Thu. Oct 10th, 2024
Balqis Nabila Zahra

TEMPUSDEI.ID (25 APRIL 202)

Balqis Nabila Zahra, Mahasiswi Fakultas Sastra Indonesia, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Seingatku, kebiasaan baru ini terjadi sejak empat bulan yang lalu. Tepatnya, dua minggu setelah pemerintah kota melegalkan Gunung Tatar sebagai destinasi pendakian. Suamiku, Sarno, menjadi begitu gandrung dengan petikan gitar dan semir rambut. Aku juga tidak tahu dari mana ia dapatkan semir rambut berwarna jengger ayam jago itu.

Ah, tentulah dari para bule yang kerap keluar masuk desaku. Aku tidak begitu peduli dengan setiap perubahan laku atas tubuh dan hidupnya. Toh, aku tetap menjadi istrinya bukan karena rasa cinta. Melainkan sebab Kidung, Putriku, dan keluarga besar. Satu lagi. Mulut berisik para tetangga.

Suatu pagi, aku membangunkan Kidung dan suamiku, aku meminta Kidung memapah Mbah Buyutnya ke belakang rumah, tepatnya di bawah pohon asem yang usianya sudah 90 tahun. Tempat kami sekeluarga memohon berkah kepada Gusti Kang Karya Jagad. Kusuruh Sarno memetik bengle dan dlingo untuk melengkapi sesajen bebono yang tengah kusiapkan.

“Pak, Tulung petna bengle karo dlingo kae neng perek blumbang”[1]

Wong zaman sudah maju, kok masih saja percaya sama takhayul. Kemarin Bapak antar Mbak Katrin ke Gereja di kota. Uwislah Bu, pindah agama saja. Kamu kok kolot banget jadi orang”

“Lho, Pak. Kie jenenge wujud bektine [2] kita ke alam lain, alam semesta, Pak. Yang memberi kita pengasihan, memberi rezeki sehingga sawah kita subur, ikan-ikan di blumbang ndak kurang air. Bisa makan, dan jualan ke pasar setiap hari. Aja kelalen karo sing aweh rejeki, Pak. Eling.. eling..[3]”

Bebeh! Nyong arep turu.”[4]

Setelah kejadian pagi itu, Sarno menjadi semakin menjengkelkan. Ia selalu melarang Kidung menemaniku sembahyang di pagi dan sore hari. Hingga suatu hari aku memergoki Sarno tengah menghardik Kidung dan mengatainya sebagai seorang anak yang bodoh. Kidung memang tidak lancar membaca, tapi setidaknya ia tahu cara mematun sawah. Kidung memang tidak bisa mengerjakan soal Matematika dengan baik, namun ia tahu kapan waktu yang tepat untuk menyemai benih, meleb-leb [5] sawah, menyambung saluran air yang jebol, dan membantu kambing bersalin. Kidung memang tidak paham bahasa Inggris, namun ia bisa menyanyikan dandang gula dengan sangat merdu. Kidung memang tidak pintar, tapi ia tahu bagaimana cara merawat alam semesta.

“lho, Pak. Buat apa itu semua kalau ujungnya cuma buat minteri orang? Aja micek [6], Pak. Kidung dan aku memang kolot, tapi kami tahu kalau semua hal yang kami pelajari itu berguna untuk manusia dan alam. Aja dumeh [7], Pak.”

“Oalah, nggak Ibunya, nggak anaknya. Sama saja. Dikasih tahu kok ngeyel. Kalian nggak lihat bule-bule itu? Bahasanya apa? Inggris kan? Akhirnya mereka bisa ke mana-mana. Luar negeri, Bu!”

“Sudah, Bu-Pak. Jangan berantem terus. Besok Kidung ke basecamp, minta belajar sama Mister Thomas itu. Sudah-sudah.”

***

Kini aku harus mendekam di penjara, aku tidak peduli. Yang aku tahu, selamanya sakit yang aku dapatkan tidak pernah cukup dibalas dengan uang atau nyawa. Gadis semata wayangku mati, ia hanyut dibawa arus Kali Benjaran. Ditemukan keesokan harinya setelah semalaman suntuk aku geger mencarinya di sekeliling desa dan hutan. Ia mati. Arus kali mengantarnya ke belakang rumah, tepat di depan pohon asem tempat kami bersembahyang. Tubuhnya lebam dan bengkak. Bekas gebukkan di sana-sini, cakaran di sekujur tubuhnya, wajahnya hancur oleh bekas tempelengan. Dan yang paling menyakitkan, vaginanya koyak, hancur, sebilah bambu menancap di dalamnya. Sungguh bangsat yang paling bangsatlah orang yang melakukan ini. Ah, aku jijik menyebutnya sebagai orang. Bangsat gudik! Ya, ia bangsat gudik yang telah membunuhku ketika kudapatkan tubuh Kidung di tepi sungai pagi itu.

“Gusti, Pangeran! Anakku Kidung. Dosa apa yang keluarga kami lakukan sehingga ganjaran seperti ini yang kami terima.” Jantungku melesat dan pecah menubruk batu-batuan kali ketika kutemukan anakku.

Kuraih tubuhnya dan menggendongnya ke rumah. Sesampainya di rumah kupandangi tubuhnya. Ia gadis ayu yang sangat aku cintai. Alasanku memilih hidup ketimbang mati. Sungguh jahanam mana yang berani melakukan ini. Sarno datang dan tertegun memandangi tubuh yang kaku di depannya. Ia berteriak dan kesetanan. Seketika aku ingat, terakhir Kidung meninggalkan rumah, ia berpamitan untuk belajar Bahasa Inggris di basecamp, bersama Mister Thomas, di antar oleh Sarno.

Kugojlok tubuhnya, kuteriaki ia sebisaku. “Siapa yang melakukannya, Pak? Kapan kamu terakhir melihat dia?” Aku histeris, dan Sarno jatuh lemas di depan tubuh Kidung.

“Bule Asu!” hanya itu yang aku dengar dari mulutnya.

Aku menjadi kalap, jiwaku penuh amarah dan rasa sakit. Aku tidak pernah bisa mengungkapkan bagaimana sakit dan hancurnya hatiku saat itu. Kuambil sebilah golok dari dapur. Dengan perasaan yang dingin, kupenclas kepala Sarno dari belakang. Segera kuberlari menuju basecamp. Dari jauh aku melihat Bangsat Gudik itu tengah menyeruput kopinya. Ia menatapku dengan penuh ngeri, aku dapat merasakannya, ia ketakutan karena bersalah. Dari jarak setengah meter kutanyai ia.

“Kau apakan putriku?”

No. Bukan aku, bukan.”

Aku tidak tahan mendengar suaranya, tanganku mengambil golok yang kuselipkan di jarikku. Kutancapkan golok itu di lehernya. Darah mengalir. Aku menangis histeris, membangunkan seisi basecamp. Mereka mendapatkanku dengan pembunuhan yang kulakukan.

——————————–

[1] Dari bahasa Jawa Ngoko Banyumasan: “Pak, tolong petikkan bengle dan dlingo di dekat kolam ikan.”
[2] “Ini namanya perwujudan bakti”
[3] “Jangan lupa dengan yang memberi rezeki, Pak. Ingat.. ingat..”
[4] “Malas! Aku mau tidur.”
[5] Mengairi sawah
[6] “… Jangan membuta.”
[7] “… jangan mentang-mentang..”

Related Post

Leave a Reply