Philipus Joko Pinurbo ke Surga Berkendara Puisi

Penyair Philipus Joko Pinurbo atau Jokpin mengembuskan napas terakhirnya pada 27 April 2024, sehari sebelum Hari Puisi Nasional.

Jokpin pulang ke rumah Bapanya setelah bertarung dengan beberapa penyakit yang menggerogoti tubuh kurusnya.

Ya, Jokpin hanya pulang. Dia pulang ke alamat yang pasti berkendara puisi-puisinya yang telah membuat para pembacanya tersenyum, merenung, berpikir dan berapa saja. Melalui puisi-pui

sinya ia mengajak orang untuk Menunaikan Ibadah Puisi – judul salah satu antolgi puisinya.

Jokpin menghasilkan puisi-puisi jenaka, terkesan nyeleneh, dan ringan. Meski begitu, puisi-puisi itu lahir melalui permenungan yang mendalam. Dia tidak hanya asal orat-oraet, lalu lahirlah puisi.

Alumnus FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta itu menyebut, setiap kata yang dia gunakan dalam puisinya, ia erami secara serius baru ia gunakan. Ia mengistilahkan ketekunan mengerami itu dengan sebuah kosa kata Jawa, yakni getih.

Puisi-puisi Jokpin yang dinikmati khalayak hari ini adalah hasil dari sebuah proses menjadi yang panjang.

Sebagai seorang penyair, Jokpin terampil dalam mengolah kata-kata agar puitik dan bertenaga.

Menurut penjelasannya kepada tempusdei.id usai antologi puisinya berjudul Salah Piknik (Gramedia Pustaka Utama) dan Sepotong Hati (Diva Press) terbit pada 2021 di tengah gelombang pandemi corona-19, kelahiran puisi-puisinya yang jenaka, namun filosofis itu dipicu oleh macam-macam hal seperti bacaan, berita, peristiwa aktual, renungan Kitab Suci, obrolan dengan teman, dan sebagainya.

Namun untuk  pemilihan atau penggunaan sebuah kata dalam puisi-puisinya, Jokpin mengaku menggunakan prinsip kerja Chairil, yakni menimbang, memilih, dan memutuskan secermat-cermatnya.

Jokpin cermat tidak hanya dari segi ketepatan makna, melainkan pula dari segi efek puitiknya. Meski begitu, ia tidak memerlukan waktu khusus untuk mengendapkan dan mengerjakan kata-kata. Bisa kapan saja.

Sepakat dengan Sapardi

Ia pun sepakat dengan penyair Sapardi Djoko Damono bahwa puisi juga adalah soal permainan bunyi, bahwa daya puisi antara lain memang terkandung dalam gema kata-katanya. “Puisi adalah bunyi yang telah dibekukan dalam teks atau tulisan,” jelasnya.

Puisi-puisinya banyak mengandung refleksi dan kontemplasi atas kehidupan sehari-hari. Sekadar contoh, puisinya berjudul Lindu. Tulis Jokpin dalam antologi puisi berjudul Perjamuan Khongguan:

“Tuhan, ponsel saya
rusak dibanting gempa.
Nomor kontak saya hilang semua.
Satu-satunya yang tersisa
ialah nomor-Mu.

Tuhan berkata:
Dan itulah satu-satunya nomor
yang tak pernah kausapa.”

Menjelang “Bulan Maria” 2021, saya mengajak Jokpin untuk menyumbangkan salah satu puisinya untuk kumpulan puisi berjudul Bunda Semua Cinta. Tanpa banyak bertanya, Jokpin kirimkan puisinya berjudul

Pieta – untuk Alit Ambara

Maria sudah berbulan-bulan
berkhidmat di rumah sakit
yang kelebihan pasien

Hatinya lebih luas dari cinta
Tangannya lebih kuat dari derita
Dirawatnya kesakitan demi kesakitan,
kematian demi kematian.

Diusapnya wajah-wajah yang cemas
dengan ujung kerudungnya.

Di senja yang sedih
dipangkunya tubuh
seorang muda
yang gugur melawan pandemi.
Dibisikkannya sebuah doa:
“Diberkatilah engkau
yang menyelamatkan
nyawa dengan nyawa”

Kematian Jokpin adalah kematian seorang penyair. Jokpin meninggal pada sekitar waktu “Orang puisi” senusantara sedang berpuisi; merenungkan puisi, menulis puisi, membaca puisi atau mungkin juga berdoa dengan puisi.

Mas Jokpin, saya yakin, puisi-puisi yang telah engkau lahirkan telah menjelma menjadi kendaraanmu ke surga.

Selamat pulang, Mas Penyair Joko Pinurbo. Salam untuk Remy Sylado dan semua di sana. Requiescat in Pace. (Emanuel Dapa Loka)