Tue. Dec 3rd, 2024

Hasil penelitian Roy Rening mengatakan bahwa Peninjauan Kembali boleh dilakukan berkali-kali.

TEMPUSDEI.ID (14/11) – Pengacara Dr. Stefanus Roy Rening SH MH terpilih sebagai salah satu tokoh dari 17 tokoh yang mendapat penghargaan dari Perkumpulan Wartawan Media Kristiani Indonesia (Perwamki) pada “Malam Cinta Bagi Negeri” bertajuk Berkarya dan Memberi yang Terbaik pada 10/11 di Hotel Aston Bellevue, Jakarta Selatan. Dia dinobatkan sebagai Tokoh Pemikir Hukum. Penghargaan tersebut diberikan dalam rangka HUT ke-17 Perwamki.

Perwamki menilai Roy Rening telah melakukan terobosan baru dalam dunia peradilan Indonesia dengan temuannya bahwa Peninjauan Kembali bisa dilakukan berkali-kali. Terobosan ini merupakan hasil penelitiannya di Belanda untuk merebut gelar doktor dari Universitas Padjajaran Bandung.

Meski perjuangannya belum masuk dalam sistem peradilan Indonesia, Roy sudah meletakkan dasar inspiratif bagi reformasi hukum di Tanah Air dan akan dia perjuangkan.

Keenam belas tokoh lain yang menerima penghargaan atas kontribusi mereka melalui bidang masing-masing adalah Dr. Rahmat Effendi (Tokoh Toleransi), Gus Ruchul Maani  (Tokoh Ormas Non Kristen), Alm. DR (HC) Drs. Jakob Oetama (Tokoh Pers Inspiratif), Sugeng Teguh Santoso, SH (Tokoh Pengawal Hukum), RG Setio Lelono (Tokoh Advokasi Gereja), Handoyo Budhisejati (Tokoh Organisasi Katolik), Djasermen Purba (Tokoh Ormas Kristen), Mayjend. dr. Albertus Budi Sulistyo (Tokoh Kesehatan), J. Irwan Hidayat (Tokoh Jamu Herbal Inspiratif), Sandec Sahetapy (Tokoh Penggerak Budaya), drg. Aloysius Giyai, M.Kes (Tokoh Inovatif Kesehatan),  Tetty Paruntu  (Tokoh Perempuan), Jerry Pattinasarany (Tokoh Inspiratif Muda), James Koleangan (Tokoh Pengusaha Muda), Christie Damayanti (Tokoh Disabilitas Inspiratif), Pdt. Rubin Adi Abraham (Tokoh Sinode).

Selain karena pemikirannya tersebut, Roy mendapatkan penghargaan karena pembelaannya kepada mereka yang kecil dan tak bisa membayar seperti ketika dia membela Fabianus Tibo, Marianus Riwu dan Dominggus da Silva, ketiganya adalah terpidana mati Poso dan telah ditembak mati pada 22 September 2006. Dia juga berhasil membela seorang mantan Pastor Katolik yang dijatuhi hukuman mati karena dituduh membunuh kekasihnya.

Keanomalian Roy

Stefanus Roy Rening dan istri

Suatu dini hari, di sebuah ruang gereja yang sunyi, Roy Rening duduk termenung dalam doa yang diam, persis di ujung waktu eksekusi mati terhadap Fabianus Tibo, Marianus Riwu dan Dominggu da Silva pada 22 September 2006. Dia sebagai Ketua Tim Pengacara bagi Tibo cs, yang aktif datang ke Palu untuk berhadapan langsung dengan penegak hukum di sana.

Roy sudah berjuang dengan semua yang dia bisa, termasuk harus mempertaruhkan jiwa raganya. Ketika itu, ia sedang membela ketiga terpidana mati tersebut. Mereka dituduh pembantai umat Islam di Poso. “Di tengah kegalauan yang mencekam, saya berdoa, membuka komunikasi dengan Tuhan. ‘Tuhan, sebenarnya apa maksud-Mu dengan semua ini? Saya berkeyakinan mereka tidak salah. Atau setidaknya tidak sekejam yang orang tuduhkan kepada mereka sampai harus dihukum mati. Jawab Tuhan dini hari itu, Tibo cs harus mati untuk menjadi martir (pejuang iman) bagi umat Kristen dan bagi keselamatan bangsa ini’,” ujar Roy Rening, pada sebuah senja di kantornya, Law Firm SRR and Partners,  yang beralamat di Lt. 29, Office 88, Kota Casablanka, Jakarta Selatan.

Roy Rening mulai membela kasus Tibo sejak tahun 2006 atau beberapa tahun setelah ada putusan pengadilan. Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marianus Riwu di tangkap aparat keamanan pada Juli dan Agustus 2000. Ketiganya dijerat tuduhan pembunuhan, penganiayaan, dan perusakan di tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Maengko Baru. Pada April 2000, Pengadilan Negeri Palu menjatuhkan vonis hukuman mati kepada mereka bertiga. Hukuman mati ini kembali ditegaskan oleh Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pada Mei 2001.

Sejak dijatuhi hukuman mati tahun 2001 hingga dieksekusi mati pada 22 September 2006, Tibo cs sebanyak dua kali mengajukan Grasi kepada Presiden. Sebelumnya sebanyak dua kali mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung dan semuanya ditolak.

Di antara permohonan Peninjauan Kembali (PK) dan Grasi itulah Roy Rening hadir dan terlibat membela Tibo cs. Ia menggunakan semua kemampuan dan jaringan yang dimilikinya. Mulai dari kemampuan ilmu hukumnya, lobby pada tokoh-tokoh keamanan maupun aparat pemerintah, hingga meminta perhatian Gereja Katolik dan Paus Benedictus XVI di Roma. Semua upaya itu boleh dibilang cukup berhasil karena eksekusi terhadap Tibo cs sempat ditunda beberapa kali. Ketika itu, aksi demontrasi masyarakat Indonesia Timur di Jakarta yang menolak eksekusi terhadap Tibo Cs, juga marak terjadi.

Namun akhirnya, rencana Tuhanlah yang terjadi atas segala usaha manusia. Dan di ujung hari itu, Roy Rening “mendengar” suara Tuhan: Tibo cs mati menjadi “martir” bagi gereja dan Indonesia.

Bisa dibilang semua upaya dan perjuangan selama menjadi Ketua Tim Hukum membela Tibo cs  akan terus menjadi spirit dan pengalaman rohani tak terlupakan bagi seorang Roy Rening.

Dalam perjalanan waktu, di kesempatan yang lain, ia juga terpanggil untuk membela seorang mantan pastor Katolik yang juga divonis hukuman mati karena dituduh melakukan pembunuhan berencana terhadap wanita pujaannya. Peristiwa ini terjadi di Flores, NTT, yang menjadi salah satu epicentrum Gereja Katolik di Indonesia. Betapa tidak dikatakan begitu?

Saat ini Flores diyakini sebagai satu-satunya wilayah di dunia yang banyak melahirkan rohaniwan/wati Katolik. Menjadi misionaris, dikirim mengabdi pada karya pelayanan gereja Katolik di berbagai negara di seluruh dunia. Karena itulah, peristiwa terbunuhnya seorang wanita yang dilakukan oleh seorang mantan pastor, sungguh memukul Gereja Katolik di Flores.

Demi menegakkan moral dan keadilan, para pastor dan tokoh-tokoh masyarakat di Flores terus mendorong dan mendukung pengadilan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada mantan pastor tersebut. Pengadilan akhirnya memvonisnya hukuman mati.

Hal berbeda justeru muncul dalam benak Roy Rening. Sebagai seorang lawyer, dia  mengaku terkejut. Ia tidak percaya ada seorang pastor (mantan pastor) di Flores yang tega membunuh, apalagi itu kekasihnya sendiri, meski Roy sendiri tidak setuju dengan tindakan mantan pastor tersebut yang menjalin hubungan terlarang dengan perempuan.

Dari Jakarta dia ke Flores. Menggunakan uang pribadinya. Hanya dengan satu keyakinan, seorang pastor dan/atau mantan pastor tidak mungkin membunuh manusia, sesamanya. Ia juga tak ingin reputasi Gereja Katolik dihancurkan dengan peristiwa seperti ini.

Di Flores ia mempelajari berkas perkara. Dan Roy mengaku melonjak kegirangan sesudahnya. Dia menemukan yang tak lazim dalam proses hukum, yaitu tak ada hasil visum yang menerangkan bagaimana si mantan pastor itu membunuh kekasihnya. Di penjara, Roy mendapat keterangan dari si terpidana bahwa ia pernah pergi membeli jarum dan alat infus untuk menolong wanita tersebut yang kebetulan pula seorang perawat. Janggalnya, jarum dan alat infus itu sengaja tidak dihadirkan jaksa di persidangan. “Ama, engkau selamat dari hukuman mati,” ujar Roy memberi keyakinan pada si terpidana mati itu. Dan benar, si mantan pastor itu akhirnya terbebas dari hukuman mati karena pembelaan seorang Roy Rening dari meja pengadilan.

Hakim bersepakat bahwa jarum dan alat infus tersebut merupakan indikasi bahwa terhukum ingin menyelamat nyawa bukan membunuh. Ketiadaan hasil visum, juga menguatkan keyakinan hakim untuk membebaskan si terhukum dari hukuman mati. Kali ini Roy Rening menang dalam perjuangan menegaskan hukum dan keadilan sesuai keyakinannya.

Fase selanjutnya, di luar ruang pengadilan, Roy Rening, terus melangkah. Ia menyelesaikan studi doktoral hukumnya di Universitas Padjajaran, Bandung. Pada 5 Juli 2019, di hadapan sembilan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung, Stefanus Roy Rening berhasil mempertahankan disertasi Politik Hukum Pidana Peninjauan Kembali dalam Perkara Pidana dan Perlindungan HAM bagi Terpidana di Indonesia. Ia mendapat nilai “Sangat Memuaskan” dari ke sembilan Guru Besar tersebut.

Dalam disertasi ini, Roy Rening menandaskan bahwa Peninjauan Kembali tidak bisa hanya dibatasi dua (2) kali, tetapi bisa berkali-kali selama Novum (bukti baru) tersedia. “Sebab hakim adalah juga manusia. Dengan keterbatasan alat bukti ia bisa melakukan kesalahan. Peninjauan Kembali (PK) dengan Novum membantu pengadilan kita untuk menciptakan keadilan. Di Belanda yang menjadi rujukan hukum Indonesia, sudah lazim melakukan hal ini” tegasnya. (tD)

 

Related Post

Leave a Reply