Sat. Jul 27th, 2024
Pater Kimy

Oleh Pater Kimy R. Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris Provinsi Indonesia

Ada sebuah kisah tentang seorang wanita muda yang stress berat karena dia kehilangan rasa akan Tuhan dalam hidupnya. Dia komplain kepada neneknya yang sudah tua. “Mengapa saya tidak lagi merasakan kehadiran Tuhan dalam hidup saya? Seadainya saya merasakan Dia dan tahu bahwa Dia menyentuh saya”.

Neneknya berkata, “Berdoalah kepada Tuhan sekarang juga. Pejamkan matamu dan berdoalah kepada-Nya. Mintalah agar Dia mengulurkan tangan dan menyentuhmu”.

Percaya akan kata-kata neneknya, wanita ini menutup mata dan berdoa khusuk. Seketika dia merasakan sebuah tangan di kepalanya.

“Dia menyentuh saya, Dia menyentuh saya,” serunya dengan gembira. Tapi kemudian dia berkata, “Tapi saya merasakan sepertinya itu tangan nenek sendiri”.

“Ya benar,” kata neneknya. “Tentu saja itu tanganku. Tapi itulah cara Tuhan bekerja. Dia menggunakan tangan terdekat.

Kita sangat mengenal pertanyaan para ahli taurat kepada Yesus, “Guru, hukum manakah yang terutama dalam Hukum Taurat” (Mat 22,36).

Yesus diminta Ahli Taurat untuk merumuskan Hukum Taurat dalam sebuah kalimat. Ini bukan perkara gampang. Mengapa?

Dalam tradisi Yudaisme zaman Yesus, ada kecenderungan ganda, yakni di satu sisi memperbanyak Hukum Musa dengan ratusan hukum dan aturan, tetapi di sisi lain mempersingkat 613 Hukum Musa dalam satu atau beberapa kalimat.

Jika Yesus salah menjawab Dia bisa dianggap menghina Taurat karena mengabaikan hukum-hukum lainnya.

Orang Farisi mengakui bahwa ada 613 perintah dalam Taurat Musa. 248 bersifat positif – engkau harus melakukan ini – dan 365 bersifat negatif – engkau jangan melakukan ini. Mereka juga percaya bahwa setiap aturan dari 613 hukum ini mempunyai status yang sama. Tidak ada hukum yang lebih tinggi.

Jawaban Yesus sederhana, langsung dan mengutip hukum itu sendiri. Jawabannya sangat tradisional dan sesuai tujuan hukum itu sendiri. Dia mengutip kombinasi kedua hukum. “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap tenagamu”. Ini berasal dari kitab Ulangan 6,5. “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”. Dikutip dari Imamat 19,18.

Menurut-Nya ini adalah esensi dari agama yang sesungguhnya. Kita mengasihi sesama dan diri sendiri sebagai cara untuk mengasihi Allah.

Allah memberi kita sesama untuk mengasihi sehingga dengannya kita belajar mengisihi Allah. Allah berhubungan dengan kita setiap hari melalui sesama kita.

Tanpa kasih terhadap sesama, kasih kita kepada Allah tak lebih dari sekadar perasaan hampa. Dan tanpa kasih kepada Allah, maka kasih kepada sesama hanya kamuflase kasih kepada diri sendiri. (Reginald H. Fuller).

Kedua jenis kasih ini bagaikan dua sisi dari satu mata uang. Yang satu mengandaikan yang lainnya. Kasih bukan sekadar perasaan melainkan tindakan nyata. Kasih bukan kata sifat, tetapi kata kerja.

Namun yang penting direnungkan di sini, siapakah yang disebut sesama? Mereka adalah orang-orang terdekat yang membutuhkan bantuan kita atau yang membantu kita. Kita bisa jadi tangan terdekat yang mau dipakai Tuhan untuk menolong sesama. Atau dia bisa menjadi tangan terdekat yang dipakai Tuhan untuk menolong kita.

Salam hangat dan salam sehat dari  Biara Santo Alfonsus-Konventu Redemptoris Weetebula, Sumba (tanpa Wa)

Related Post

Leave a Reply