Memotret Masa Depan Kehidupan Bersama Virus

Oleh Samsi Darmawan

TEMPUSDEI.ID (12 AGUSTUS 2021)

Sudah 20 bulan berlangsung penjajahan Covid-19 terhadap kehidupan manusia di bumi ini. Dan penjajahan yang sama masih akan terus berlangsung, entah sampai kapan. Di tengah kepungan virus tersebut sudah ada negara yang mulai berpikir bahwa Covid-19 akan menjadi endemik, dan karenanya bersiasat untuk hidup berdampingan dengannya. Lalu, bagaimana protokol kehidupan sosial ketika itu? Mungkin ada baiknya kita mulai membayangkan dan hayati perubahan budaya pasca Covid-19 menjadi endemik.

Virus Covid-19 ini merevolusi kehidupan kita, dan kita harus siap untuk itu. Suka atau tidak suka, perubahan budaya, etika dan tata cara sosial “diatur” oleh virus. Jadi bayangkan jika kita akan menghadapi fenomena yang “Makin menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh”, dan dunia semakin sepi dalam kehidupan nyata tetapi ramai pada kehidupan virtual (maya). Bertepatan dengan itu juga perkembangan dunia internet ke arah 5G yang kecepatan komunikasi datanya 100 kali lebih cepat dari 4G, membuat kita semakin meng-amin-kan situasi dan kondisi tersebut.

Keseharian Belanja

Mari kita bayangkan hidup keseharian kita yang ingin belanja, keluar harus mengenakan masker dan selalu membawa cairan disinfektan. Tidak bisa lagi senda gurau atau saling menyapa jika bertemu kenalan, paling hanya saling angkat tangan karena senyum tertutup masker, tidak dianjurkan jabat tangan atau bersetuhan fisik. Cipika-cipiki adalah hal yang sangat dihindari. Tiba di lokasi belanja kita dihadapkan check suhu dan sensor virus, lalu untuk masuk ke dalam harus scan QR Code (Quick Response Code) melalui Handphone, lalu di dalam tidak ada orang atau pelayan, semua menggunakan simbol dan sensor serta petunjuk digital lainnya, mulai dari memilah – memilih dan membeli, QR Code barang-barang dipindai satu persatu pada tempat yang ditentukan lalu membayar total belanja dengan uang digital yang ada pada Handphone hingga membungkus dan memasukkan ke dalam kantung belanja sendiri, tidak ada kantung plastik maupun kertas struk belanja, semua serba digital.

Semua aktifitas tanpa berhubungan fisik dengan orang, untuk komunikasi atau mendapatkan informasi melalui mesin artau robot digital, kira-kira seperti “Google talk”. Saat pulang kita naik taxi otonom, tinggal order via aplikasi dan mobil tanpa supir pun datang untuk mengantar kita sesuai titik koordinat tujuan.

Tiba di rumah, jika ada yang terlupa, bisa order online dan setelah transaksi, barang akan dikirim melalui drone udara yang akan menaruh pada titik koordinat yang kita tentukan, sehingga tugas kurir pengantar barang makin terbatas pada barang-barang yang besar saja. Namun begitu tubuh terdeteksi virus, maka sistem akan melakukan blokade aktivitas anda, peringatan dan penolakan untuk akses ke lokasi lokasi tertentu akan dilarang, demikian pula hubungan fisik dengan orang lain, karena alarm virus pada handphone orang lain yang berbunyi saat anda mendekat.

Penggemar Agama Menurun

Umat beragama harus melakukan ibadat sendiri atau sekeluarga dari rumah, mengatur posisi dan dekorasi seolah-olah di dalam rumah ibadat dan kemudian menyatukan dengan link ibadat yang sedang dilakukan, di hadapan kita seolah-olah hadir pemimpin agama secara virtual dalam bentuk hologram 4 dimensi. Dalam hal ini tidak lagi dibutuhkan gedung fisik atau ruang doa yang khusus, sehingga perlu hati-hati untuk semua agama yang makin lama akan tergerus oleh tantangan lain yang lebih menarik. Bisa jadi, agama semakin tidak menarik dan ditinggal oleh umat. Kondisi keuangan pun akan memprihatinkan, karena akan lebih banyak umat membeli kebutuhan digital daripada menyumbang kegiatan agama.

Demikian pula halnya aktifitas kerja yang lebih banyak bertemu secara virtual, kehadiran orang-orang hanya berbentuk hologram tanpa dibatasi oleh waktu, tempat dan  batas negara.

Sebagai contoh, saat ini saja, anak saya  memiliki staf kerja di negara lain dan karyawan di beberapa kota. Walaupun dia belum pernah bertemu secara fisik, apalagi ke lokasi kota/negara karyawan tersebut, semua dibayar atas hasil kerja, disiplin dan keahlian. Hal ini merupakan tantangan tersendiri bagi pemalas, pembual, penjilat atau pembohong pasti susah mendapat tempat.

Urusan keuangan sudah demikian mudah dan tidak perlu lagi antri di ATM atau Bank, semua dapat dilakukan melalui handphone atau komputer dengan mudahnya dalam berbagai mata uang. Demikian juga urusan check-up penyakit, kita cukup pergi ke ruangan medis terdekat dan setelah pemindai QR Code kita, lalu tubuh kita akan dipindai secara digital dan konsultasi dokter pun dilakukan secara virtual, mungkin bertemu dokter adalah hal yang langka, karena saat ini teknologi 5G sudah berhasil memenuhi kebutuhan dokter melakukan operasi kepada pasien yang berjarak 3500 KM. Setelah urusan dokter, uang digital kita langsung berkurang, kita pulang dengan mobil otonom dan obat secara otomatis dikirim melalui drone kelokasi kita.

Dalam hal masa depan, internet adalah nadi kehidupan sosial dan komputer atau Handphone adalah teman yang tidak terpisahkan. Kalau ingin jalan-jalan ke negara lain, cukup buka komputer lalu menggunakan kacamata Virtual reality (VR) 4 Dimensi, kita sudah hadir di negara tersebut untuk merasakan salju, naik mobil bersafari di Afrika, melihat aurora atau berfoto di sisi menara Eiffel. Demikian juga jika ingin pesta, dugem atau clubing cukup menggunakan komputer dan kacamata VR. Dengan “kenyataan” ini,  dapat dipastikan siaran televisi dan radio akan hilang karena setiap orang bisa membuat kanal sendiri, konten sendiri dan adu kreatif menjadi tantangan.

Lalu pekerjaan apa yang tetap ada, jika semua otomatis dilakukan oleh mesin dan sistem komputer?

Tentu masih ada, tetapi sangat terbatas seperti petugas keamanan, baik itu keamanan dunia nyata maupun IT Security bahkan kebutuhan itu akan sangat banyak, kemudian tukang servis, administratur setiap pekerjaan, Quality Control, peneliti, penulis dan hal-hal yang berhubungan dengan kreatifitas. Untuk itu, bersiaplah untuk menyambut habitus baru pasca endemik Covid-19 yang sudah merevolusi kehidupan kita.

Semoga saja ini hanyalah halusinasi saya dalam memandang masa depan. Akan berbahaya sekali jika semua serba virtual, digital dan kita dipaksa hidup dengan kode-kode elektronik. Virus ini telah membuat kita saling menghindari kontak fisik.

Yang perlu dikhawatirkan adalah angka kematian dan kelahiran berbanding terbalik karena semakin sulit hubungan fisik mengakibatkan aktifitas sex pun mengalami revolusi, sehingga kiamatpun terjadi karena tidak ada lagi kelahiran.

Leave a Reply