Sat. Jul 27th, 2024

Sastrawan Eka Budianta: Jangan Takut! Kalau Puisi Anda Bagus, Pasti Laku

Jakarta (10/10/20), TEMPUSDEI.ID – Jangan pernah takut mengambil keputusan untuk menempatkan puisi sebagai bagian hidup kita. Demikian kata sastrawan Eka Budianta meyakinkan ketika berbicara dalam webinar bertema Penciptaan Puisi, Apresiasi dan Manajemen Pemasyarakatannya. Webinar ini diadakan oleh Universitas Ciputra (UC) pada 10/10/20 dan diikuti oleh mahasiswa ratusan UC dan kalangan umum.

Mengapa Eka begitu yakin dengan pernyataannya? Ya, karena pengalamannya telah membuktikan. Akunya, dia bisa melanglang buana dan menjadi narasumber, penulis, editor, dan lain-lain justru karena ia berani mengambil keputusan menekuni kesukaanya menulis puisi. “Kalau saya tidak menulis puisi tentang rel kereta api yang selalu jalan berdua namun tidak pernah ketemu itu, barangkali saya tidak berbiacara di hadapan anda semua, juga tidak melanglang ke mana-mana,” kata Eka dengan sumringah. Puisinya tersebut dimuat di Majalah Semangat pada tahun 1974.

Ia juga mengaku, pada suatu saat di masa Orba, Pemerintah Orba membeli 80 ribu buah buku puisinya dan mengisi pundi-pundinya secara mencengangkan.

“Lantas, mungkin nggak penyair jadi profesi?” tanya Eka. “Sangat mungkin,” jawabnya sendiri.

Lagi-lagi ia menunjuk contoh, yakni pemenang Nobel Sastra tahun ini yang diumumkan kemarin Louise Elisabeth Gluck. Wanita kelahiran New York, 22 April 1943 itu telah bercita-cita menjadi penyair sejak berumur 5 tahun. Atas hadiah Nobel tersebut, ia berhak atas uang sebesar Rp16,5 miliar.  “Jangan takut! Kalau puisi anda bagus pasti laku. Selalu ada harapan bahwa puisi membawa berkah,” katanya lagi.

Eka juga mengungkapkan kegunaan puisi. “Hasil utama tulis puisi adalah orang mencintai bahasa. Puisi itu adalah alat meningkatkan kualitas hidup, lebih bahagia dan mencintai kehidupan. Ini lebih dari penyair sebagai entrepreneur. Dan bagi saya, puisi adalah modal untuk menulis biografi karena puisi itu peka pada perasaan,” jelas Eka semangat.

Tidak Lepas dari Puisi

Sabana Sumba inspirasi para pujangga

Eka juga menjelaskan bahwa sesungguhnya hidup manusia tidak pernah lepas dari puisi. “Tiada hari hidup kita tanpa puisi. Benar, sebab puisi itu bahasa hati yang bisa kita ucapkan kepada siapa pun,” kata koresponden koran Jepang Yomiuri Shimbun (1984-1986) ini.

Lebih lanjut jelas Eka, untuk menulis puisi diperlukan kepekaan tempat, waktu, peristiwa. Dan menulis puisi merupakan ekspresi hati dan aspirasi. Karena itu, setiap orang yang menulis atau membaca puisi perlu memahami psikologi kata. “Kata yang berakhir dengan huruf u tidak mungkin untuk teriak, atau yang berakhir dengan huruf i untuk suasana sedih. Hindari kata sifat. Jangan meneriaki sepi tapi lukiskan sunyi itu,” jelasnya memberi contoh.

Eka lalu menunjuk contoh saat Rendra menulis puisi Nyanyian Duniawi. Rendra jelas Eka, tidak menggunakan kata “mesra” tapi ia melukiskan kemesraan itu dengan kata-kata: Ketika bulan tidur di kasur tua, gadis itu kucumbu di kebun mangga.

Menjawab pertanyaan peserta tentang yang harus disiapkan jika seseorang ingin menulis puisi, Eka menjelaskan bahwa seseorang harus peka pada kata, tempat, suasana, dan peristiwa. Dan dalam menulis puisi perlu fokus.

Penyair bernama lengkap Christophorus Apolinaris Eka Budianta itu pun mengingatkan agar dalam menulis puisi, penulis tidak menggunakan kata-kata yang hanya enak didengar, tetapi tidak dimengerti artinya oleh yang menulis puisi. (EDL/tD)

Related Post

Leave a Reply