Wed. Oct 9th, 2024

IN MEMORIAM Pater Wilhelm Waneger, CSsR (1933-2020) Ketika Kepergian Harus dalam Sunyi

Pater Wilhelm Wagener,CSsR (alm), sosok imam dengan teladan hidup yang baik.

Oleh Alex Japalatu, wartawan, tinggal di Depok, Jawa Barat

Pater Wilhelm Wagener, CSsRMinggu pagi, 12 April 2020. Saya kirim-kirim ucapan Selamat Paskah kepada kolega dan teman-teman, baik yang beragama Katolik maupun Protestan. Pernah pula beberapa tahun lalu kepada teman-teman dari Saksi Jehova. Tapi mereka tidak merayakan Paskah. Saya hargai itu. Sejak itu saya skip dari daftar ucapan Selamat Natal dan Paskah.

Usai Misa Paskah, saya berkirim salam kepada Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris Indonesia. Kami teman masa kecil. Ia membalas. Juga mengirimkan foto Pater Willy Wagener dengan peralatan bantu nafas. Sedang berbaring. Sebaris pesan menyertai. Intinya, Pater Wagener dalam kondisi kritis. Mohon doa!  Itu sekitar pukul 07.10 WIB.

Biar tidak kehilangan konteks, saya ceritakan bagaimana saya terkait dengan Pater Wagener. Akhir Oktober 2019 secara tak sengaja saya menelepon Pater Willy Ngongo Pala, CSsR. Cerita-cerita saja. Pater Willy cerita bahwa Pater Wagener dalam kondisi sakit. Saya tahu kiprah Pater Wagener dari banyak cerita. Pernah jadi “uskup” Sumba-Sumbawa. Jadi saya usul saja: Boleh kah saya menulis semacam memoar untuk beliau? Pater Willy menjawab, “Kami memang berencana untuk itu!” Gayung bersambut.

Bulan Januari saya dengar Pater Kimy sedang di Wisma Sang Penebus, Nandan, di Yogyakarta. Mengurus kaul kekal beberapa frater Redemptoris. Beberapa bulan sebelumnya, pada November 2019, saya ke Sumba. Namun saat itu Pater Kimy sedang ke Australia. Jadi kami tidak sempat jumpa.

Saya berencana mau ke Sumba, pas Natal saja. Sekalian kunjung keluarga di Kodi. Sekalian putar-putar “belanja” bahan tentang Pater Wagener. Tapi hal itu mau saya lakukan setelah kembali dari Papua. Sebuah jemaat di Supiori, Biak akan merayakan setengah abad mereka berdiri. Ketua majelis sudah kerap menelepon agar saya datang meliput mereka selama beberapa minggu untuk dibuatkan buku sejarah. Memang perlu waktu sebab kami berencana melacak sampai ke Manokwari, Papua Barat.

Suatu pagi awal November Pater Willy telepon. Mengabarkan kondisi Pater Wagener yang ‘tidak baik’. Saya memutuskan segera ke Sumba. Pas juga saat yang hampir bersamaan ada acara Sidang Raya PGI di Waingapu.

Sepulang dari Sumba, atas masukan pater-pater di Weetebula, ada 10 orang narasumber di Yogyakarta yang harus saya wawancarai. Waktu datang ke Yogyakarta itulah, saya jumpa Pater Kimy, Pater Andreas Suhana, Pater Robby Ndajang dll, di Wisma Sang Penebus (WSP).  Harapannya adalah:  dengan kondisi Pater Wagener seperti itu, kita berdoa beliau masih ‘sehat’ sampai bulan  Juli 2020 saat penahbisan diakon. Rencananya saat yang sama pula memoar beliau akan diluncurkan.

Waktu semua direncanakan, pandemi Covid 19 belum muncul.

Sore hari, di grup WA alumni SMA Andaluri  Jakarta, senior Emanuel Dapa Loka menyampaikan kabar: Pater Willy Wagener barusan meninggal. Itu pukul 17.28 WIB. Sekitar 10 jam setelah saya dikabari Pater Kimy.

Seperti sudah saya tulis di laman FB saya, kondisi kesehatan Pater Wagener yang naik-turun membuat seperti berkejaran dengan waktu.

Berharap. Artinya dalam kondisi kedua ginjal beliau hanya berfungsi tidak lebih dari 30 persen, sementara Pater Wagener sendiri memilih untuk tidak melakukan cuci darah, hanya mukjizat Tuhan yang kita harapkan. Namun dari apa yang saya saksikan ketika berada di Konventu Weetebula, salah satu biara para Redemptoris di  Sumba, pada  minggu kedua November 2019, Pater Wagener  sungguh siap menerima kenyataan andai harus meninggal. “Ya Willy, kalian hanya menghibur saya. Kondisi saya tidak lebih baik,” ujarnya kepada Willy Pala.

Pater Wagener selalu tersenyum. Juga malam itu, dalam rekreasi komunitas. Di meja, dekatnya, ada Pater Willy Pala, Pater Robert Ra Mone dan Pastor Dony Kleden. Pater Willy mengumpannya untuk mau bercerita, tentang pengalamannya ketika kali pertama sampai ke Sumba pada 1961. Memang ada sedikit kisah yang ia sampaikan.  Ia selalu menghindar jika bicara soal itu.

Beruntung, setahun atau beberapa tahun sebelumnya ada rekaman video berdurasi dua jam. Pater Wagener bercerita tentang awal-awal ia datang ke Sumba. Sambil membaca catatan. Video tersebut bisa saya copy dari Pater Simon Tenda di Puspas, Katikuloku.

Waktu berada di Biara Santo Klemens di sebelah Wanno Gaspar di Waikabubak, Pater Willy menunjukkan kepada saya setumpuk Majalah IKAN. Sudah mulai lapuk, meskipun jenis kertasnya bagus. “Sialnya”, dalam bahasa Jerman. Saya “buta knop” bahasa ini. Kalau bahasa Inggris masih bisa, meskipun hanya untuk translate.

Namun syukurlah bahwa Pater Willy berbaik hati menerjemahkannya. Saya kutipkan sedikit. Laporan perjalanan Pater Wagener:

“Di Samudera Hindia Kami telah bergoyang-goyang melintasi Samudera Hindia selama berhari-hari. Sedih tanpa melihat daratan.  Matahari, ombak laut dan awan langit adalah satu-satunya teman kami.  Saudara Marrin dan saya,  sendirian di atas kapal sebagai penumpang.  Namun, kami tdak pernah sampai bosan di kapal barang ini.  Permainan warna yang pecah di awan dan di air,  berbeda setiap hari. Selalu baru. …. Matahari melakukan yang terbaik, membuat kita meleleh.  Anda bisa menggoreng telur di geladak belakangnya……”

Pater Wagener masih bisa berjalan. Ia mendorong sendiri kursi rodanya. Suatu pagi, habis misa saya sengaja datangi beliau. “Ini siapa ya?” Meskipun sudah saya jelaskan, beliau hanya ingat “Yogya” dan “KMKS” (Keluarga Mahasiswa Katolik Sumba).

“Oh, Yogyakarta ya?” ujarnya. ….

Pater Wagener adalah angkatan ketiga dari rombongan Redemptoris yang diutus ke Sumba. Tepat 15 Januari 1961 ia tiba di Jakarta. Ia sempat tertahan di Surabaya sebab harus operasi usus buntu, sebelum dengan Kapal Motor Waikelo mendarat di Waingapu.

Pater Wagener lahir di Essen, Jerman pada 26 Februari 1933. Bergabung sebagai anggota Redemptoris sejak 1954. Tahun 1959 ditahbiskan sebagai imam. Tahun 1961 diutus sebagai misionaris ke Indonesia.

Mula-mula ia menjadi Pastor Paroki Sang Penebus Waingapu (1961-1967). Kemudian mejabat Viceproponsial Redemptoris (1967-1970), Administrator Apostolik Keuskupan Weetebula (1970-1975) sebelum ia pindah ke Yogya sebagai rektor di Wisma Sang Penebus, merangkap pastor Stasi Nandan (sekarang sudah menjadi Paroki St. Alfonsus, Nandan), dan pada tahun 1992 kembali ke Sumba, hingga akhir hayatnya.

Pater Wagener dikenal banyak orang. Juga membantu banyak orang. Tetapi kemurah-hatiannya ini sering juga dimanfaatkan orang. Namun ia tak hirau. Banyak cerita mengenai ini. Bahkan ketika sedang sakit pun, orang masih antri di ruangan dekat kamarnya. Di konventu. Sampai perlu ada larangan khusus. Agar beliau bisa beristirahat.

Salah satu jasa Pater Wagener adalah mendirikan Panurma, Panitia Urusan Mahasiswa. Ia yang berinisiatif. Ini agar mahasiswa Sumba yang pintar-pintar, namun kekurangan biaya diberi beasiswa agar  bisa kuliah. Pater Wagener  merogoh koceknya sendiri untuk penyelenggaraan lembaga ini. Namun agar ada tata kelolanya, diserahkan kepada Yapnusda (yayasan Persekolahan Nusa Cendana) untuk mengurus. Yapnusda kemudian (pernah) menyerahkannya kepada Keuskupan Weetebula, yang kemudian mengembalikannya kepada Pater Wagener. Entah oleh alasan apa?

Andai boleh memilih waktu kematian, kita bisa pilih yang benar-benar sesuai selera kita. Atau bahkan pilih jangan mati saja. Dalam kondisi pandemi Covid 19 seperti ini, bahkan berkumpul, berkelompok saja kita harus hati-hati. Bukan karena dilarang pemerintah, namun supaya kita tidak saling menularkan virus mematikan itu.

Padahal di Sumba,  kematian adalah perayaan. Bersama-sama melepas kepergian orang yang kita cintai. Dengan air mata dan doa. Namun juga dengan pesta meriah! Karena keyakinan atas  kehidupan yang baru. Hanya beralih dari kehidupan yang lama. Di alam yang berbeda. Di sisi yang lain.

Dalam kondisi seperti ini, hanya doa-doa dari jauh yang bisa kita panjatkan. Bahkan yang tinggal di Weetebula dan sekitarnya juga tak bisa berbuat banyak. Ada pelayatan ke Katedral Weetebula, sebelum misa  requiem. Dan Pater Wagener akan diantar ke peristirahatan terakhir di Wanno Gaspar.

Beristirahat di Wanno Gaspar

Di Wanno Gaspar, makam itu berdiri di atas ketinggian. Pohon-pohon rindang memagarinya. Ada tanah lapang di depan. Barisan makam para biarawan redemptoris berbaris di sana. Antara lain kawan SMA kami, Pater Gera Nono, CSsR.

Pater Wagener akan melengkapi barisan itu! Andai bukan karena momok Covid-19, sangat mungkin ribuan pelayat dari sedaratan Sumba, bahkan dari berbagai tempat di Indonesia, khusus Yogyakarta akan tumpah ruah. Tapia pa boleh buat. Pater Wagener harus pergi dalam diam, namun doa-doa akan tetap mengiringimu menuju mata air surgari. Requiescat in pace!

 

Related Post

Leave a Reply