Sat. Dec 7th, 2024

Menuju Cita Demokrasi Deliberatif

Oleh Benny Sabdo, Anggota Bawaslu Kota Jakarta Utara & Panwas Kota Jakarta Utara Pilkada DKI 2017

Politisasi SARA berpotensi menjadi penganggu utama dalam penyelenggaran pemilu. Kecemasan terhadap politisasi SARA muncul karena politik identitas telah dikapitalisasi untuk kepentingan politik praktis (Puadi, 2020: 45).

Pilkada DKI Jakarta 2017 dapat menjadi referensi, bagaimana penggunaan politisasi SARA pada pelaksanaan pilkada menjadi gaduh.

Imbas dari fenomena Al-Maidah sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan pilkada DKI Jakarta 2017. Selain Ahok berhadapan dengan kasus hukum atas laporan dugaan penistaan agama, pelaksanaan pilkada DKI Jakarta diwarnai dengan adanya sentimen keagamaan atau politisasi SARA dalam bentuk spanduk yang tidak bertuan, misalnya “Dilarang Memilih Pemimpin Kafir; Ahok Sumber Masalah, Ganyang Cina, Penjarakan Ahok.“ Akhirnya termasuk politik aksi massa yang dikemas dalam “Aksi Bela Islam 212” dan sebagainya bermunculan di ruang publik.

Di samping adanya penggunaan politisasi SARA, terdapat sejumlah dampak yang ditimbulkan dalam dinamika pilkada DKI Jakarta, antara lain adanya sejumlah tindakan menghalangi pelaksanaan kegiatan kampanye, penelantaran jenazah yang dianggap pembela dan pendukung Ahok dan dampak psikologis antarkelompok beragama.

Dengan adanya persepsi penolakan sekelompok masyarakat terhadap calon pemimpin non-muslim yang berujung pada tindakan menghalangi kampanye. Hal ini dapat mempengaruhi pemilih anti terhadap calon tertentu yang didasari pada alasan perbedaan agama. Menghalangi kampanye merupakan wujud dari politik yang tidak demokratis.

Para pendiri bangsa Indonesia menyadari, untuk masyarakat plural dengan aneka fragmentasi sosial-budaya, model demokrasi yang sebaiknya dikembangkan tidaklah menganut majoritarian, melainkan model permusyawaratan (konsensus) yang inklusif. Secara teoritis hal ini memperoleh artikulasinya dalam model demokrasi deliberatif.

Istilah deliberasi berasal dari kata Latin deliberatio. Istilah ini berarti konsultasi mendalam atau kita telah memiliki kosa kata politis, yaitu musyawarah.

Semua arti leksikal ini harus ditempatkan dalam konteks “publik” atau “kebersamaan secara politis” untuk memberi pengertian yang penuh sebagai konsep dalam teori diskursus (Hardiman, 2009: 128).

Teori diskursus dari filsuf Habermas ini sangat relevan untuk masyarakat Indonesia pasca-Soeharto yang ingin mengedepankan hukum dan hak-hak asasi manusia dalam proses demokratisasi dan reformasi.

Demokrasi deliberatif sangat dibutuhkan untuk Indonesia agar negara tidak terjebak dalam godaan politik identitas yang menindas minoritas dan pluralitas.

Konferensi International Commission of Jurist memperluas konsep mengenai Rule of Law di Bangkok tahun 1965.

Komisi ini menegaskan untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis, yaitu perlindungan konstitusional, badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak, pemilihan umum yang bebas, kebebasan untuk menyatakan pendapat dan berserikat dan pendidikan kewarganegaraan (Santoso dan Budhiati, 2019: 9).

Dalam perkembangan konsep negara demokratis sudah berbeda dengan konsep demokrasi pada abad ke-19 yang tidak secara eksplisit kata lembaga perwakilan dan pemilu. Dalam konteks ini, pemilu merupakan salah satu syarat dasar terselenggaranya pemerintahan demokratis.

Demokrasi saat ini memang mengambil bentuk demokrasi berdasarkan perwakilan, merupakan bentuk paling relevan dewasa ini karena negara-negara memiliki wilayah dan jumlah penduduk yang tidak memungkinkan terwujudnya demokrasi langsung sebagaimana terjadi di negara kota zaman Yunani kuno.

Menurut pemikir demokrasi Juan J. Linz, dalam sistem demokrasi perwakilan mensyaratkan adanya kebebasan membuat partai politik dan melaksanakan pemilu yang bebas dan jujur secara teratur. Karena itu, jelaslah kaitan antara demokrasi dengan lembaga perwakilan rakyat, adanya pemilu secara teratur dan partai politik sebagai saluran aspirasi rakyat.

Selanjutnya, untuk menjamin keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan menjaga konstitusi dan merawat demokrasi memerlukan kerja bersama dan keterlibatan semua pihak. Terutama pada era sekarang, perjuangan kita menjaga negara dan merawat bangsa menghadapi tantangan yang tidak ringan, terlebih di zaman yang diwarnai “politik pasca-kebenaran”, di mana sinisme dan nyinyir publik telah menjadikan politik semakin jauh dari tujuan kebaikan bersama.

Zaman ini punya tantangan sendiri, karena itu problematika kebangsaan yang akan kita hadapi punya perspektif kekinian yang harus dapat dipahami dalam horizon sejarah.

Pancasila sebagai ideologi negara merupakan narasi besar yang membingkai berbagai keberagaman bangsa ini. Melalui Pancasila, rajutan dari bermacam agama, keyakinan, ras, suku, etnis dan golongan dapat terjalin dengan baik hingga saat ini.

Kita tidak dapat membayangkan bagaimana masa depan Indonesia, bila para pendiri bangsa ini dulu tidak mendapati kesepakatan mengenai ideologi negara melalui Pancasila.

Tanpa Pancasila, apa yang menjadi pedoman dalam mengelola persatuan dan kesatuan bangsa. Indonesia memiliki lebih dari tujuh belas ribu pulau, tiga puluh tujuh provinsi, tiga ratus etnis dan enam ratus bahasa daerah.

Mewakili suasana kebatinan terhadap persatuan, Pidato Soekarno tanggal 1 Juni 1945 berkumandang: “Kita hendak mendirikan negara ‘semua untuk semua’. Karena itu, jikalau tuan-tuan terima baik, marilah kita mengambil sebagai dasar yang pertama; Kebangsaan Indonesia.

Kebangsaan Indonesia yang bulat! Bukan kebangsaan Jawa, bukan kebangsaan Sumatera, bukan kebangsaan Borneo, Sulawesi, Bali atau lain-lain, tetapi kebangsaan Indonesia, yang bersama-sama menjadi satu nationale staat”.

Benih-benih nilai yang terkandung dalam semangat persatuan, yakni untuk membebaskan bangsa Indonesia dari belengggu penjajahan. Di masa depan diproyeksikan untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.*

Related Post