Sat. Jul 27th, 2024
Sepuluh anak Guru Alo (Alm) berfoto bersama Ibu mereka Theresia Bela (86 tahun). Enam dari mereka menjadi guru. (tD)

Guru. Digugu lan ditiru. Digugu berarti (dipercaya atau dipatuhi) dan ditiru berarti diikuti atau diteladani. Inilah profesi paling populer di dunia. Tidak seorang pun bisa membaca dan menulis tanpa peran seorang guru.  Bahkan, tidak ada professor tanpa peran guru.

Seperti dilansir oleh tempusdei.id, Febry Silaban, seorang Munsyi atau ahli bahasa, mengatakan, kata “guru” berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari dua suku kata, yakni gu yang berarti kegelapan dan ru yang berarti cahaya atau terang. Sangat menarik, ternyata kata “guru” tersusun dari dua suku kata yang bermakna berlawanan, yaitu gelap dan terang.

Secara harfiah, guru dipandang sebagai orang yang “menghalau kegelapan ketidaktahuan”. Guru adalah orang yang menunjukkan “cahaya terang” atau pengetahuan dan memusnahkan kebodohan atau kegelapan.

Sebagian menantu Guru Alo adalah guru. (Foto: Vera)

Adalah Aloysius Bulu Malo atau Guru Alo, seorang remaja pada tahun 1950-an di Sumba (tepatnya di Kalembuweri, Wewewa Barat, Sumba Barat Daya). Melalui pendampingan misionaris Eropa ketika itu, memilih pekerjaan menjadi guru. Oleh karena pendampingan para misionaris itu pula, Guru Alo bisa melihat terang dan bisa memandang dunia dengan lebih luas.

Merasa gembira bisa melihat terang  itu, Alo ingin agar sesama terdekatnya, teman-teman sekampungnya juga melihat terang. Dia pun dengan gembira menerima ajakan untuk menjadi guru di kampung. Pada masa itu, para misonaris Eropa merekrut guru dengan cara yang sangat sederhana. Mereka yang sedikit menonjol di sekolah ditawari menjadi guru lalu dikasih pendampingan lebih. Usia mereka pun masih sangat muda: belasan tahun.

Sebagian kecil cucu Guru Alo (alm) bersama Nenek Mereka Theresia Bela (86 tahun). (Foto: Vera)

Alo dan teman-temannya yang terpilih ketika itu bahagia luar biasa ketika kemudian bisa membawa orang-orang sekampung keluar dari kegepalan.

Perlahan tapi pasti, Alo kian mencintai pekerjaannya yang ternyata sangat dihargai di tengah-tengah masyarakat. Bahkan oleh masyarakat, dalam arti tertentu, Alo dan kawan-kawan dianggap tahu segala hal baik untuk urusan sekolah, adat, gereja, pertanahan, hukum, perkawinan dan sebagainya. Istilahnya all round.

Dengan keadaan atau kepercayaan semacam ini, Alo dan teman-teman berimprovisasi secara cerdas dan bijaksana sehingga tidak mengecewakan. Tentu saja mereka harus banyak mendengar dan belajar dari orang-orang lain.

Sekali lagi, Alo merasa bisa melihat terang karena jasa para misionaris Eropa. Sebagai “balas jasa” atau “balas berkat”, ketika memiliki anak-anak, Guru Alo mendorong mereka untuk menjadi guru. Kata-kata andalannya: “Masih banyak saudara-saudara kita yang belum lihat terang, jadilah guru untuk membawa terang bagi mereka. Bawa mereka menjemput terang.”

Dan benar, enam orang dari sepuluh anaknya menjadi guru. Sebenarnya, tujuh orang, tapi yang satu, yakni Leonardus Dapa Loka, oleh Pemerintah dipindahkan ke Dinas Pariwisata. Mereka yang menjadi guru adalah Maria Ege, Agust Dapa Loka, Sesilia Dapa Kambu, Petrus Umbu, Bernadethe Rengga Rame dan Agnes Ege.

Dari pengakuan anak-anaknya, mereka mau menjadi guru selain karena nasihat ayah mereka, juga karena melihat sang ayah sangat mencintai pekerjaannya di tengah berbagai keterbatasan. Ayah mereka juga tanpa kenal lelah meyakinkan masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka.

Yang menarik, pasangan hidup sebagian anak-anaknya juga memiliki profesi sebagai guru. Mereka adalah Petrus Tamo Ama, Alex Bili, Maria Gadi Rara, Korlina Koni dan Asterius Bulu Damma. Beberapa cucunya, yakni Marcel Dapa Loka, Monica Pora dan Felicitas pernah dan masih menjadi guru. Dengan demikian, dari keluarga Guru Alo, empat belas orang menjadi guru.  Semoga dunia semakin melihat terang. (tD)

Simak juga liputan LAPIERO TV tentang Keluarga Guru Alohttps://youtu.be/bb2oLhD5MTk

Related Post