Sat. Jul 27th, 2024

Suara Hati Pilu Ibu yang Anaknya Dipaksa Gunakan Jilbab, Anaknya Ngumpet Nangis di Kamar Mandi Sekolah

Herprastyanti Ayuningtyas

Ibu yang anaknya dipaksa mengenakan jilbab di SMAN 1 Bantul Yogyakarta, angkat bicara. Dia mengaku sedih atas pemaksaan tersebut. Dia juga mengungkapkan kondisi anaknya yang kini mengalami trauma akibat peristiwa tersebut.

Ibu bernama Herprastyanti Ayuningtyas tersebut menuangkan perasaan yang mengundang haru tersebut dalam sebuah surat berjudul Perundungan, Intimidasi Wajib Jilbab SMAN 1 Banguntapan, Bantul.

Berikut, surat tersebut kami turunkan selengkapnya. Semoga pemaksaan semacam ini tidak terjadi lagi ke depan.

Nama saya, Herprastyanti Ayuningtyas, seorang ibu, perempuan Jawa, tinggal di Yogyakarta, yang sedang sedih dengan trauma, yang kini dihadapi putri saya, dampak dari memperjuangkan hak dan prinsipnya.

Putri saya adalah anak yang jadi perhatian media di sekolah di SMAN 1 Banguntatapan, Bantul. Bagi kami orang tuanya, dia bukan anak yang lemah atau bermasalah. Dia terbiasa dengan tekanan. Saya dan ayahnya bercerai namun kami tetap bersama mengasuh anak kami. Dia atlit sepatu roda. Dia diterima di SMAN1 Banguntapan 1 sesuai prosedur.

Pada Selasa, 26 Juli 2022, anak saya menelepon, tanpa suara, hanya terdengar tangisan. Setelahnya baru terbaca WhatsApp, “Mama ak mau pulang, ak ga mau dsni.”

Ibu mana yang tidak sedih baca pesan begitu? Ayahnya memberitahu, dari informasi guru, bahwa anak kami sudah satu jam lebih berada di kamar mandi sekolah.

Saya segera jemput anak saya di sekolah. Saya menemukan anak saya di Unit Kesehatan Sekolah dalam kondisi lemas. Dia hanya memeluk saya, tanpa berkata satu patah kata pun. Hanya air mata yang mewakili perasaannya.

Awal sekolah dia pernah bercerita bahwa di sekolahnya “diwajibkan” pakai jilbab, baju lengan panjang, rok panjang. Putri saya memberikan penjelasan kepada sekolah, termasuk walikelas dan guru Bimbingan Penyuluhan, bahwa dia tidak bersedia. Dia terus-menerus dipertanyakan, “Kenapa tidak mau pake jilbab?”

Dalam ruang Bimbingan Penyuluhan, seorang guru menaruh sepotong jilbab di kepala anak saya. Ini bukan “tutorial jilbab” karena anak saya tak pernah minta diberi tutorial. Ini adalah pemaksaan.

Saya seorang perempuan, yang kebetulan memakai jilbab, tapi saya menghargai keputusan dan prinsip anak saya. Saya berpendapat setiap perempuan berhak menentukan model pakaiannya sendiri.

Kini anak saya trauma, harus mendapat bantuan psikolog. Saya ingin sekolah SMAN1 Banguntatap, pemerintah Yogyakarta, serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,  bertanggungjawab. Kembalikan anak saya seperti sediakala.

Beberapa guru menuduh putri saya punya masalah keluarga. Ini bukan masalah keluarga. Banyak orang punya tantangan masing-masing. Guru-guru yang merundung, mengancam anak saya, saya ingin bertanya, “Punya masalah apa Anda di keluarga sampai anak saya jadi sasaran? Bersediakah bila kalian saya tanya balik seperti ini?

Herprastyanti Ayuningtyas

Related Post