Sat. Oct 18th, 2025
Mgr-Alfred Gonti Pius Datubara. Requiescat in pace.

Di tanah yang dingin dan penuh kabut di Lawe Bekung, Badar, Aceh Tenggara, pada 12 Februari 1934 lahir seorang anak manusia yang kelak menjadi terang bagi banyak orang.

Namanya Alfred Gonti Pius Datubara — seorang anak Batak yang tumbuh di tengah tradisi yang kental, dengan iman yang sederhana namun dalam.

Dari Lawe Bekung, Aceh Tenggara, ia melangkah jauh hingga menjadi imam Katolik pertama dari suku Batak, dan kelak menjadi Uskup Agung Medan yang menggembalakan umat selama lebih dari tiga dekade.

Dari Tanah dan Tradisi, Lahir Panggilan

Pius kecil dibesarkan di tengah budaya Batak yang sarat nilai: kesetiaan pada keluarga, keteguhan pada kebenaran, dan hormat kepada leluhur. Namun dalam hatinya yang muda, bersemi benih panggilan yang berbeda—panggilan untuk menjadi imam, pelayan Tuhan di tengah dunia yang terus berubah.

Ketika ia masuk ke seminari dan kemudian memilih menjadi anggota OFMCap, keputusan itu bukan hanya langkah pribadi, melainkan juga langkah sejarah: untuk pertama kalinya, seorang putra Batak menempuh jalan imamat Katolik. Ia ditahbiskan menjadi imam pada 22 Februari 1964, dan sejak saat itu, seluruh hidupnya dijadikan persembahan.

Gembala dengan Jiwa Rendah Hati

Tak lama berselang, panggilan pelayanannya kian meluas. Pada 5 April 1975, Paus Paulus VI mengangkatnya menjadi Uskup Auksilier Medan, dan hanya setahun kemudian, pada 24 Mei 1976, ia diangkat menjadi Uskup Agung Medan, menggantikan Mgr. Antoine Henri van den Hurk.

Sejak saat itu, Mgr. Pius Datubara menulis babak baru dalam sejarah Gereja Katolik Indonesia: ia adalah Uskup pertama dari suku Batak, gembala yang memimpin umat dari tanahnya sendiri.

Namun di balik gelar dan kedudukan, ia tetap sederhana. Ia lebih suka berjalan kaki di desa-desa terpencil, mengunjungi umat di pedalaman, makan seadanya bersama para petani dan nelayan.

Ia dikenal karena semangatnya yang hangat dan kerendahan hatinya yang tulus. Semboyan pelayanannya — “Omnibus Omnia”, “Segala sesuatu bagi semua orang” — bukan sekadar kata, tetapi cara hidup.

Pelayan Umat dan Jembatan Persaudaraan

Dalam masa kepemimpinannya yang panjang, Mgr. Pius tak hanya membangun gereja-gereja dari batu dan semen, tetapi juga membangun jembatan antariman dan antaretnis.

Ia memahami bahwa di Sumatera Utara, iman tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial, gotong royong, dialog dan dari kebersamaan. Karena itu, ia dikenal sebagai sosok yang terbuka, penuh kasih, dan menjunjung persaudaraan lintas agama.

Ia hadir di tengah masyarakat bukan sebagai penguasa rohani, melainkan sebagai sahabat dan ayah.

Dalam setiap kunjungan pastoralnya, ia menatap mata umat satu per satu, menyapa dengan lembut, dan menguatkan mereka dengan senyum yang khas.

Dalam kelembutan itu tersimpan kekuatan: kekuatan doa, ketekunan, dan cinta yang bertumbuh dalam kesunyian.

Warisan Iman dan Kasih

Setelah lebih dari tiga dekade menggembalakan umat, Mgr. Pius mengundurkan diri dari tugas aktifnya pada 12 Februari 2009.

Namun masa pensiun tidak membuatnya berhenti mencintai Gereja. Ia tetap hadir dalam doa, dalam nasihat bagi imam muda, dalam senyum bagi siapa pun yang datang menemuinya.

Pada 17 Oktober 2025, di usia 91 tahun, Mgr. Pius Datubara berpulang ke rumah Bapa di Surga. Kepergiannya meninggalkan duka, namun juga warisan rohani yang tak ternilai: kesetiaan, kesederhanaan, dan cinta bagi Gereja serta bangsanya.

Menjadi Terang di Tengah Keberagaman

Dalam diri Mgr. Pius, umat melihat perjumpaan yang indah antara iman Katolik dan budaya Batak.

Ia membuktikan bahwa menjadi Katolik tidak berarti meninggalkan akar budaya, tetapi menyucikannya dengan kasih dan pelayanan. Ia menjadi tanda bahwa Injil dapat berakar dalam tanah mana pun, asalkan ditanam dengan hati yang tulus.

Kini, sosoknya dikenang bukan hanya sebagai uskup, tetapi sebagai putra Batak yang membuka jalan bagi generasi baru imam dan gembala.

Dari dirinya, umat belajar bahwa panggilan Tuhan tidak mengenal batas etnis, dan kasih Kristus dapat menjangkau setiap suku, bahasa, dan bangsa.

Mgr. Pius Datubara telah menuntaskan perjalanannya di dunia, namun jejaknya tetap hidup.

Dalam doa umat, dalam lagu-lagu liturgi di gereja-gereja pedesaan, dalam semangat pelayanan para imam muda, dan dalam setiap hati yang pernah disentuhnya. Ia telah menjadi “segala sesuatu bagi semua orang.”

Dan kini, dalam tangan Tuhan, ia telah menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan bagi mereka yang setia. Requiescat in Pace. (tD/*)

Related Post