Katolik, terutama awam, dapat memosisikan dirinya sebagai sahabat yang mau mendengar sharing dari para kaum berjubah dalam menjalani panggilannya.

Kaum berjubah butuh teman yang dapat mendengarkan pergumulan mereka dalam menapaki jejak-jejak panggilan. Pergumulan itu menyangkut karya, suasana hidup dalam komunitas biara, dan sebagainya.

Tiga bentuk perawatan panggilan kaum berjubah di atas dapat dilakukan dengan mudah. Mungkin agak membutuhkan perjuangan dan komitmen adalah bentuk ketiga karena memerlukan tingkat kepercayaan yang tinggi antara kaum berjubah dan umat awam yang menjadi sahabat kaum berjubah.

Imam-imam SS.CC. Mari rawat imamat mereka.

Mereka yang Bermasalah

Menjadi agak dilematis ketika umat awam berhadapan dengan kasus-kasus khusus. Misalnya, seorang awam tahu persis dan memiliki bukti akurat dan pasti tentang penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh seorang kaum berjubah.

Tidak jarang, awam memiliki fakta dan bukti yang akurat tentang pelanggaran kaul-kaul yang dilakukan oleh kaum berjubah. Terutama pelanggaran kaul kemurnian.

Dalam situasi seperti itu dan dalam konteks merawat panggilan kaum berjubah, langkah apa yang harus dilakukan awam? Banyak orang sering mengatakan bahwa, “Toh, kaum berjubah juga manusia”; “Biarkan saja itu menjadi urusan pribadi kaum berjubah.”

Kita perlu memberi catatan kritis untuk pernyataan-pernyataan itu. Terkait pernyataan pertama, “Toh, kaum berjubah juga manusia.”

Pernyataan ini mengandung tendensi permisif terhadap penyimpangan yang dilakukan kaum berjubah. Seolah-olah, karena dia manusia, maka kaum berjubah dengan mudah mengikuti saja dorongan-dorongan manusiawi yang sebetulnya merupakan pengingkaran terhadap kaul yang diikrarkannya.

Yang harus diperhatikan adalah kaum berjubah harus terus-menerus menyadari dirinya yang sudah mengikrarkan kaul-kaul. Dengan demikian, kaum berjubah bisa meminimalisasi dan mengatasi dorongan-dorongan manusiawinya.

Terkait pernyataan kedua, “Biarkan saja itu menjadi urusan pribadi kaum berjubah.” Pernyataan ini juga bertendensi bahwa kaum berjubah adalah sosok yang tidak punya kaitan dengan Gereja Katolik atau orang Katolik yang lain. Perlu diperhatikan bahwa kaum berjubah adalah “milik” Gereja Katolik, “milik” semua orang Katolik.

Kaul-kaul yang mereka ikrarkan bukan saja menjadi urusan privat kaum berjubah dengan Tuhan atau dengan tarekatnya, melainkan memiliki dimensi publik dan universal.

Artinya, kaul-kaul yang diikrarkan atas nama Gereja Katolik secara universal. Dengan demikian, kaum berjubah berjanji dengan orang Katolik secara universal untuk menaati kaul-kaul mereka.

Konsekuensi lebih lanjut dari dimensi publik dan universal kaul-kaul tersebut adalah bahwa orang Katolik, terutama awam, memiliki peran untuk menyikapi berbagai penyimpangan yang dilakukan kaum berjubah.

Peran awam dalam konteks menyikapi kasus-kasus penyimpangan yang dilakukan kaum berjubah adalah tetap dalam bingkai merawat panggilan kaum berjubah dan membantu kaum berjubah untuk mengatasi masalahnya. Bukan untuk mencederainya, melainkan memulihkan kembali keberadaannya sebagai kaum berjubah.

Salah satu gedung gereja Katolik di Korea

Cara Elegan

Ketika menghadapi kasus-kasus khusus yang bertautan dengan penyimpangan-penyimpangan kaum berjubah, awam harus menggunakan cara-cara yang elegan. Beberapa langkah bisa dilakukan. Salah satu langkah yang elegan adalah menyampaikan berbagai bukti penyimpangan tersebut kepada pimpinan tarekat yang menjadi naungan kaum berjubah.

Mengapa? Karena pimpinan tarekat paling berwenang untuk menyelesaikan masalah yang dialami kaum berjubah.

Meskipun awam memiliki hak dan kewajiban menyikapi kasus penyimpangan, tetapi sikap yang diambil harus ditempatkan dalam koridor yang sebenarnya.

Awam tidak bisa menyikapi sendiri. Awam cukup menyampaikan bukti-bukti penyimpangan kepada pimpinan tarekat. Ada batas-batas tertentu yang tidak bisa dilewati awam manakala menyikapi sebuah kasus penyimpangan.

Selanjutnya, pimpinan tarekatlah yang berwenang menetapkan cara mengatasi masalah yang dilakukan kaum berjubah. Pimpinan tarekatlah yang dapat berdialog dari hati ke hati dengan kaum berjubah yang bermasalah, untuk mencari jalan keluar yang terbaik untuk kaum berjubah.

Tentunya, pimpinan tarekat juga bijaksana dalam menyelesaikan masalah kaum berjubah dan tetap dalam konteks merawat panggilan dan membantu kaum berjubah bermasalah.*

Sumber: Buku Melucu di Tengah Badai – Kumpulan Esei Religiositas

Related Post