Sat. Jul 27th, 2024
Pater Kimy Ndelo. CSsR

Oleh Pater Kimy Ndelo, CSsR, Provinsial Redemptoris

Perayaan Paskah diawali dengan Vigili Paskah atau lebih dikenal sebagai Malam Paskah, dan berakhir dengan Hari Raya Minggu Paskah atau Hari Minggu Agung.

Hari Raya Minggu Paskah itu sendiri akan berlanjut terus dengan Masa Paskah yang berlangsung selama 7 pekan sampai Hari Minggu Pentakosta.

Vigili Malam Paskah sesungguhnya adalah Misa Paskah Kebangkitan Tuhan. Ini adalah perayaan utama dan paling mulia dari segala perayaan. Karena itu liturginya pun unik dan paling komplit serta pastinya lama.

Di situ ada liturgi cahaya Lilin Pakah, Madah Paskah, liturgi Sabda yang panjang mengisahkan sejarah keselamatan sejak penciptaan sampai kisah kebangkitan Yesus. Selanjutnya ada liturgi Baptis dan berakhir dengan liturgi Ekaristi.

Simbol utama yang dominan selama Malam Paskah adalah Lilin Paskah sebagai simbol cahaya yang mengusir kegelapan malam. Di sini mau ditekankan sikap berjaga-jaga umat dengan cahaya di tangan sambil menantikan Kristus yang bangkit mulia sebagai puncak kemenangan atas kegelapan.

Kegelapan macam apa yang hendak diusir? Prefasi Paskah dengan indahnya melukiskan kegembiraan Paskah: “Pada malam ini Yesus Kristus mengalahkan kuasa maut dan bangkit sebagai pemenang yang unggul dari kubur-Nya”.

“Cahaya suci malam ini mengusir kedurhakaan, membersihkan orang yang berdosa, mengembalikan kesucian kepada yang jatuh, menghibur yang berdukacita”.

Ini mengingatkan kita akan penciptaan pertama dari Allah, “Jadilah Terang”. Terang ini diciptakan untuk menghalau kegelapan yang merupakan bentuk paling awal dari alam semesta.

Perjalanan sejarah bangsa Israel diwarnai dengan pilihan-pilihan pada jalan kegelapan. Mereka sering meninggalkan Allah yang adalah sumber terang yang menuntun mereka di jalan yang benar.

Kematian sebagai akibat dosa selalu disimbolkan dengan kegelapan. Bahkan segala yang jahat atau negatif, juga disimbolkan dengan kegelapan. Tidak heran kalau ada diskriminasi berdasarkan warna kulit. Mereka yang  berkulit gelap kadang dianggap tidak baik atau sumber kejahatan. Mereka yang berkulit putih atau terang sering diagung-agungkan sebagai penghasil kebaikan dan kesucian. Walau faktanya tak selalu demikian.

Di pintu Makam Kudus atau Holy Sepulcher, di Yerusalem ada tulisan: He is not here-Dia tidak di sini. Ini adalah kutipan dari Injil Lukas malam ini: “Ia tidak ada di sini. Ia telah bangkit!” (Luk 24,6).

Walau demikian, setiap hari sepanjang tahun, selama berabad-abad, tak henti-henti orang-orang datang berziarah dan berdoa di makam kosong itu.

Apakah orang tertarik melihat makam kosong? Bukan karena makam kosong sehingga orang penasaran dan datang. Tetapi karena di balik itu orang tahu bahwa, Dia yang tak ada di situ sudah bangkit. Dia yang pernah dibaringkan dalam makam itu sudah hidup.

Tapi hidupnya bukan lagi hidup yang sama dengan kita, terikat oleh dunia. Hidup baru-Nya tak lagi dibatasi oleh apa pun. Hidup-Nya melampaui ruang dan waktu. Dan hidup itu mulia. Yesus adalah Tuhan. Dia telah bangkit.

Kehidupannya inilah yang menjadi inspirasi untuk siapa saja dan tertarik menjadi pengikut-Nya. Kehidupan yang dijanjikan juga kepada para murid-Nya.

Sekalipun kita mampu menjelaskan dengan sangat baik tentang kebangkitan Kristus, jika kita tidak mempunyai Iman akan Kebangkitan, maka itu juga hanya opini. Tidak menghasilkan apa-apa. Kita hanya berteori tanpa dasar dan pasti tanpa hasil.

Seperti Yesus hidup, iman juga harus hidup. Iman harus tumbuh dan berkembang melalui pengalaman jatuh dan bangun, susah dan gembira, dukacita dan sukacita.

Dan iman itu harus terbuka pada pengajaran dan bimbingan Roh Kudus. Dialah yang membantu orang untuk percaya. Dialah yang menerangi orang untuk melihat.

Dialah pula yang menggerakkan orang selama 2000 tahun pergi ke makam kosong di Yerusalem untuk mengungkapkan iman akan Kristus yang bangkit.

Dialah yang menggerakkan kita untuk bersukacita malam ini dan esok pagi!

Selamat Hari Raya Paskah. Aleluia!!

Salam Paskah Biara Novena Maria “Madre del Perpetuo Soccorso” (MPS), Kalembu Nga’a Bongga, Weetebula, Sumba “tanpa wa”

Related Post