Sat. Jul 27th, 2024
Celestino Reda
Timnas Indonesia, anak-anak muda-masa depan sepak bola.

Oleh Celestino Reda, Pencinta sepak bola Indonesia

TEMPUSDEI.ID (1/1/22)-Sehari setelah Indonesia kalah 0-4 dari Thailand, di Tiktok saya menyaksikan bagaimana pemain-pemain muda Indonesia menangis. Tak berdaya! Mereka menangis bukanya hanya karena kalah telak dari Thailand, tetapi juga merasa gagal memenuhi harapan rakyat Indonesia.

Entah mengapa, saya pun larut dalam kesedihan mereka. Tak terasa, air mata pun menitik di pipi. Menyaksikan Garuda Muda bertarung habis-habisan di lapangan dan kalah segalanya, seolah sendi di setiap jengkal tubuh saya ngilu. Saya marah dan mengumpat-ngumpat ketika pemian Indonesia salah oper bola sehingga begitu mudah direbut Thailand. Saya marah ketika permainan baru dimulai dua menit, Indonesia sudah kebobolan. Huhhh…. Pikiran dan perasaan saya kacau. Saya bermimpi Indonesia menang, atau setidaknya imbang. Tapi nyatanya, kita kalah dan kalah telak pula. Huhhh….!

Tapi entah mengapa, sehari setelah melihat tangisan di Tiktok itu, rasa marah saya berubah menjadi rasa kagum dan hormat pada Garuda Muda kita. Tangisan yang mereka tunjukkan, khas anak muda yang masih polos, tak ada kepentingan lain selain memenangkan Indonesia dan membuat seluruh bangsa ini bangga. Mereka sungguh-sungguh menangis karena belum bisa memberikan yang terbaik.

Sejurus kemudian, saya jadi teringat ketika Bambang Pamungkas, Markus Horizon, Irfan Bachdim Cs, gilang gemilang melangkah ke Final piala AFF 2010. Sebelumnya, Indonesia mampu melumat Malaysia 5-1 dan Laos 6-0 di babak penyisihan, tapi kalah mengenaskan dari Malaysia di babak Final.

Di leg pertama yang berlangsung di Bukut Jalil, Malaysia, Indonesia menyerah 0-3 dari Malaysia. Di Leg kedua, Indonesia menang 2-1, tapi kalah agregat gol 2-4.

Saat itu santer isu, telah terjadi penyuapan terhadap sejumlah pemain Indonesia yang dilakukan oleh para mafia judi bola. Isu ini sendiri tidak pernah dibuktikan kebenarannya. Tapi maraknya orang-orang yang bersaksi tentang penyuapan itu, tentu tidak bisa dianggap sepele juga. Hal inilah yang kemudian menyebabkan terjadinya pergolakan di tubuh PSSI sampai terjadi dualisme kepemimpinan saat itu. PSSI yang satu dipimpin oleh Djohar Arifin, sementara di pihak yang lain dipimpin oleh Lanyalla Mataliti. Akibat dualisme kepemimpinan ini, PSSI dibekukan oleh FIFA. Akibat lebih lanjut, Indonesia tidak boleh mengikuti pertandingan-pertandingan Internasional.

Lalu dari Channel Youtube Sport77 Official kita mendengarkan kesaksian Rocky Putiray, pemain Timnas Indonesia yang namanya berkibar di era 1990, tentang bagaimana Timnas Indonesia yang berlaga luar biasa di Sea Games 1997, harus memilih kalah dari Thailand karena 80 persen pemain Timnas menggunakan dopping. Kita tidak tahu bagaimana ini terjadi, tapi begitulah kesaksian Rocky Putiray.

Di pertandingan AFF 2020 ini, isu suap dan isu dopping masa sekali kita tidak dengar terjadi dalam Timnas Indonesia. Mungkin dalam suasana pandemi covid sehingga hal buruk semacam itu tidak terjadi. Tapi apa pun itu, nyatanya Timnas Indonesia yang kali ini tembus sampai final, sama sekali tidak diterpa oleh isu suap maupun dopping.

Pada sisi inilah, saya melihat Timnas kita yang terdiri dari Garuda Muda, telah menang secara moral. Mereka mampu bermain bersih sampai akhirnya tembus pada babak final piala AFF 2020. No suap, no dopping. Sesuatu yang sudah seharusnya membuat kita bangga.

Semoga mental tanpa suap dan dopping ini terus ada dalam sanubari setiap pemain Timnas Indonesia sampai suatu waktu kita menyaksikan Timnas kita mengangkat piala kemenangan, seperti negara-negara lainnya.

Apa Kabar Leg II

Lalu bagaimana dengan Leg kedua yang berlangsung 1 Januari 2022? Di atas kertas, sudah tentu Timnas Indonesia sulit membalas kekalahannya di Leg pertama. Tapi saya mau percaya kepada perkataan pelatih kita, Shin Tae-Yong, bahwa bola itu bundar. Segala kemungkinan masih bisa terjadi.

Kita boleh bercermin pada Malaysia yang kalah 1-5 dari Indonesia di babak penyisihan pada AFF beberapa tahun silam, akhirnya bisa mengalahkan Indonesia di laga final dengan skor telak 0-3, atau Liverpool yang mampu memenangi final Liga Champion padahal pada babak pertama mereka sudah kebobolan 0-3 dari AC Milan, membuktikan bahwa bola itu bundar. Segalanya masih mungkin terjadi.

Kita berharap, semangat pantang menyerah yang ditunjukkan Garuda Muda kita ketika berhadapan dengan Vietman dan Singapura, tidak pernah padam. Kekalahan di Leg pertama, justru mereka pakai sebagai cambuk untuk membantai Thailand di Leg kedua.

Jadi, jangan tinggalkan layar TV anda pada leg kedua. Mari kita saksikan Timnas kita bermain yang bagai singa terluka.

 

 

Related Post