Wed. Apr 30th, 2025

Seputar Pemilihan Paus: Tuhan Selalu Buat Kejutan, Dia Memilih yang Tak Terduga

Nama Paus Yohanes Paulus II dan Paus Fransiskus tak masuk "bursa", tapi merekalah yang terpilih. (ist)

Paus Yohanes Paulus II malah sedang membaca novel ketika tahu terpilih jadi Paus ke-264

Setelah Paus Fransiskus wafat pada 21 April 2025, bahkan sejak mendiang dirawat di rumah sakit karena pneumonia ganda yang dideritanya, sudah muncul kasak-kusuk seputar siapa yang akan menggantikannya memimpin 1,4 miliar orang Katolik di dunia. Sejumlah nama pun bermunculan.

Siapakah Paus ke-267, penerus takhta Santo Petrus yang akan terpilih pada Konklaf yang digelar mulai 7 Mei 2025?

Walau pemilihan paus sangat berbeda dengan pemilihan kepala negara di berbagai negara, berbagai spekulasi tetap saja bermunculan. Setidaknya, ada empat atau malah delapan nama yang beredar luas yang disebut-sebut sebagai kandidat kuat pengganti pria bernama asli Jorge Mario Bergoglio itu.

Ada Pietro Parolin. Kardinal berusia 70 tahun asal Italia itu pernah menjabat sebagai Sekretaris Negara Vatikan sejak 2013 Dia adalah sosok penting dalam tubuh Kuria Roma dan dikenal sebagai orang kepercayaan Paus Fransiskus dalam berbagai urusan diplomatik global.

Dia dikenal dengan karakter moderat dan pendekatan yang diplomatis. Dan ini membuat dia disukai oleh banyak diplomat internasional.

Namun demikian, dia menjadi sasaran kritis, persis karena sikap kompromistisnya. Di satu sisi, dikhawatirkan, Parolin tidak teguh menjaga Doktrin Gereja Katolik yang dikenal tangguh. Namun di sisi lain, para pendukungnya menyebut dia simbol kesinambungan dan stabilitas.

Ada pula Luis Antonio Tagle. Kardinal berusia 67 tahun asal Filipina oleh berbagai pihak dinobatkan sebagai salah satu tokoh penting dari Asia saat ini. Banyak pihak menilai, terdapat kesamaan antara Paus Fransiskus dan Kardinal Luis Tagle, yakni sama-sama  mervisi progresif.

Sebagai contoh, dia pernah mengkritik keras pendekatan Gereja yang dipandang terlalu keras terhadap pasangan sesama jenis dan mereka yang bercerai.

Pada sisi inilah,pendirian dan visinya sangat mirip dengan sikap Paus Fransiskus, yang karena keberpihakannya pada kaum LGBTQ disalapahami banyak orang akan melegalkan pernikahan sesama jenis.

Padahal yang dimaksudkannya dengan berkat untuk sesama jenis adalah ketika mereka meminta berkat—bukan sakramen—mereka layak dilayani.

Nama lain adalah Peter Turkson. Jika Kardinal berusia 76 tahun dari Ghana ini terpilih menjadi paus, maka dia juga seperti Paus Fransiskus yang menjadi ”Paus pertama” dari Amerika Latin. Peter Turkson akan menjadi Paus kulit hitam pertama dalam sejarah modern.

Turkson dikenal lantang menyuarakan isu-isu sosial global, mulai dari perubahan iklim hingga ketimpangan ekonomi, sekaligus mempertahankan posisi tradisional Gereja dalam berbagai hal, seperti imamat dan pernikahan.

Belakangan dia banyak mengkritik hukum-hukum diskriminatif di sejumlah negara Afrika dan mendorong pendekatan yang lebih manusiawi. Pengalamannya sebagai mantan Presiden Dewan Kepausan untuk Keadilan dan Perdamaian memperkuat citranya sebagai calon paus berkarakter sosial kuat.

Nama lain yang juga santer adalah Fridolin Ambongo Besungu. Pria berusia 64 tahun dari Republik Demokratik Kongo ini adalah figur konservatif yang mencuat tajam dalam beberapa tahun terakhir.

Dia secara terbuka menolak doktrin Fiducia Supplicans, yang memperbolehkan pemberkatan bagi pasangan tidak menikah maupun sesama jenis. Ia menyatakan ajaran tersebut tidak berlaku di benua Afrika. Karena penolakan ini, namanya menjadi menonjol.

Besungu adalah biarawan Ordo Kapusin yang mengusung sikap tegas terhadap ortodoksi. Dia dinilai akan membawa arah Gereja kembali ke garis konservatif, menjauh dari kebijakan progresif Paus Fransiskus.

Tentu saja masih banyak nama lain yang bisa dimunculkan. Harus diakui, kerapkali ada dari nama-nama yang ”Dijagokan” yang terpilih menjadi paus. Namun tidak jarang pula yang terpilih adalah sosok yang tidak pernah disebut-sebut atau tidak ”Dijagokan”.

Bisa jadi, yang bersangkutan pun ”Sama sekali” tidak menyangka akan terpilih.

Sedang Baca Novel Pun Dipilih

Sebagai contoh, Karol Wojtyła, yang kemudian menjadi Paus Yohanes Paulus II. Namanya tidak pernah disebut-sebut sebelum konklaf pada 1978. Karol sendiri masuk ke ruangan konklaf dengan santai alias tanpa beban. Kardinal asal Polandia itu bahkan membawa serta novel.

Pemain teater andal itu malah sedang membaca novel ketika mengetahui dirinya terpilih sebagai Paus. Novel yang di abaca ketika itu berjudul “The Sorrows of the Young Werther” karya Johann Wolfgang von Goethe.

Sama halnya Paus Fransiskus. Namanya tidak pernah diperbincangkan. Ternyata dialah yang terpilih sebagai Paus ke-266 menggantikan Paus Benediktus XVI, kemudian memesona dunia dengan karakter dan pilihan hidup amat sederhana.

”Paus Fransiskus ini tidak dipertimbangkan sama sekali. Tidak ada nama Jorge Bergoglio di daftar calon pada tahun 2013, tapi tiba-tiba dia dipilih,” kata Kardinal Suharyo kepada wartawan di pelataran Keuskupan Jakarta.

Menurut keyakinan Gereja Katolik jelas Suharyo, seorang Paus memang dipilih oleh para kardinal, tetapi tapi akhirnya yang memutuskan bukan para kardinal. Kepercayaan Gereja Katolik tambah Kardinal Suharyo, inilah adalah bimbingan Roh Kudus.

Saat para kardinal masuk ruang konklaf jelas Suharyo lagi, suasana yang ada melulu suasana doa. Semua alat komunikasi tidak boleh dipakai.

Bahwa sudah ada calon-calon yang dipikir oleh peserta masing-masing, ya. Tapi akhirnya yang menentukan adalah suasana doa.

“Ini supaya pilihan  itu tidak dipertimbangkan dengan nilai kekuasaan tapi dengan nilai yang sangat berbeda: menjadi pelayan kemanusiaan dan Gereja,” jelas ahli Kitab Suci Perjanjian Baru ini lagi.

Karenanya, kata Uskup Agung Jakarta ini,  menjadi paus itu itu bukanlah peningkatan karier. Bahkan katanya, ”Jika ada yang bercita-cita menjadi Paus, itu bodoh”.  (Emanuel Dapa Loka)

Related Post