Sat. Jul 27th, 2024
Umbu Landu Paranggai dan salah satu muridnya Emha Ainun Nadjib. (Foto: ist)

Dr. Yoseph Yapi TaumDosen Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Malioboro yang kini dikenal sebagai jantung kota Jogja dan kawasan wisata belanja terkemuka, di pengujung tahun 1960-an sampai 70-an, menyimpan kisah menarik. Di ujung utara Malioboro, ada kantor Mingguan Pelopor Jogya. Di kantor itu berkembang  kelompok sastra yang disebut Persada Studi Klub (PSK). PSK digawangi seorang penyair kelahiran Sumba, NTT, Umbu Landu Paranggi, yang kemudian ditahbiskan sebagai “Presiden Malioboro.”  Anggotanya adalah Ragil Suwarna Pragolapati, para penyair, dan calon penyair.

Umbu Landu Paranggi adalah sosok yang sedemikian dihormati di kawasan Malioboro dan sekitarnya. Bahkan di Jogjakarta, konon,  tak ada yang tak mengenal sosok yang dianggap raja kawasan Malioboro itu. Apa yang membuatnya begitu heroik dan menjadi sumber oase bagi sastrawan, penulis, tukang becak, sampai pelacur di seputaran Malioboro?

Ia selalu mengajari orang menulis sastra, membimbing mereka dalam Persada Studi Klub. Ia memperhatikan pertumbuhan puisi, menjaga, dan menumbuhkan sastrawan baru yang kini menjadi sangat terkenal seperti Emha Ainun Najib, Linus Suryadi, Ashadi Siregar, Saur Hutabarat, Arwan Tuti Artha, Korrie Layun Rampan, sampai musisi Ebiet G Ade.

Emha menyebutnya Ustad Umbu, karena integritasnya kepada lingkungan dan sastra, juga sangat peduli dengan orang-orang kecil. Ebiet G. Ade menyebut Umbu sebagai guru, inspirator, dan pembimbingnya.

Konon sosok berambut gondrong itu memiliki garis wajah yang keras seperti kuda Sumba. Tetapi Umbu adalah orang yang lembut dan rendah hati.  Umar Kayam, begitu pulang dari Amerika, terkaget-kaget melihat betapa halusnya tutur-kata Umbu. Padahal Umbu bukan orang Jawa. Ia berasal dari tanah Sumba, NTT.

Uniknya, Umbu tak pernah mau tulisannya diterbitkan. Ia hanya mendorong murid-muridnya maju dan menjadi sastrawan kelas atas. Ia cukup bangga sebagai begawan yang memperhatikan dari jauh.

Umbu Menghilang

Akhir tahun 1970-an, Umbu Landu Paranggi tiba-tiba menghilang. Alasannya ia hendak menengok padang sabana di kampung halamannya, Sumba. Seketika Jogja kehilangan denyut nadi kehidupan sastra yang sedang bergairah. Ia kemudian diketahui berada di Bali dan membina sastrawan muda di sana. Dari Bali, ia menulis sebuah puisi, “Percakapan Selat”, yang mungkin mengungkap kemisteriusannya.

//Pantai berkabut di sini, makin berkisah dalam tatapan/Sepi yang selalu dingin gumam terbantun di buritan/Juluran lidah ombak di bawah kerjap mata, menggoda/Di mana-mana, di mana-mana menghadang cakrawala//Pusaran angin di atas geladak, bersabung menderu/Di mana-mana, di mana-mana mengepung dendam rindu/Menggaris batas jaga dan mimpikah cakrawala itu/Mengarungi perjalanan rahasia cintakah penumpang itu//.

Ia, yang pernah menjadi icon Yogyakarta, punya rahasia yang dijaganya dengan baik. Ia yang pernah menjadi stimulus dan inspirasi bagi Yogyakarta dan Indonesia ibarat penumpang perahu yang memiliki hati yang penuh cinta dan dendam rindu. Bukankah cinta memerdekakan?  Sebagai pengajar, kita bisa mencontoh Umbu. Menjadi mata air bagi anak didik, tanpa dibatasi sekat budaya, agama dan manusia. Sebagai warga negara, kita bisa menjadi penggerak dan inspirator bagi orang lain untuk berbuat kebaikan dan kemajuan, tanpa memandang suku, agama, ras, dan golongannya.*

Related Post

One thought on “Malioboro dan Umbu”

Leave a Reply