Sat. Jul 27th, 2024

Enam Puisi Yoseph Yapi Taum Bertema Tragedi 1965

Yoseph Yapi Taum

TEMPUSDEI.ID (29 MARET 2021)

Setangkai mawar putih

BALLADA MAWAR PUTIH

Kelasi itu datang dari kegelapan malam
di saat kapal hendak karam
di antara dua karang terjal terpendam.
Nahkoda ditahan lalu dibunuh dengan kejam.
Bahaya mengintai kapal rapuh
dalam gelisah samudra bergemuruh.

Ke arah empat penjuru mata angin,
dihembuskannya dusta beracun.
Cakrawala pun menahan nafas,
kerna kelasi menantang langit.

Ombak itu sia-sia menerpa karang.
Kelasi pun menjadi nahkoda,
saat malam mendengkur
dan bahaya mengintai di kesunyian.

Amboy! Bagai nabi,
samudra diteduhkan
belenggu diuraikan,
yang tua dan muda bertempik sorak,
“Pahlawan baru telah lahir,
di kelam malam tanpa bintang.
Dia lahir dari rahim
seorang wanita yang putus asa
untuk menegakkan hasrat laki-laki!”

Mawar-mawar semesta dipasanginya duri.
Tak boleh lagi ada liukan tarian harum bunga
dan nyanyian genjer-genjer di seantero jagat ini.
Inilah sabda sakti sang nakhoda.

Ketika fajar 1 Oktober 1965,
berlakulah hukum alam baru,
“kehormatan dan kehinaan
tergantung pada keturunan
kerna jika kau keturunan PKI
maka tidak ada matahari bagimu!”

Musim kemarau terasa sangat panjang.
Namun hari terpanjang adalah 27 Mei 1998.
Kembang-kembang mawar putih
menghiasi genit langit malam
menggoda kejantanan bumi
Nahkoda tua memuncak birahinya.
Tak tertahankan, di geladak kapal,
kembang-kembang mawar putih terkulai
dengan puting dan kelopak terbantun.
“kehormatan dan kehinaan
tergantung pada keturunan
kerna jika kau keturunan bangsa selir,
maka aku berhak atas puting dan kelopakmu!”

Di puncak birahinya, samudra menampar gelisah.
Nahkoda tua terjungkal di geladak.
Dalam sekarat, gairahnya terus meledek langit.
Ia pun tewas dengan hasrat lelaki sekeras taji.

Sumpah kembang-kembang mawar:
“Dia berhak mendapatkan sejuta tusukan duri,
kerna hanya itulah yang tersisa
dari kembang-kembang mawar.
Dan duri-duri itu menghunjam kejantanannya,
dengan dalam dan liar di alam kuburnya!”

Yogyakarta, 6 Agustus 2012

KAPAL MALAM 1969
: Pramoedya Ananta Toer

Di pelabuhan Sodong, Nusakambangan
ketika hari menjelang petang
mengendap-endap kapal perang tua
KM ADRI XV melengkingkan sirene
berpamitan pada orang yang tak peduli
‘tuk mengawali perjalanan malam menuju timur.
Kapal malam itu berlayar menuju Pulau Buru
tanpa kepastian, kapan ia kembali pulang!

Kelelawar bercicit-cicit mengantarkan kapal perang tua itu.
Ia mengangkut 850 tahanan menuju Proyek Hidup Baru.
Mereka bagai ikan sarden berjejal di dalam kaleng
yang direnggut paksa dari kekasih dan anak-anak mereka
yang ditinggal dalam nestapa yang amat menusuk perasaan.
Kapal malam itu bergegas menuju Pulau Buru
meninggalkan jantung berwarna paling jingga!

Laut yang marah menerjang masuk,
Mengguyur tubuh-tubuh yang lapar dan haus.
Raungan gelombang, angin, dan hujan,
serta serbuan tinja dari kakus kapal perang tua
Menyebarkan terror dan putus asa.
Dan mesin kapal tua itu terus saja batuk-batuk.
Tubuh tawanan meringkuk di dek-dek besi berbau.
Kapal malam itu beringsut menuju Pulau Buru,
Di Jakarta, para pemenang berpesta darah!

Yogyakarta, 6 April 2012

PANTAI NAMLEA
: Hersri Setiawan

Sudah setengah abad berlalu waktu
Pantai Namlea tertegun
menyekap amarah yang tertahan
“Bukan begini menyambut tamu jauh,
kerna leluhur kita pun berkulit sawomatang!”

Ketika kaki-kaki penat kami menapak
bara di Pantai Namlea
Ia menghitung tiap butir air mata kami
yang tumpah dalam kengerian yang mencekam
Ia menakar tumpah darah kami
yang tercurah dari kerak dendam yang pekat
“Atas kesalahan apakah mereka melata
Di pasir panas dan terik membakar ini?”

Ketika bentakan dan tamparan
Menyambut wajah kami di Pantai Namlea,
Terik Namlea mengunyah duka-duka kami
Menciutkan nyali dan mengerdilkan jiwa-jiwa kami
“Oh nyali yang mengurung sukma,
Bebaskan kami sebelum malam!”

Tetapi ketika pagi menjelang di balik bukit
Dan cahaya matahari di titik kulminasi
Getaran doa menyerbu langit
Dari batin-batin kami yang luka
“Oh, sejarah yang congkak,
Tegakkan mercusuar di pantai ini!”

Yogyakarta, 13 Maret 2013

PEREMPUAN BERMATA DENDAM

sebuah truk tengah malam menjemput
suaminya yang selalu gelisah
dan terkepal tangannya setiap kali
nama petani, buruh, dan nelayan disebut:
berkubang dalam kebodohan dan kemiskinan

sebuah truk tengah malam adalah lava
yang membuncah dari Lubang Buaya
menjadi lahar yang menggerakkan
sepasukan hewan yang mabuk darah

perempuan itu terisak di kegelapan
dengan lima anak dalam dekapannya
dan seorang lagi dalam kandungannya

perempuan itu mengangkat dagunya
menggugat langit ketika didengarnya
senapan menyalak dan lelaki menjerit

dalam timangan malam yang resah
rahimnya berdenyut kencang
perempuan itu menatap langit hitam
dan melahirkan anak keenamnya:
seorang perempuan bermata dendam
dan di lehernya ada tanda kematian.

Yogyakarta, 4 April 2013

DI TEPI KALI BRANTAS

Di tepi Kali Brantas, 1966,
bulan sabit berwarna ungu
menggantung di keteduhan pohon-pohon
dan keremangan yang mencekam:
“Ada pasukan mengendap-endap di ladang tebu
di wajah bulan ada dua gurat air mata!”

Di tepi Kali Brantas, 1966,
rumah ibadah berdiri mematung
angin tertahan pada batang-batang kayu
yang hanyut terbawa banjir merah:
“Tuhan tersesat mencari kebenaran
dan maut membayang di wajah suramnya!”

Di tepi Kali Brantas, ladang lebu,
bunga-bunga memudar pesonanya
sepotong kepala terjebak di batang-batang kayu
dan malam menyerigai tak berkedip menatap:
“Sejarah tengah berjalan dengan angkuh
dengan tongkat nabi palsu di tangannya!”

Di tepi Kali Brantas, 1966, Kediri,
Potongan-potongan kepala kami menyerigai
mengikuti arus kali yang penat dan amis
menuruni gelombang sejarah:
“Ingat, anak cucu kami telah mencatatnya!”

Yogyakarta, 19 Maret 2013

TEMBANG GADIS PARI
: Umar Kayam

Gairahku bangkit, kekasihku sayang,
bulir-bulir padi menguning
sapi-sapi di kandang pada bunting
anak-anak nelayan riuh berdendang
para buruh riang bersenandung

Peluklah aku, kekasihku sayang,
ranting-ranting pohon lebat berbuah
angsa dua sejoli berkejaran di sawah
di langit angin bercanda dengan hujan
dan burung-burung menarikan awan

Tutuplah pintunya, kekasihku sayang.
Waktunya kita bercinta lagi.
Mainkan aku, kekasihku sayang,
mainkan bagiku serulingmu lirih
biar tenggelam aku dalam mimpi
seirama gelombang padi di sawah

Harimurti: mengapa tarian serulingmu
sesumbang harmonika Kentus memainkan
Nasakom Bersatu?
Tidakkah kau sambut senja temaram ini
dengan nyanyian asmara, seperti
ketika kita bergumul di pematang sawah
mencari gerak irama yang mendesah?

Harimurti: kutahu malam akan segera datang.
Kunang-kunang pematang sawah akan berlalu.
Kutahu aku akan sendiri melewati malam,
kerna di jantungmu tak pernah ada pematang sawah.

Yogyakarta, 30 September 2012

Yoseph Yapi Taum yang lahir di Ataili, Lembata, NTT, 16 Desember adalah penyair dan dosen Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma. Dia telah menerbitkan tiga  kumpulan puisi, yakni: Ballada Arakian (2015), Ballada Orang-orang Arfak (2019), dan Kabar dari Kampung (2021). Ballada Arakian banyak menyinggung tragedi 1965, sedangkan Ballada Orang-orang Arfak banyak menyuarakan memoria passionis orang Papua. Keenam puisi di atas diambil dari Antologi Puisi Ballada Arakian.

Related Post

Leave a Reply