Sat. Jul 27th, 2024

Pakaian di Badanmu, Tidak Pernah Menyulapmu

Emanuel Dapa Loka

Oleh Emanuel Dapa Loka, Wartawan dan Penulis Biografi

Pemaksaan menggunakan jilbab di sekolah negeri kembali terjadi, seperti di SMAN 1 Bantul, Yogyakarta. Ini sangat menyedihkan. Bukan soal jilbabnya, tapi soal pemaksaan menggunakannya.

Apa pun yang dipaksakan, pasti tidak bagus. Ada sejumlah kemungkinan seseorang tidak menerima sesuatu. Bukan karena dia merasa hal itu tidak baik, tetapi mungkin belum cocok atau klik dengan dirinya. Atau karena dia memikirkan konsekuensi logis versi mereka dengan mengenakan jilbab itu.

Saya malah yakin, anak yang “belum mau” mengenakan jilbab justru sedang menaruh rasa hormat dan kagum pada jilbab itu. Ada keyakinan dalam diri mereka “jilbab itu pakaian suci, bukan baju biasa” sehingga haruslah atau sejatinya dikenakan oleh orang-orang yang sudah siap secara lahir dan batin.

Bagi mereka, bersedia mengenakan jilbab itu berarti siap mempertanggungjawabkan “keagungan” pesan di dalam jilbab itu sendiri melalui sikap batin dan hidup keseharian. Bukan sekadar latah mdnggunakannya!

Bukan Sembarang Baju

Kata sebuah ungkapan Latin Habitus Non Facit Monachum, artinya: Pakaian tidak membuat seseorang menjadi rahib.

Baju hanyalah hal lahiriah yang terlihat dengan indra mata fisik. Mata bisa saja menilai: dengan mengenakan jilbab seseorang bertambah cantik, anggun, berkarisma, memancarkan keagungan dan sebagainya. Hal tersebut bisa saja benar, namun bisa juga meleset.

Namun, yang perlu benar-benar dipertimbangkan adalah bagaimana agar ada hal-hal berharga yang muncul usai mengenakan jilbab sebagai buah konkret dari kesediaan memakai baju yang “bukan sekadar baju” itu.

Mereka yang belum bersedia mengenakan jilbab bisa jadi adalah orang-orang yang menghormati sikap batin atau bisikan di dasar hati nuraninya sendiri.

Ketika bisikan urani mereka mengatakan, “Jangan pakai dulu, kamu belum layak”, ya mereka belum bersedia mengenakan.

Jika dalam perjalanan, batin mereka sudah siap, dengan sadar mereka akan mengenakannya.

Dengan begitu, ketika mereka belum mengenakan, orang lain jangan dengan cepat “menghakimi” melalui berderet-deret penilaian aneh.

Kembali lagi, “Baju atau jubah, tidak membuat seseorang menjadi rahib”. Yang jauh lebih penting adalah bagaimana kualitas hidup dan iman seseorang, entah dalam balutan pakaian apa pun, yang penting pantas.

Tugas Sekolah

Sekolah adalah sebuah lembaga pendidikan yang berkewajiban mendampingi setiap peserta didik mencapai tingkat keilmuan dan kematangan diri tertentu sebagaimana dikatakan dalam kurikulum.

Tugas sekolah juga mendampingi siswa berkembang secara afektif, kognitif dan psikomotorik termasuk dalam upaya anak tersebut mendengarkan hati nuraninya secara jujur.

Janganlah kepada mereka dihadapkan dengan makhluk bernama “pemaksaan” yang pasti menyiksa itu. Sudah pasti, memaksa dengan segala cara dan bentuk adalah kelakuan orang tidak beradab.

Yang mengherankan, sekolah-sekolah yang memaksa adalah sekolah-sekolah negeri. Sekolah-sekolah ini adalah milik seluruh rakyat Indonesia, tanpa pembedaan.

Di sekolah negeri ini semestinya, anak-anak lebih dididik memiliki wawasan keindonesiaan. Tidak perlu terjadi penyeragaman, apalagi dengan kewajiban mengenakan jilbab.

Solusinya, kembali saja kepada kewajiban menggunakan seragam sekolah sesuai tingkatannya masing-masing. SD (baju putih lengan pendek dan celana pendek merah marun), SMP (baju putih lengan pendek dan celana pendek biru dongker) dan SLTA (baju putih lengan pendek dan celana panjang dan rok abu-abu setinggi lutut). Baju seragam yang lain bersifat fakultatif.

Dengan demikian, setiap anak yang mau bersekolah di sekolah negeri harus siap menerima aturan tersebut.

Janganlah menggiring sekolah negeri berwarna total golongan tertentu. Sekolah negeri ini milik bersama, tempat anak-anak didik belajar saling menerima, menghargai sebagai sesama anak-anak kandung negeri ini.

Biarkan anak-anak kita tetap menjadi anak Indonesia yang toleran, bersedia hidup dalam kenanekaragama budaya, agama, status sosial dan sebagainya. Inilah esensi dari “menjadi Indonesia”.

Sekolah semestinya menjadi laboratorium terdepan untuk membangun sikap saling menghargai, menghormati, bersahabat, memilih melakukan sesuatu tanpa pemaksaan. *

Related Post