


Menjelang pemberkatan dan peresmian Gereja Maria Bunda Selalu Menolong (MBSM), Kamabajawa, Waingapu, Sumba Timur, NTT pada 7 Oktober 2025), muncul suara yang mempersoalkan pemasangan gambar-gambar mamuli baik di bagian luar maupun dalam bangunan gereja ini, bahkan di pagar kompleks gereja.
Menurut rencana, Gereja MBSM akan diberkati oleh Duta Besar Vatikan untuk Indonesia Mgr. Piero Pioppo.

Sang pemersoal memahami mamuli itu adalah gambar vagina atau kelamin perempuan. Dengan pemahaman ini, menurutnya tidak layak ”dipamerkan” atau dipasang sebagai ornamen interior atau eksterior.
Selain ”suara persoalan” itu tersua di media sosial, menurut informasi yang media ini terima, suara yang sama bahkan sampai ke Kedubes Vatikan di Jakarta. Pertanyaannya, sesungguhnya mamuli itu melambangkan apa, dan apa pesan di baliknya?
Pater Robert Ramone, CSsR, seorang imam Katolik dan budayawan Sumba memberikan penjelasan yang cukup lengkap tentang ”apa pesan penting” di balik perhiasan tradisional yang sangat unik dan khas masyarakat Sumba itu. Penjelas yang sama ia sampaikan kepada Dubes Vatikan Mgr. Piero Pioppo di Jakarta.
Mamuli terbuat dari emas atau perak, namun ada juga dalam bentuk gambar atau ornamen pahatan pada kayu, batu menhir (peji), kain tenun ikat, tiang rumah adat, bahkan pada pintu makam leluhur dan lain sebagainya.
Jelas Direktur Lembaga Studi dan Pelestarian Budaya Sumba ini, mamuli berbetuk rahim (uterus) wanita sebagai lambang kesuburan, yang dapat mengandung dan melahirkan generasi manusia.
”Dan pada bagian ini, mamuli sama sekali tidak merujuk pada gambar kelamin seorang perempuan, seperti dipersoalkan oleh beberapa orang yang kurang faham apa arti dan makna mamuli dalam tradisi dan budaya masyarakat Sumba,” jelas Pater Robert.
Jelas Pater Robert lebih dalam, mamuli memiliki nilai sakral dan spiritual serta berperan penting dalam upacara adat dan ritual kepercayaan asli masyarakat Sumba.
Imam asal Kodi, Sumba Barat Daya ini lalu menjelaskan beberapa fungsi dan makna mamuli dalam tradisi dan budaya masyarakat Sumba.
Simbol Kesuburan

Mamuli menyerupai bentuk rahim perempuan, melambangkan kesuburan dan penghormatan serta pemuliaan terhadap kaum perempuan yang dapat melahirkan generasi manusia.
Dalam masyarakat Sumba, jelas Pater Robert, wanita mendapat penghomatan paling tinggi. Hal itu nampak dalam percakapan sehari-hari seperti sebutan “Ina Ama”. Ina (ibu) disebut pertama baru selanjutnya Ama (bapa). ”Tidak pernah ada yang mengatakan Ama Ina, tapi Ina Ama. Hal ini menandakan betapa hormat dan respect-nya masyarakat Sumba terhadap kaum perempuan,” jelasnya.
Pater Robert juga menunjuk syair yang lain. Untuk menunjuk kemahakuasaan Allah, orang Sumba dalam syair adatnya selalu mengatakan “Ina Mawolo – Ama Marawi” (ibu yang menenun, bapak yang merancang).
”Maka tak mungkin kaum perempuan sangat dihormati sekaligus dilecehkan dengan mengumbar (memamerkan) alat kelaminnya. Justru dengan gambar atau perhiasan mamuli, masyarakat Sumba menempatkan kaum perempuan pada harkat paling tinggi sebagai ibu yang melahirkan atau memberi kehidupan. Dari rahim seorang ibulah kita dilahirkan,” tegas penulis buku Sumba, Forgotten Island ini.
Jadi Diri
Pater Robert juga menjelaskan bahwa mamuli merupakan simbol jati diri atau martabat masyarakat Sumba. Mamuli sering dipakai oleh kaum perempuan Sumba sebagai perhiasan seperti kalung atau anting. Selain kaum perempuan, mamuli juga dipakai oleh kaum pria dengan cara menyematkan pada “kapauta” (ikat kepala) khususnya pada saat mereka bertindak sebagai pemimpin ritual adat Pasola seperti di suku Wanukaka dan Lamboya di wilayah Sumba Barat.
“Bekal” bagi yang Meninggal
Pada saat pemakaman orang mati, khususnya yang dari kalangan ningrat (kaum maramba, umbu atau rato), jelas Pater Robert, mamuli ikut dikuburkan bersama jenazah.
Dalam budaya Sumba, mamuli selain sebagai assesoris bagi yang meninggal, juga sebagai bekal dalam perjalanan yang menjamin kesejahteraan menuju keabadian (Praing Marapu – Surga baka – keabadian).
Bahkan dalam tradisi suku Anakalang (Sumba Tengah), sebutnya menunjuk contoh, saat seorang ibu meninggal, anak-anak perempuannya yang sudah menikah wajib memasukkan mamuli emas seberat 5 gram ke dalam mulut sang ibu sebelum dimakamkan.
”Dalam pandangan masyarakat setempat, hal ini sebagai tanda syukur dan terima kasih dari seorang anak kepada ibunya yang telah melahirkan dan memberinya rahim,” jelas Pater Robert lebih dalam.
Status Sosial

Jelas Pater Robert lagi, bagi masyarakat Sumba, orang yang memiliki mamuli, menunjukkan status sosial tingginya. Khususnya bagi kaum keturunan maramba atau bangsawan, mamuli dijadikan benda pusaka yang dikeramatkan yang tak boleh diperjual-belikan selain diwariskan kepada keturunan berikutnya khususnya anak sulung laki-laki.
”Meterei” Perkawinan
Mamuli juga merupakan salah satu ”meterai” yang mengesahkan sebuah perkawinan adat masyarakat Sumba. ”Sahnya sebuah perkawinan antara lain ditandai dengan pemberian mas kawin (belis) dari pihak orang tua atau keluarga pengantin pria kepada orang tua pengantin perempuan,” jelas imam yang fasih berbicara dalam Bahasa Jerman dan Bahasa Inggris ini.
Bagi masyarakat Sumba, mas kawin (belis) menggunakan hewan dalam jumlah tertentu yang disepakati kedua belah pihak (orang tua mempelai laki dan orang tua mempelai perempuan).
Mamuli diberikan oleh mempelai pria kepada ibu mempelai wanita selain sebagai balas budi atas ibu yang mengandung dan melahirkan, juga sebagai pengingat bahwa dari rahim ibulah lahir seorang gadis yang kini siap berkeluarga dan juga siap memberi kelahiran baru.
Mamuli dan Inkulturasi
Beberapa Gereja Katolik di Sumba ”mengadopsi” gambar mamuli sebagai dekorasi pada pagar, pintu bahkan kain penutup altar gereja, dan lain-lain.
Pengadopsian ini jelas Pater Robert, merupakan bagian dari inkulturasi yang dicanangkan Gereja Katolik pada Konsili Vatikan II.
Gereja Katolik di Sumba jelasnya lebih jauh, mau mengambil nilai positif dan pesan mendalam dari mamuli. ”Gereja Katolik di Sumba tidak hanya mengerti dan memahami mamuli sebagai lambang rahim seorang ibu, tapi sekaligus mengajak umat Allah pada pemahaman yang lebih tinggi yakni kerahiman ilahi (Devine Mercy),” tegasnya.
Mamuli di Gereja BMSM Kambajawa
Menyangkut keputusan Gereja Katolik Kambajawa yang memasang asesoris mamuli di luar dan di dalam gereja, Pater Robert memberi apresiasi.
Dia memahami, keputusan tersebut sebagai bentuk hormat pastor paroki dan umat pada ibu yang dikarunia rahim yang melahirkan.
”Dan tentu hal yang lebih penting lagi bahwa gereja mereka berpelindungkan Maria Bunda Selalu Menolong. Pastor paroki bersama umatnya, dalam refleksi mereka, menyadari bahwa dari rahim kudus Perawan Maria, lahirlah Yesus, Sang Penebus (Redeemer). Di sini sangat jelas bahwa pastor paroki Kambajawa dan segenap umat yang berhati baik, tidak bermaksud membuat skandal. Yang membuat skandal adalah mereka yang mengidentikkan rahim ibu dengan alat kelamin perempuan,” tegas Pater Robert.
Meski begitu, menurut Pater Robert, mereka yang protes patut juga diapresiasi. ”Mereka adalah umat kita dan bukan orang jahat. Hanya saja, mereka kurang pemahaman, kurang informasi dan lain-lain. Dengan adanya protes juga menandakan gereja yang hidup dan dinamis,” tambahnya.
”Tidak mungkin orang Sumba atau dari suku dan daerah mana saja selama dia waras, mengumbar atau memamerkan alat kelamin di muka umum seperti tertuang pada seni logam, seni tenun, seni tari,” tegasnya lagi.
Yang ada dalam budaya-religius masyarakat Sumba, sambungnya, adalah pemuliaan rahim seorang ibu sebagai tempat kehidupan bersemayam dan dijaga dipelihara dengan macam-macam upacara religius-kultural.
”Rahim sebagai wadah yang disiapkan Sang Pencipta untuk karya penciptaan-Nya. Bagi kami masyarakat Sumba yang kini menjadi Katolik, gambar atau ornamen mamuli yang dipasang sebagai dekorasi pada dinding atau pagar gereja atau motif tenun ikat dan sebagainya, merupakan bentuk pemuliaan dan hormat kami pada ibu atau pada kaum perempuan pada umumnya yang dikaruniai rahim untuk melahirkan generasi manusia. Dengan gambar atau ornamen mamuli itu pula, gereja Katolik di Sumba sedang berkatekese (mengajar) dan mengajak umat untuk sampai pada pemahaman akan Allah yang Maharahim,” pungkasnya.
(Emanuel Dapa Loka)
