Sat. Jul 27th, 2024

Siapa Bilang Tujuan Pernikahan adalah untuk Kebahagiaan (bagian terakhir dari dua tulisan)

Eleine Magdalena. Foto: dokumen pribadi.

Oleh M.T. Eleine MagdaledaPenulis Buku “Menjadi Kekasih Tuhan dan Kekasih Suami”, sedang menempuh studi doktoral Teologi Katolik di STFT Widya Sasana Malang

Agar Tuhan Makin Dicintai

Sampai di sini, setiap pasangan perlu merumuskan kembali tujuan perkawinannya sebagaimana yang Allah kehendaki. Perkawinan bukan untuk mendapatkan kesenangan yang sementara di dunia ini, melainkan untuk menyempurnakan dan menguduskan kita.

BAGIAN PERTAMA: https://www.tempusdei.id/2020/07/1438/siapa-bilang-tujuan-perkawinan-adalah-mencapai-kebahagiaan-bagian-1-dari-2-tulisan.php

Ketidakpuasan dalam perkawinan sering disebabkan harapan yang salah terhadap pernikahan. Tujuan utama perkawinan bukanlah sarana semakin mencintai dan dicintai pasangan. Tapi pertama-tama agar Tuhan makin dicintai melalui pernikahan kita. Jika cinta kepada Tuhan makin kuat, maka cinta kepada pasangan dan keluarga menjadi makin kuat pula. Tentang ini, kata St. Katarina dari Siena: “Semakin kita mencintai Tuhan, semakin kita dapat mencintai sesama”. Mencintai Tuhan berarti melaksanakan kehendak Tuhan. Kelemahan pasangan bisa kita tanggung jika kita berusaha mencintainya sebagaimana Bapa mengasihi.

Perjuangan Rohani Hingga Akhir

Menikah adalah keputusan yang harus terus diperjuangkan. Begitu kita memasuki perkawinan, kita juga sedang memulai perjalanan rohani. Tantangan dan kesulitan memurnikan jiwa dan meruntuhkan keangkuhan diri. Ini semua diperlukan untuk membawa kita pada kesatuan hati dengan pasangan dan dengan Tuhan. Semakin kita melepaskan topeng, ego, segala kepalsuan diri, maka semakin mudah kita dibentuk oleh Tuhan. Kesempatan mengenali diri dalam perjuangan hidup sehari-hari membawa kita makin dekat pada keaslian diri dan kebenaran.

Kita adalah manusia rapuh yang membutuhkan Tuhan. Tidak ada alasan untuk memegahkan diri sedikitpun. Hanya Tuhan saja yang patut kita sembah dan muliakan. Bukan segala ambisi dan ego kita. Belajar rendah hati akan membawa kita pada hidup yang lebih dekat dengan Tuhan dan sesama. Makin rendah hati, makin banyak pula rahmat Tuhan mengalir dalam diri dan keluarga kita.

Perjalanan perkawinan dalam bimbingan dan rahmat Tuhan akan membawa masing-masing pribadi pada kekudusan. Pada waktu kita dibentuk atau saat menjalani proses, kita akan merasakan sakit yang sangat. Dalam keadaan ini, hendaknya kita tidak putus asa, tetapi tetap fokus pada tujuan akhir yang mau kita capai, yaitu persatuan cinta dengan Tuhan. Tanpa mengembangkan cinta kasih, mustahil kita berkenan bagi Tuhan. Cinta adalah rahmat sekaligus benih yang harus kita pupuk terus dengan air mata, keringat dan doa.

Keluarga yang sedang mengalami titik kritis hendaklah melihat ini sebagai undangan untuk mendekat kepada Tuhan. Ada berkat di balik masalah, ada pelangi sehabis hujan. Tuhan belum selesai dengan pekerjaan tangan-Nya dalam diri kita, dalam keluarga kita. Hendaknya kita tidak berhenti di tengah jalan. Ingat janji pernikahan kita: “dalam untung dan malang, dalam suka dan duka”.

Jikalau kita sebagai orang tua harus menanggung pahit getirnya perkawinan, biarlah itu sebagai bentuk kasih kita kepada anak-anak yang akan memakan buah manis dari jerih payah kita mempertahankan rumah tangga.

Warisan Rohani

Orang tua perlu memberi dasar yang kokoh bagi anak cucu dalam membangun hidup perkawinan mereka kelak di atas dasar yang benar, yakni rencana Allah dan bukan rasa nyaman atau keinginan sendiri. Perkawinan yang membawa kita pada kekudusan layak diperjuangkan. Bagaimanapun keadaan keluarga kita saat ini, percayalah perjuangan kita tidak sia-sia.  “Orang yang menabur dengan mencucurkan air mata, akan menuai dengan bersorak-sorai” (Mzm 126:5). Apa yang kita perjuangkan dalam doa dan air mata, itu adalah warisan yang berharga untuk rumah tangga anak cucu kita. Tuhan senantiasa menyertai untuk menguatkan kita.  Rahmat-Nya cukup bagi kita.

Related Post

Leave a Reply